Penutupan lahan dengan permukiman yang masif, baik di lahan dengan sudut kelerengan tinggi maupun sekitaran daerah aliran sungai, sangat rentan pada bencana longsor. Hal itu terus terjadi karena belum ada perencanaan tata ruang yang baik. Oleh karena itu, perbaikan tata kelola ruang didorong untuk meminimalkan bencana di hulu dan hilir aliran sungai.
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup Hilman Nugroho mengatakan, ada beberapa lokasi di Puncak, Jawa Barat, yang sangat rentan dengan longsor.
Lokasi itu adalah Widuri, Gunung Mas, Riung Gunung, Grand Hill, dan sekitaran Masjid Atta’awun. Semua lokasi longsor tersebut berada di kawasan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Apalagi, berdasarkan data KLHK, sebesar 70,7 persen DAS Ciliwung merupakan daerah permukiman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Untuk itu, tata ruang di Bogor ini harus segera direvisi berdasarkan DAS, disesuaikan dengan kondisi setempat,” ujar Hilman di KLHK, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (7/2).
Terkait hal itu, KLHK akan melakukan tinjau ulang tata ruang dengan detail berbasis DAS, pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), serta pembuatan bangunan konservasi tanah dan air (KTA) pada hulu sungai, baik di dalam maupun luar kawasan hutan.
NINO CITRA ANUGRAHANTO UNTUK KOMPAS–Petugas melakukan pencarian korban di lokasi longsor Riung Gunung, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (7/2).
Kemudian, untuk perkebunan teh yang mempunyai kelerengan tinggi, yakni lebih dari 40 persen, agar ditanami pohon akar yang dalam, paling tidak 400 pohon per hektar. Hal itu disebabkan kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung.
”Yang di tepi-tepi jalan tanamlah pohon yang punya perakaran dalam sehingga nanti menjadi penahan dan tidak terjadi longsor,” ujarnya.
Hilman juga mengatakan, alasan terjadinya longsor adalah tidak adanya pemeliharaan drainase yang optimal. ”Kalau ada tebing, di situ drainase harus siap. Kalau air masuk ke dalam tanah, harus ada drainase yang membuat air langsung keluar. Kalau tidak, pasti akan ambles,” ujarnya.
Hilman juga meminta agar aliran hilir diperlancar. Menurut dia, rumah-rumah di pinggirian sungai sangat rentan dilanda bencana banjir.
”Dari atas ke bawah seharusnya makin lebar ke hilir bukan malah semakin sempit. Pinggir-pinggirnya juga harus dibersihkan dengan baik bebas dari penghuni, pengurangan sedimen dengan dikeruk. Ini harus dikerjakan semua pihak, tidak bisa selesai di LHK, PUPR, dan Pemda,” ujarnya.
Selain itu, untuk banjir di DKI Jakarta, Direktur Perencanaan, Evaluasi, dan Perencanaan Daerah Aliran Sungai Yuliarto Joko Putranto mengatakan, hasil analisis penyebab banjir yang terjadi pada DAS Ciliwung, terdapat 6 DAS yang mengepung DKI Jakarta, yaitu Angke-Pesanggarahan, Krukut, Ciliwung, Sunter, Buaran, dan Cakung.
”Kontribusi Ciliwung ini hanya 25 persen terhadap banjir di DKI Jakarta. Kalau 2013 itu, DAS-DAS yang lain ikut membanjiri DKI sehingga dampaknya lebih dahsyat lagi,” ujar Yuliarto.
Selain itu, Yuliarto menjelaskan, sebanyak 56 situ di DKI Jakarta telah hilang. Padahal, situ sangat penting untuk mengambankan banjir sebagai terminal air sementara sebelum masuk ke kota. Adapun saat ini di Jakarta hanya tinggal 38 situ.
”Itu kan untuk reservoir. Kalau tidak ada, tidak akan bisa menampung debit air yang tinggi. Selama ini, belum ada yang bersertifikat oleh Kementerian ATR dan Kementerian PUPR,” ujar Yuliarto. (DD18)
Sumber: Kompas, 7 Februari 2018