Resistensi antimikroba menjadi masalah global, tak terkecuali Indonesia. Namun, penanganan dari hulu hingga hilir untuk mengatasi hal itu belum menyeluruh. Padahal, resistensi antimikroba tak selalu karena klinisi, tetapi bisa terjadi sejak awal impor obat hingga pemberian pada pasien.
Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Anis Karuniawati mengatakan hal itu di sela-sela Simposium Nasional Resistensi Antimikroba Indonesia dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Klinik Indonesia 2014 (Annual Scientific Meeting of Indonesia Society for Clinical Microbiology 2014), Sabtu (29/11), di Jakarta.
Anis memaparkan, resistensi antimikroba bisa terjadi bukan semata-mata karena kesalahan dokter. Persoalan bisa muncul sejak proses impor obat, penyimpanan, distribusi, pemberian resep, apotek, hingga masyarakat. Karena itu, perlu upaya terintegrasi melibatkan banyak pihak untuk mengatasi masalah itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Aturan pemakaian antimikroba sebagai obat keras sudah ada, tetapi kepatuhan berbagai pihak masih lemah,” ujarnya. Contohnya, di lapangan ditemui masyarakat membeli bebas antibiotik tanpa resep dokter. Apotek pun melayani dengan bebas.
Resistensi antimikroba bisa disebabkan penggunaan antimikroba tak tepat atau tidak sesuai indikasi medis. Kondisi itu akan menyebabkan kuman penyakit kebal, sehingga pengobatan menjadi lebih lama dan sulit.
Untuk menanggulangi resistensi antimikroba, perlu ada data pola kuman nasional. Namun, Indonesia belum punya data nasional sebagai acuan. Sejumlah rumah sakit memiliki data pola kuman, tetapi belum dikompilasi menjadi satu data. Karena itu, data pola resistensi antimikroba di sejumlah RS perlu disatukan, disertai riset pola resistensi di kalangan masyarakat.
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher mengatakan, Kemkes tak bisa bertindak sendiri dalam menanggulangi resistensi antimikroba. Sebab, masalah itu menyangkut banyak pihak selain Kemkes, yakni perhimpunan profesi dokter, Badan Pengawas Obat dan Makanan, apotek, dan masyarakat.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, 28 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik di rumahnya. Hal itu sebagai gambaran betapa masyarakat bisa mendapat antibiotik dengan bebas. Selain itu, hal itu menunjukkan resistensi antibiotik amat mungkin terjadi.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) Prof Kuntaman mengatakan, rumah sakit idealnya memiliki tenaga ahli mikrobiologi klinik. Hal itu untuk mendukung diagnosis dokter dan mengawasi penggunaan antimikroba kepada pasien.
Pada awal pasien masuk, biasanya akan dilakukan terapi empirik dengan memberi antimikroba. Ketika fasilitas alat kurang memadai dan tidak ada ahli mikrobiologi klinik, itu akan menyulitkan diagnosis penyakit. Akibatnya, pasien terus diberi antimikroba sampai diagnosis selesai. Pemakaian antimikroba tak bijak itu berpotensi menimbulkan resistensi antimikroba.
Saat ini Kemkes menyiapkan 150-160 RS rujukan regional di seluruh wilayah Indonesia. Selain untuk mendekatkan layanan kesehatan bermutu kepada masyarakat, hal itu untuk memastikan sistem rujukan berjenjang berjalan. Rumah sakit rujukan regional itu akan dilengkapi ahli mikrobiologi klinik. (ADH)
Sumber: Kompas, 1 Desember 2014