Awal Ramadhan 1442 Hijriah kemungkinan besar jatuh pada Selasa (13/4/2021). Namun, pengamatan hilal untuk menentukan awal Ramadhan tahun ini lebih sulit karena posisi hilal ada di titik kritis.
Meski harus menunggu keputusan pemerintah, 1 Ramadhan 1442 Hijriah kemungkinan besar akan jatuh pada Selasa (13/4/2021). Artinya, Senin (12/4/2021), umat Islam akan melaksanakan shalat Tarawih.
Ramadhan 1442 Hijriah atau 2021 Masehi ini kemungkinan akan dilaksanakan sebagian besar umat Islam Indonesia secara bersama. Namun, upaya membuktikan kemunculan hilal Ramadhan dipastikan akan menantang. Pengamatan hilal secara saintifik kemungkinan besar sulit dilakukan, tetapi kesaksian melihat hilal oleh perukyat tradisional diyakini akan ada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski kalender Islam yang disusun pemerintah berdasarkan kriteria imkan rukyat atau kemungkinan terlihatnya hilal sudah menyebut 1 Ramadhan 1422 H jatuh pada Selasa (13/4/2021), keputusan resmi masih harus menunggu hasil sidang isbat atau penetapan pada Senin (12/4/2021) petang.
Penetapan itu akan dilakukan berdasar hasil rukyat (pengamatan) untuk melihat langsung ada tidaknya hilal di berbagai wilayah di Indonesia pada Senin selepas Matahari terbenam. Hilal adalah Bulan (moon) sabit tipis pertama yang terlihat selepas Matahari terbenam dan menjadi penanda datangnya awal bulan (month) dalam kalender Hijriah.
Namun, pengamatan hilal untuk menentukan awal Ramadhan 1442 H tahun ini akan sangat menantang. Situasi itu terjadi karena posisi hilal berada di titik kritis, mendekati batas minimal dalam kriteria imkan rukyat yang dipedomani pemerintah. Sejak lama, kriteria ini digugat astronom modern, tetapi banyak perukyat tradisional melaporkan melihat hilal pada posisi kritis itu.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut konjungsi, ijtimak atau kesegarisan antara Matahari, Bulan, dan Bumi yang menandai fase Bulan baru akan terjadi pada Senin (12/4/2021) pukul 09.31.
Saat Matahari terbenam pada Senin petang, tinggi hilal di seluruh Indonesia berkisar antara 2,62 derajat dan 3,66 derajat. Pada saat bersamaan, jarak sudut atau elongasi Bulan dan Matahari mencapai 3,88 derajat hingga 4,77 derajat dan umur Bulan berkisar antara 6,11 dan 9,26 jam.
Kriteria imkan rukyat yang digunakan pemerintah saat ini menyebut hilal dapat diamati jika ketinggian Bulan saat Matahari terbenam selepas konjungsi minimal mencapai 2 derajat, elongasi minimal 3 derajat, dan usia Bulan paling kecil 8 jam. Namun, belum ada astronom global yang mampu mengabadikan hilal dengan posisi mendekati titik kritis tersbeut.
KOMPAS/BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA—Posisi hilal awal Ramadhan 1442 Hijriah pada Senin (12/4/2021) petang dari seluruh wilayah Indonesia hasil perhitungan tim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Kriteria 2-3-8
Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, Moedji Raharto, mengatakan, kriteria imkan rukyat itu sudah digunakan sejak 1980-an di Indonesia. Berikutnya, kriteria ini juga dipakai negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam MABIMS atau Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Karena itu, kriteria ini juga disebut sebagai kriteria MABIMS atau kriteria 2-3-8 yang mengacu pada ukuran minimal yang jadi syarat terlihatnya hilal.
”Kriteria ini dibuat berdasarkan kesepakatan guna mengatasi banyaknya hasil hisab (perhitungan posisi Bulan) maupun rukyat yang tidak akurat,” katanya. Kala itu, penggunaan teleskop dalam pengamatan hilal masih menjadi perdebatan boleh atatu tidaknya sesuai hukum agama. Pelibatan astronom modern juga sangat terbatas.
Ketidakakuratan yang terjadi pada masa itu, antara lain, adalah dalam perhitungan, posisi Bulan masih di atas ufuk. Namun, saat dicek secara astronomis, Bulan sudah terbenam. Ada pula laporan keberhasilan pengamatan hilal, tetapi setelah dicek, cahaya yang disangka hilal itu kemungkinan besar adalah cahaya dari benda langit lain.
Sementara itu, Kompas, 22 Mei 2020 menyebut kriteria MABIMS disusun berdasar kesaksian melihat hilal Syawal 1404 H pada 29 Juni 1984 dari Jakarta, Pelabuhanratu (Jawa Barat) dan Parepare (Sulawesi Selatan). Ketika itu, tinggi hilal saat Matahari terbenam mencapai 2 derajat. Data ini dijadikan yurisprudensi penentuan tinggi hilal yang bisa diamati.
Dari data ketinggian ini, lanjut Moedji, kriteria lain dimasukkan, yaitu elongasi dan umur Bulan hingga menjadi kriteria MABIMS seperti sekarang.
Seiring berkembangnya waktu, penggunaan teleskop dalam pengamatan hilal makin luas. Demikian pula keterlibatan astronom modern. Pengamatan hilal pun makin menuntut akurasi yang makin tinggi.
Nyatanya, sulit sekali memperoleh citra hilal dengan posisi sesuai nilai minimal kriteria imkan rukyat 2-3-8. Karena itu, banyak astronom yang tersebar di sejumlah lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga keagamaan mendesak pemerintah untuk memperbarui kriteria 2-3-8 itu.
Tuntutan itu juga sesuai hasil pengamatan hilal global. Rekor pengamatan hilal dunia yang tercatat di Proyek Observasi Bulan Sabit Islam (Islamic Crescent Observation Project), jejaring pengamat hilal global menunjukkan hilal termuda yang bisa dilihat memakai teleskop berumur 11 jam 17 menit, yaitu hilal Jumadilawal 1433 H yang diperoleh Jim Stamm dari Tucson, Arizona, Amerika Serikat, pada 22 Maret 2012. Saat itu, elongasi Matahari-Bulan sebesar 6 derajat.
Sementara hilal termuda yang bisa diamati dengan mata telanjang adalah hilal Syakban 1410 H yang dilihat John Pierce dari Collins Gap, Tennessee, AS, pada 25 Februari 1990. Saat itu usia hilal mencapai 15 jam 33 menit dan elongasi Matahari-Bulan mencapai 7,7 derajat.
Astronom Indonesia dari sejumlah perguruan tinggi dan lembaga keagamaan sebenarnya mengusulkan kriteria hilal baru yang disebut Rekomendasi Jakarta 2017. Kriteria hasil Seminar Internasional Fikih Falak di Jakarta pada 28-30 November 2017 itu mengusulkan hilal bisa diamati jika tinggi Bulan minimal 3 derajat dan elongasi Matahari-Bulan minimal 6,4 derajat. Namun, hingga kini, usulan itu belum diadopsi pemerintah.
Kesaksian hilal
Meski astronom modern belum berhasil mengamati hilal pada titik kritis sesuai kriteria MABIMS, perukyat tradisional Indonesia sering memberi kesaksian melihat hilal. Padahal, titik kritis kriteria 2-3-8 itu jauh dari rekor global pengamatan hilal. Kesaksian melihat hilal para perukyat tradisional itu sulit dicatatkan sebagai rekor karena tidak ditopang dengan data ilmiah yang cukup, misalnya foto penampakan hilal.
Situasi itu menimbulkan keraguan di antara astronom tentang kesaksian melihat hilal tersebut meski kesaksian itu sah secara hukum agama. Banyak pihak menduga apa yang dikesankan sebagai hilal oleh perukyat tradisional itu sejatinya bukanlah hilal, tetapi benda langit lain, mulai dari cahaya planet lain hingga pantulan sinar Matahari di awan.
Menurut Moedji, atmosfer membuat cahaya hilal yang lemah pasti jadi lebih lemah saat ditangkap mata manusia. Sumber cahaya di dekat horizon akan melalui atmosfer yang lebih tebal untuk sampai ke mata manusia dibandingkan dengan sumber cahaya yang ada di atas kepala. Karena itu, hilal akan semakin mudah di amati jika tinggi hilal atau jarak dengan horizon makin besar.
Terbatasnya kemampuan mata dalam melihat cahaya yang lemah itu membuat potensi kesalahan melihat hilal menjadi cukup besar. Potret hilal yang diperoleh sejumlah lembaga pada posisi hilal yang jauh dari titik kritis kriteria MABIMS pun harus dicermati hati-hati karena sulitnya membedakan antara cahaya hilal dan cahaya langit senja.
Namun, hingga kini belum ada pembuktian ilmiah yang menunjukkan kesaksian perukyat tradisional melihat hilal itu keliru. ”Selama belum ada yang bisa menunjukkan secara saintifik bahwa cahaya yang dikesani sebagai hilal oleh perukyat tradisional itu bukanlah hilal, maka akan sulit untuk mengatakan bahwa yang mereka saksikan bukanlah hilal,” kata Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama Hendro Setyanto.
Upaya untuk meragukan kesaksian perukyat tradisional itu juga tidak mudah. Perukyat tradisional itu umumnya berasal dari lembaga keagamaan atau pesantren yang telah turun-temurun menghisab posisi bulan dan mengamati hilal. Literatur mereka juga sangat lengkap. Demikian pula peralatan yang digunakan atau instrumen pengamatan yang digunakan.
Di sisi lain, integritas perukyat tradisional sering kali susah disangsikan. Mereka telah lama menekuni ilmu hisab dan rukyat, memahami seluk-beluk ilmu falak atau astronomi, serta mereka juga bersedia disumpah atas kesaksian mereka melihat hilal. Amanat yang mereka emban tidaklah kecil karena kepada merekalah umat Islam selama ini bergantung dalam penentuan awal kalender Hijriah.
Kini, mereka juga banyak dibekali dengan teleskop hingga kamera perekam hilal. Namun, citra hilal yang diharapkan menjadi sarana pembelajaran hilal bersama tidak kunjung diperoleh. Kesaksian melihat hilal yang mereka laporkan pun alhasil didasarkan pada dengan pengamatan mata telanjang.
Memang diakui, kadang muncul kelompok pengamat hilal dadakan yang selama ini jarang mengamat hilal hingga diragukan kesaksiannya. Namun, kelompok perukyat tradisional yang memiliki pengalaman panjang dalam pengamatan hilal dengan mata telanjang jauh lebih banyak.
Sebagian pihak menilai pemakaian teleskop seharusnya bisa membantu pengamatan hilal hingga kesaksian melihat hilal itu tidak hanya disandarkan pada integritas seseorang, tetai juga bisa dibuktikan orang lain sesuai prinsip sains. Nyatanya, upaya itu tidaklah mudah karena pemakaian teleskop dan mata telanjang dalam pengamatan hilal memiliki keunggulan tersendiri.
Kepala Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera Lampung Hakim L Malasan mengatakan, hilal dengan posisi sesuai batas minimal dalam kriteria MABIMS sebenarnya bisa dideteksi dengan teleskop. Namun, itu membutuhkan keterampilan yang baik dalam mengoperasikan teleskop.
Selanjutnya, kalaupun hilal yang bisa dideteksi teleskop itu ingin diabadikan atau dipotret, itu juga memerlukan kompetensi tersendiri dalam pengoperasian kamera. Kontras atau perbedaan antara cahaya langit senja yang masih terang akibat sinar Matahari dan sinar hilal yang redup menjadi tantangan yang berat.
Kelebihan penggunaan mata telanjang untuk mengamati hilal adalah diperolehnya medan pandang yang luas hingga bisa lebih cermat. ”Dalam kondisi tertentu, mata lebih mudah mengenali obyek tertentu dibandingkan menggunakan alat bantu,” katanya.
Sementara itu, jika menggunakan teleskop, medan pandang ke arah hilal menjadi lebih kecil. Kondisi itu membuat keterampilan mengarahkan teleskop secara tepat menjadi sangat penting meski pengoperasian teleskop saat ini sudah dibantu motor.
”Selain keterampilan mengoperasikan teleskop ataupun kamera, hilal bisa dipotret jika kondisi langit benar-benar bersih hingga menghasilkan kontras antara cahaya senja dan cahaya hilal yang baik,” katanya. Pada kondisi ini, atmosfer harus bersih, tidak ada uap air, gas, polutan udara, hingga awan tipis di sekitar horizon yang bisa mengurangi tampilan cahaya hilal.
Karena itu, proses saling belajar secara setara di antara perukyat tradisional dan astronom modern harus terus dilakukan. Penggabungan kemampuan dan kekuatan antara perukyat tradisional dan astronom modern itu bisa menjadi potensi besar dalam perkembangan ilmu falak atau astronomi di Indonesia maupun perkembangan ilmu pengetahuan global.
Dilematis
Persoalan pengamatan hilal di Indonesia menjadi tambah rumit karena masalah sosial politik yang menyertainya. Di luar kelompok yang menggunakan kriteria imkan rukyat dalam penentuan awal bulan Hijriah, ada kelompok umat Islam lain yang menggunakan kriteria berbeda, misalnya kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal.
Dalam kriteria wujudul hilal ini, awal bulan Hijriah ditentukan sepanjang sudah terjadi ijtimak dan saat Matahari terbenam sesudah ijtimak tersebut, Bulan masih berada di atas horizon. Itu berarti, Matahari terbenam lebih dulu dibandingkan dengan Bulan. Kriteria ini tidak menuntut untuk mengamati hilal karena mereka yakin pada kondisi tersebut hilal sudah terbentuk atau wujud meski belum tentu bisa dilihat.
Secara sains modern, penggunaan kriteria wujudul hilal yang berbasis pada perhitungan atau hisab itu lebih mudah dan praktis. Metode serupa banyak digunakan kalender berbasis pergerakan Bulan lainnya. Namun, cara ini ditentang kelompok umat Islam lain yang meyakini hilal penanda awal bulan harus bisa dilihat langsung sesuai dengan tuntutan agama dan praktik yang dilakukan sejak awal Islam.
Adanya dua kriteria besar dalam menentukan awal bulan Hijriah di Indonesia itu, yaitu kriteria wujudul hilal dan kriteria imkan rukyat membuat perbedaan penentuan hari-hari besar keagamaan di Indonesia sering terjadi.
Perbedaan itu umumnya terjadi pada saat posisi hilal berada lebih rendah atau mendekati titik kritis kriteria imkan rukyat. Mereka yang memakai kriteria wujudul hilal akan menganggap saat itu hilal sudah terbentuk walau tidak bisa diamati. Sementara yang memakai kriteria imkan rukyat akan menilai posisi hilal terlalu rendah membuat hilal tidak bisa diamati sehingga awal bulan Hijriah baru dimulai keesokan harinya.
Kondisi itulah yang menurut Hendro menjadi dilematis bagi pemerintah untuk menerima Rekomendasi Jakarta 2017 guna memperbaiki kriteria imkan rukyat 2-3-8. Jika Rekomendasi Jakarta 2017 yang batasan minimal terlihatnya hilal lebih besar dari kriteria MABIMS diterima, potensi terjadi perbedaan awal Ramadhan atau hari raya di Indonesia akan semakin besar.
”Di satu sisi, pemerintah ingin perayaan hari-hari besar keagamaan senantiasa dilakukan umat Islam Indonesia bersamaan demi menjaga persatuan. Namun, itu akan semakin sulit terjadi jika kriteria Rekomendasi Jakarta 2017 diterima,” katanya. Padahal, kriteria Rekomendasi Jakarta 2017 itu lebih bisa diterima secara sains modern dibandingkan dengan kriteria imkan rukyat.
Di sinilah dibutuhkan kearifan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan penentuan awal bulan Hijriah yang berlarut-larut di Indonesia. Saat masalah kriteria wujudul hilal dan imkan rukyat belum bisa disatukan, muncul desakan untuk memperbaiki kriteria imkan rukyat berbasis astronomi modern.
Perbedaan yang berlangsung puluhan tahun itu belum menemukan titik terang. Alhasil, setiap awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, umat Islam Indonesia selalu dibuat khawatir oleh ketidakpastian kapan awal ketiga bulan tersebut dimulai. Penentuan awal bulan Hijriah pada ketiga bulan itu penting karena menyangkut pelaksanaan ibadah yang diwajibkan atau diharamkan.
Banyak pihak menginginkan adanya penyatuan kriteria awal bulan Hijriah terlebih dulu di Indonesia. Jika hal itu sudah terwujud, perbaikan kriteria imkan rukyat dengan kriteria Rekomendasi Jakarta bisa dilakukan secara perlahan. Dengan demikian, kebersamaan dan persatuan umat Islam Indonesia secara berkelanjutan dalam merayakan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha benar-benar bisa segera terwujud.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 12 April 2021