Belum lekang dalam ingatan, dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2011, Menteri Pendidikan Nasional beserta para pemimpin perguruan tinggi mendeklarasikan anti-plagiat dan anti-menyontek. Prioritas deklarasi itu tentu masuk akal mengingat munculnya beberapa pemberitaan ihwal plagiasi yang dilakukan oleh para pengajar dan pembelajar di lingkungan akademisi.
Menurut pantauan Tempo di www.tempointeraktif.com yang dirilis pada 16 April 2010, setidaknya ada empat kasus besar yang muncul ke permukaan terkait dengan dugaan plagiasi. Kasus tersebut secara maraton terjadi pada Februari 2010 (2 Februari melibatkan dosen Universitas Mataram; 4 Februari melibatkan dosen Unpar, Bandung; 16 Februari melibatkan dosen Untirta, Banten; dan 17 Februari melibatkan dua calon profesor dari Kopertis V Yogyakarta). Gejala tersebut kemudian diantisipasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan membuat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiasi di perguruan tinggi. Sebagai benteng etika dan ilmu pengetahuan, sudah selayaknya perguruan tinggi menjadi garda terdepan dalam kaitan dengan masalah yang memalukan ini, dan gerak cepat Kementerian Pendidikan Nasional banyak diacungi jempol.
Deklarasi tersebut disambut cukup hangat. Di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten, tempat saya mengajar, mahasiswa membentangkan kain putih belasan meter panjangnya, dan para akademisi ikut menandatangani petisi tersebut. Di media massa lokal dan nasional, pemberitaan maupun opini-opini yang ditulis oleh kalangan akademisi begitu marak. Mayoritas sangat mendukung Mendiknas dalam proses penanggulangan plagiasi di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mendiknas memilih plagiat
Sayangnya, deklarasi itu tak ubahnya lomba-lomba deklamasi puisi yang dilakukan para pelajar menyambut hari kemerdekaan. Sehabis itu, tak ada kontrol dan aplikasi yang jelas. Bahkan salah satu dosen Untirta yang diduga melakukan plagiasi berupa artikel di media massa lokal, pada 18 Juli 2011, terpilih menjadi rektor. Suara menteri sebanyak 35 persen sangat memiliki andil dalam putaran terakhir ini.
Sebagaimana diketahui publik, terdapat tiga putaran yang dilakukan oleh Untirta dalam pemilihan rektor empat tahunan ini. Pada putaran pertama, yang melibatkan sivitas akademika dalam uji popularitas, terdapat sepuluh bakal calon rektor. Pemenang suara tertinggi secara berurutan adalah Azyumardi Azra, Sholeh Hidayat, dan Fatah Sulaiman. Pada putaran kedua, yang dipilih oleh 30 anggota senat Untirta, hasilnya tidak ada perbedaan signifikan dengan putaran pertama. Hanya satu bakal calon yang berubah. Mereka adalah Azyumardi Azra (13 suara), Sholeh Hidayat (11 suara), dan Ahmad Sihabudin (3 suara). Tiga besar yang dipilih kemudian ditetapkan sebagai calon rektor. Pada putaran ketiga, terdapat hasil yang cukup drastis ketika Menteri ikut ambil bagian dengan 35 persen suara itu. Secara mengejutkan, Sholeh Hidayat mendapat 30 suara, sementara Azyumardi Azra bertahan di 13 suara, dan Ahmad Sihabudin 2 suara.
Jika mengikuti Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010 tentang pemilihan rektor di PT, tentu tidak ada yang salah dalam proses tersebut. Namun, sebagai pejabat publik, sekiranya penting bagi kita untuk mempertanyakan perihal pilihan Menteri di atas. Faktor apa yang menjadikan Menteri memilih Sholeh Hidayat, yang dengan sangat jelas telah melakukan proses plagiasi? Begitu rendahkah prestasi dan etika calon lain, seperti Azyumardi Azra dan Ahmad Sihabudin, sehingga Menteri harus memilih sang plagiator?
Atas rasa ingin tahu itu, lantas saya meminta seorang kawan di Komisi X DPR untuk mempertanyakan pilihan Menteri tersebut. Lalu, Menteri menjawab, “Perihal dugaan plagiasi itu harus dibuktikan.” Jawaban itu terang saja membuat kian keruh. Jika anti-plagiat itu sudah dideklarasikan, mungkinkah sekelas kementerian yang mempekerjakan ribuan orang, mulai sarjana hingga profesor, tidak menyiapkan perangkat untuk proses pembuktian itu? Di dunia maya saja, dengan peranti gratisan, mudah sekali melacak tulisan yang plagiat dan yang tidak. Kenapa justru jawaban itu yang dimunculkan oleh Menteri? Padahal, dalam perkara Abdul Rahmat, dosen Universitas Negeri Gorontalo yang terbukti melakukan plagiasi, pada 1 Juli 2011 Dirjen Dikti melalui surat nomor 926/E/T/2011 memberikan penghargaan kepada Rektor UNG atas kebijakannya dengan memberhentikan dosen tersebut dari jabatannya selaku Sekretaris Jurusan PLS, Sekretaris Senat FIP UNG, dan Direktur Ikatan Penulis Indonesia.
Flash back
Kasus dugaan plagiasi yang dilakukan oleh Sholeh Hidayat awalnya diketahui seseorang bernama Agus, yang disebar melalui e-mail dengan format PDF. Keesokan harinya, salah satu media massa lokal di Banten meminta saya menjadi narasumber terkait dengan dugaan tersebut. Setelah menganalisis dengan seksama, saya mengatakan bahwa tulisan tersebut memang hasil plagiat. Sebagai seorang penulis dan kebetulan mendapatkan materi intertekstual di perkuliahan dulu, pernyataan yang dilansir media massa itu tentu bisa saya pertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan, untuk memperkuat dugaan tersebut, saya menulis sekitar 22 halaman, membandingkan tulisan Sholeh Hidayat Untirta Menuju Kelas Dunia yang dimuat Fajar Banten 29-30 Januari 2010 dan tulisan Laode M. Aslan Impian Mendorong Unhalu Tahun 2025 Menuju Kelas Dunia yang dimuat Kendari Post pada 24 Februari 2009. Walhasil, lebih dari 90 persen plagiasi itu terbukti secara meyakinkan.
Berbeda dengan kasus Banyu Perwita, dosen Universitas Parahiyangan yang juga melakukan proses plagiasi di The Jakarta Post, yang cepat terselesaikan karena sang penulis mengaku bersalah dan mundur dari jabatannya. Kasus Sholeh Hidayat berbuntut panjang hingga tiga bulan karena dia berkukuh tidak melakukan plagiasi. Bahkan ia mendatangi Laode M. Aslan dan meminta maaf kepada penulis, tetapi tidak sedikit pun meminta maaf kepada sivitas akademika Untirta dan masyarakat akademisi di Indonesia. Beberapa kali terjadi demonstrasi dari mahasiswa, bahkan secara khusus mahasiswa diundang oleh TV One untuk menjelaskan kasus tersebut. Sayangnya, senat Untirta tidak menyelesaikannya dengan serius dan obyektif. Apalagi Kementerian Pendidikan Nasional, yang empat bulan kemudian membuat Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi, tak melakukan tindakan apa pun. Malah, seolah tak hirau akan kasus tersebut, Mendiknas melalui Dirjen Dikti memilih sang plagiator menjadi Rektor Untirta periode 2011-2015 belum lama ini.
Di dunia akademisi, orang yang terbukti melakukan plagiasi tentu tidak bisa diposisikan dengan begitu terhormat seperti pada jabatan rektor. Jika itu terjadi, akan muncul reaksi-reaksi yang sangat tidak menguntungkan dunia akademisi kita dan Kementerian Pendidikan Nasional secara kelembagaan. Mahasiswa dan dosen yang masih memiliki integritas tentu tidak akan tinggal diam melihat benteng etikanya tercabik-cabik. Apalagi sekarang ini kementerian dengan progresif sering memunculkan istilah pendidikan karakter, menjunjung tinggi kejujuran, dan seterusnya. Lantas, jika ada rektor yang dilegitimasi oleh kementerian melakukan plagiasi, masihkah kita percaya soal pendidikan karakter itu? Jika Mendiknas meminta bupati dan wali kota yang belum mengucurkan dana pendidikan di daerahnya untuk bertobat, sepertinya kata tobat itu layak juga kita arahkan kepada diri kita masing-masing yang masih mengaku dirinya berkarakter.
Firman Venayaksa, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Untirta
Sumber: Koran Tempo, 11 Agustus 2011