Restorasi gambut dinilai masih penting untuk dilakukan dan dilanjutkan di masa mendatang. Pemulihan ekosistem esensial ini kunci mengurangi emisi sekaligus mencegah perulangan kebakaran.
Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla yang terjadi setiap tahun belum sepenuhnya dapat ditangani dengan maksimal. Pemerintah pun diharapkan tetap memprioritaskan agenda restorasi gambut untuk memperbaiki jutaan hektar lahan gambut yang rusak dan mencegah karhutla.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan, dari analisis, karhutla pada 2019 mayoritas terjadi di wilayah dengan prioritas restorasi gambut. Wilayah tersebut juga merupakan kawasan deforestasi dan lahan yang sudah terdegradasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Berdasarkan jejak terbakar lima tahun terakhir, itu merupakan kawasan hutan yang kualitasnya sudah menurun dan wilayah gambut yang rusak. Kedua, wilayah karhutla terluas sebanyak 30 persen terjadi di tutupan lahan semak belukar,” ujar Teguh dalam webinar yang diselenggarakan Alam Sehat Lestari (ASRI), Selasa (28/7/2020).
Berkaca dari kondisi tersebut, Teguh menegaskan, pencegahan karhutla dapat dilakukan dengan menjaga kualitas hutan dan lahan gambut. Penegakan hukum dan pengawasan juga harus dioptimalkan karena selama ini kedua unsur tersebut masih lemah.
Selain itu, Teguh juga berharap sejumlah pihak terus meyakinkan Presiden agar tidak membubarkan dan juga memperpanjang masa tugas Badan Restorasi Gambut (BRG) yang akan berakhir pada Desember 2020. Sebab, BRG masih sangat dibutuhkan untuk mengawasi dan memastikan perbaikan lahan gambut.
”Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang baru bahkan sudah dinyatakan bahwa sampai dengan 2030 seharusnya ada penambahan lahan gambut yang direstorasi 1,5 juta hingga 2 juta hektar,” tuturnya.
Senior Public Health Adviser ASRI Monica Nirmala mengatakan, masalah asap akibat karhutla mulai tercatat di Asia Tenggara sejak tahun 1970-an. Hal ini salah satunya ditunjukkan dari foto kepulan asap di wilayah Orchard Road, Singapura, pada Oktober 1972.
Masalah karhutla sejak 1970-an tersebut berulang setiap tahun selama 40 tahun. Bahkan, karhutla semakin memburuk 20 tahun terakhir seiring berkembang pesatnya komoditas agrikultur Indonesia.
”Karhutla bukan hanya masalah Indonesia semata. Asap karhutla berdampak setidaknya pada enam negara di Asia Tenggara. Sejak karhutla 2015, Indonesia sudah berkomitmen untuk menghentikan karhutla melalui pembentukan roadmap dengan negara-negara Asia Tenggara,” ujarnya.
Taman nasional
Karhutla tidak hanya terjadi di kawasan gambut yang masuk area konsensi, tetapi juga di kawasan konservasi, salah satunya Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat. Taman nasional yang berada di wilayah Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ini juga menjadi habitat satwa dilindungi, seperti orangutan dan burung rangkong.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung Ari Wibawanto mengatakan, dari analisis karhutla pada 2015-2019, tercatat sebagian besar titik panas penyebab karhutla berada di pinggir kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Peruntukan lahan kawasan pinggir tersebut masuk area penggunaan lain yang salah satunya bertujuan untuk kegiatan ekonomi.
Menurut Ari, sampai saat ini memang belum ada dampak signifikan dari karhutla terhadap biodiversitas Taman Nasional Gunung Palung. Namun, selama lima tahun terakhir pihaknya sudah menerima 27 individu orangutan hasil konflik yang ditranslokasikan ke dalam kawasan taman nasional.
”Jadi, upaya pencegahan dan pengendalian karhutla harus saling terhubung antarbeberapa aktor yang ada di dalam kawasan. Kami akan membentuk posko bersama di area munculnya titik panas,” tambahnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 28 Juli 2020