Hari Bumi 2017 bertemakan “Melek Lingkungan dan Iklim”. Dampak perubahan iklim pada umumnya dipahami sebagai dampak yang baru akan kita alami 50-100 tahun ke depan. Sungguh pemahaman yang amat keliru. Dampak itu telah terjadi sekarang dan di sejumlah tempat.
Penelitian mutakhir oleh Michela Pacifici dari Sapienza University of Rome, Roma, Italia, dan kawan-kawan, yang dipublikasikan 13 Februari lalu di jurnal Nature Climate Change, menemukan sekitar 410 spesies mamalia (47 persen dari 873 spesies) dan sekitar 300 spesies burung (24,3 persen dari 1.272 spesies) dalam daftar terancam punah, Daftar Merah (Red List) International Union for Conservation of Nature (IUCN), secara langsung terkena dampak perubahan iklim. Angka ini jauh lebih tinggi dari pernyataan semula, sekitar 7 persen mamalia dan 4 persen dari burung pada Daftar Merah yang terdampak perubahan iklim.
Dampak diamati dari perubahan fisik dan intrinsik, seperti bobot dan ukuran tubuh, serta perubahan ruang hidup mereka terkait temperatur dan kondisi geografis. Dalam 50 tahun terakhir laju peningkatan suhu atmosfer sekitar 0,13 derajat celsius, nyaris dua kali laju pada 50 tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Science and Research Initiative at the Wildlife Conservation Society, James Watson, penulis rekanan pada laporan itu, menilai, selama ini penelitian terkait perubahan iklim belum ada yang benar-benar mampu membukakan fakta tentang dampaknya pada spesies. Penelitian itu dilakukan dengan menganalisis 70 penelitian pada 120 spesies mamalia, termasuk gorila dan gajah, serta 66 penelitian pada 569 spesies burung. Dilakukan pengukuran pada parameter-parameter seperti jumlah populasi, jarak jangkau geografis, tingkat reproduksi, massa tubuh, dan tingkat kemampuan untuk menyintas (survival rate).
Dampak berantai
Mamalia bisa lebih rentan karena jenis makanan amat spesifik. Peningkatan suhu dan turunnya curah hujan menyebabkan menghilangnya spesies tumbuhan tertentu. Hal itu menyebabkan dampak berantai. Maka, kehancuran ekosistem hutan tropis bisa mengancam kelangsungan hidup orangutan yang pangannya bergantung pada tumbuhan di hutan tropis.
Burung dengan jarak jangkau geografis rendah akan lebih rentan. Demikian pula gorila yang hanya hidup di dataran tinggi. Akibat perubahan iklim, ruang hidup mereka menyempit karena perubahan ekosistem akibat peningkatan suhu akan mengubah habitat mereka.
Penelitian tersebut memberikan alarm pada kehidupan keseluruhan makhluk hidup di bumi. Bumi seisinya-baca: makhluk hidup di dalamnya pun termasuk-adalah bagian dari kosmos. Prinsip dalam entitas kosmos atau alam adalah saling berhubungan (interconnectedness) dan saling tergantung (interdependence). Saling mendukung satu dan yang lain.
Lebah, kelelawar, orangutan, dan gajah, misalnya, adalah penjaga keanekaragaman hayati dengan menjadi agen penyerbukan dan penyebaran biji. Maka, punahnya gajah, misalnya, akan mengubah wajah hutan tropis. Juga kehancuran pegunungan kapur (karst), misalnya, berdampak lenyapnya kehidupan lain. Kehancuran karst di Parung, Kabupaten Bogor, menyebabkan hilangnya durian Parung karena kelelawar menghilang akibat habitatnya rusak. Di sisi lain, ekosistem yang sehat dengan beragam tumbuhan dan makhluk hidup berfungsi membersihkan udara, menyerap gas karbon, dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi makhluk hidup, termasuk manusia.
Kita pada umumnya luput melihat dampak perubahan iklim pada rantai kehidupan. Alam memiliki hukumnya sendiri dan sistem yang bekerja di dalamnya membentuk suatu untaian rantai kehidupan. Maka, ketika satu mata rantai kehidupan hancur atau hilang, maka putuslah untaian rantai kehidupan (kita)..
Oleh: BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Rantai Kehidupan”.