Perempuan penerima Satyalencana Wira Karya Bidang Sains dan Seni dari Presiden Republik Indonesia tahun 2007 ini tidak ingin berhenti berkarya untuk Indonesia. Tahun ini, ia menyelesaikan pendidikan di bidang neurosains dari Universitas California, San Diego, Amerika Serikat.
Tidak sedikit tawaran untuk bekerja di luar negeri, dan meski saat ini ia sudah bergabung sebagai peneliti neurosains di kampusnya, Ratnaganadi Paramita (23), penerima beasiswa empat tahun penuh dari Yayasan Eka Tjipta untuk kuliahnya di Amerika, tetap ingin pulang ke Indonesia.
”Setelah semua beres, saya akan kembali lagi ke Jakarta. Banyak hal yang bisa dikembangkan di Indonesia,” ujar Ratna yang sejak SMP sudah menerima beasiswa untuk pendidikan formalnya karena prestasinya di berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski bidang neurosains mulai banyak dikenal di Indonesia, yang menguasai bidang ini belum banyak. Akan tetapi, Ratna punya keyakinan, neurosains akan berkembang pesat di Indonesia.
”Saat ini, teman-teman saya saja banyak yang mengira neurosains itu seperti kedokteran. Ya, tidak salah sepenuhnya sih, kan, kedengarannya seperti orang yang ngulik tentang otak,” ujar Ratna ketika ditemui di sela-sela liburannya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ketertarikannya pada bidang neurosains bermula dari ketertarikannya pada cara anak belajar di lembaga pendidikan formal. Dalam sistem pendidikan di Indonesia yang dia amati, anak-anak terlalu dibebani beragam beban pelajaran pada saat yang bersamaan. Anak di sekolah lebih banyak dijejali dengan fakta keras saja dan diminta untuk merekam fakta tersebut sebanyak mungkin. Sementara pendidikan yang mengajak untuk mengasah kemampuan berpikir dan pemecahan masalah belum mendapat porsi yang memadai.
Padahal, cara untuk mengajak anak mau berpikir untuk memecahkan problem itu, menurut Ratna, amat sederhana dan bisa dilakukan. Kuncinya, ada kemauan. Anak diajak berdiskusi tentang sebuah masalah atau hal yang menarik perhatian mereka, kemudian diajak mencari jalan keluar yang efektif untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sistem pendidikan seperti ini bukan saja membuat anak tidak bisa menguasai dengan baik pelajaran yang diberikan, mereka juga tidak terbiasa memecahkan problem kehidupan yang dihadapi dengan efektif dan arif. Karena anak memang tidak pernah diajarkan menggunakan otaknya dengan baik untuk berpikir dengan efektif dan mencari solusi.
”Bukan karena anak tidak bisa menguasai informasi atau pelajaran yang diberikan, tetapi anak dipenuhi informasi yang mungkin tidak perlu pada saat itu dalam jumlah banyak sehingga ibarat komputer, ketika
loading data dalam jumlah besar, maka ketika dipanggil datanya bisa saja lemot,” ujar Ratna yang menguasai bahasa pemrogaman seperti Python, Matlab, Java HTML, PHP, CSS, Javascript, dan Jquery.
Di sekitar kita
Menurut Ratna, penerapan neurosains dalam kehidupan nyata itu amat banyak. Tidak saja dalam dunia pendidikan dan psikologi, tetapi juga dalam bisnis komputer dan teknologi yang ingin membuat kinerja otak bisa bekerja efisien.
Misalnya, dalam sebuah situs, tampilan situs yang menarik dan memudahkan untuk ditangkap pembacanya bisa dipermudah jika menguasai neurosains. Itu sebabnya, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi di Amerika Serikat mempekerjakan banyak pakar neurosains. Dengan neurosains, otak dibantu untuk bekerja lebih efisien dengan bisa meminimalkan kerja otak agar bisa lebih fokus pada hal yang lebih penting.
”Jika kerja otak bisa fokus pada
hal yang penting untuk hidup kita, kerja kita bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Sayangnya, memang rahasia cara kerja otak manusia
belum sepenuhnya terungkap. Jika bisa diungkap semua, bisa dipergunakan untuk menyempurnakan teknologi yang akan membuat hidup kita lebih baik,” ujar Ratna yang punya minor pendidikan di bidang seni.
Ratna punya keyakinan, jika semakin banyak anak di Indonesia yang menguasai neurosains dan mau menyumbangkan kemampuannya, Indonesia akan lebih maju.
———————————
Ratnaganadi Paramita
? Lahir: Jakarta, 8 November 1992
? Orangtua: Ayah: Alika Chandra (50), Ibu: Pertiwi P Marga (48)
? Saudara: Ananta W Paramita (19), Anggarawidhi (17), Pranaya Sinangwidhi (14)
? Pendidikan:
– Bachelor of Science in Cognitive/ Neuroscience, Minor in Music, University of California, San Diego (2010-2014)
– SMAK Penabur GS, Tangerang (2007–2010)
– SMPK 4 Penabur, Jakarta (2004–2007)
? Beasiswa:
– Beasiswa empat tahun penuh dari Eka Tjipta Foundation Jakarta (2010–2014)
– Beasiswa tiga tahun SMA dari Penabur Jakarta (2007-2010)
– Beasiswa dua tahun SMP dari Sempoa Pratama (2000-2001)
? Penghargaan Akademik:
– Peringkat keenam International Khautykov Olympiad, Honorable Mention in Physics, di Almaty, Kazakhstan (2010)
– Juara keempat Indonesian Young Scientist Competition dari Universitas Parahyangan, Bandung (2009)
– Juara kedua Kompetisi Matematika dan Sains IX (Fisika) SMAN 2, Jakarta (2009)
– Nanyang Technological University, Singapura, Science Camp (2008)
– Satyalencana Wira Karya di bidang sains dan seni dari Presiden RI (2007)
– Peringkat ke-9 ujian nasional dari Mendiknas (2007)
? Penghargaan Seni:
– The Most Favorite Award dalam Festival Teater Tiongkok-ASEAN Pertama di Nanning, Tiongkok (2013)
– The World Festival of Children’s Performing Arts (Toyama, Jepang, 2012)
– The Second World Conference on Arts Education UNESCO (Seoul, Korea Selatan, 2010)
– Penghargaan Seni dari Pangeran Monako (2008)
Oleh: Imam Prihadiyoko
Sumber: kompas, 10 Januari 2015