Resistansi terhadap obat antibiotik menjadi masalah kesehatan global. Selain meningkatkan beban biaya kesehatan, ketahanan kuman terhadap obat antibiotik itu berdampak buruk pada kesehatan individu dan mengurangi produktivitas kerja penderita. Aksi global dinilai penting mengatasi masalah tersebut.
Sorotan itu mengemuka pada Sidang Kesehatan Dunia Ke-68 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Rabu (20/5), seperti dilaporkan wartawan Kompas, Evy Rachmawati, dari Geneva, Swiss. Forum tertinggi tahunan WHO tersebut dihadiri para menteri kesehatan negara-negara anggota WHO dan partisipan lain.
Direktur Jenderal WHO Margaret Chan menegaskan, resistansi terhadap antibiotik telah menjadi masalah kesehatan global. Oleh karena itu, penanggulangan masalah itu tidak cukup hanya dengan menyusun rencana aksi global. Hal terpenting adalah memastikan implementasi rencana aksi nasional penanggulangan masalah tersebut secara efektif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah negara anggota WHO juga menekankan perlunya aksi nasional penanggulangan resistansi terhadap antibiotik. Di Perancis, misalnya, kampanye tentang bahaya ketahanan terhadap antibiotik bagi manusia ataupun hewan digalakkan dengan langkah sederhana. Informasi juga disampaikan secara mudah untuk dipahami masyarakat.
Data WHO menunjukkan, terjadi peningkatan resistansi terhadap obat HIV meski belum dalam tahap kritis, terutama untuk obat antiretroviral (ARV) lini pertama. Pada tahun 2013, ada sekitar 480.000 kasus baru kebebalan obat atau multidrug resistance tuberkulosis (MDR TB). Kasus kekebalan terhadap semua obat tuberkulosis dilaporkan terjadi di 100 negara. Jumlah yang tidak sedikit.
Berpengaruh besar
Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher, yang juga hadir dalam sidang tersebut, kekebalan terhadap antibiotik akan memengaruhi setiap orang, di mana pun mereka tinggal, apa pun kondisi kesehatan, status ekonomi, dan gaya hidupnya. Itu tak hanya terkait kesehatan manusia, tetapi juga menyangkut kesehatan hewan, pertanian, keamanan pangan, dan pembangunan ekonomi.
Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia mendukung kerja sama internasional untuk mencegah dan menanggulangi masalah kekebalan kuman terhadap antibiotik. “Indonesia telah membentuk komite nasional pengendalian resistansi obat antibiotik yang bertugas menyusun rencana aksi nasional untuk lima tahun ke depan agar bisa mengendalikan masalah itu secara komprehensif,” tuturnya.
Upaya pengendalian kekebalan terhadap antibiotik tersebut antara lain juga dilakukan melalui promosi dan pencegahan pada layanan fasilitas kesehatan tingkat pertama ataupun lanjut serta memperkuat kolaborasi dengan sektor lain, seperti keuangan, lingkungan, pertanian, serta pihak konsumen, lembaga nonpemerintah, dan swasta.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan, untuk mengoptimalkan implementasi rencana aksi nasional, Indonesia memiliki komitmen kuat melaksanakan pendekatan kesehatan, termasuk surveilans, memperkuat kapasitas laboratorium, kolaborasi dengan sektor lain, dan meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam mengonsumsi obat.
“Jika tidak segera diatasi, ini bisa menyebabkan kondisi pasien makin parah,” ujar Nila.
Berdasarkan hasil survei di beberapa rumah sakit di Indonesia, angka kasus resistansi terhadap antibiotik mencapai 40-50 persen. Hal itu terutama disebabkan ketidakpatuhan pasien dalam mengonsumsi obat ataupun menggunakan antibiotik tanpa resep dokter. Kedisiplinan juga menjadi faktor penting dan vital terkait kesembuhan pengobatan dari penyakit tertentu.
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Mei 2015, di halaman 13 dengan judul “Resistansi Antibiotik Jadi Masalah Global”.