Daerah pesisir di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, mengalami abrasi cukup parah. Namun, belum ada pihak yang bekerja secara berkelanjutan untuk mengatasi persoalan tersebut. Hal itu yang membuat Raja Fajar Azansyah (37) khawatir. Ia pun menghimpun rekan-rekannya untuk mengonservasi mangrove di kawasan pesisir itu sejak 2011 hingga sekarang.
Untuk menjamin keberhasilan rencananya, Raja Fajar Azansyah pun melibatkan masyarakat sekitar pantai. Apalagi hutan mangrove itu habis karena ditebang dan kayunya dijadikan kayu bakar oleh masyarakat sekitar.
Penebangan ini terjadi akibat ketidaktahuan masyarakat terhadap manfaat mangrove untuk menahan abrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Garis pantai Mempawah panjangnya 120 kilometer. Dari 120 km itu seluruhnya rawan abrasi. Bahkan, di beberapa desa khususnya di pantai bagian selatan Mempawah telah terjadi abrasi 1,5 kilometer sejak tahun 1990 hingga sekarang.
”Pada 2013, saat musim gelombang tinggi, saat itulah abrasi pantai terjadi sangat parah,” ujarnya.
Bahkan, abrasi yang dahsyat kini memisahkan sebagian wilayah Desa Penibung sejauh 100 meter lebih dari desa induknya. Bagian wilayah desa itu lalu seperti pulau tersendiri yang dikelilingi perairan.
”Mangrove yang rusak saat itu di antaranya di Bakau Besar dan Desa Parit Banjar. Bahkan, hutan mangrove di daerah itu sudah habis,” kata Raja.
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, Raja memulai langkahnya dari kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Mempawah, terlebih dahulu.
”Awalnya, kami tertatih-tatih juga. Bahkan, tidak jarang menggunakan uang pribadi untuk kegiatan konservasi mangrove atau pohon bakau di daerah Mempawah,” ujar Raja.
Semula, Raja mengajak rekan-rekannya secara mandiri menanam mangrove. Setelah satu tahun berjalan, mereka mencari relawan untuk ikut dalam kegiatan konservasi. Meski mulai banyak yang terlibat, masyarakat saat itu belum ada yang mau. Akhirnya, Raja pun mengajak Palang Merah Remaja dan pelajar setempat untuk menanam mangrove.
Baru pada 2013, ketika jerih payah mereka mulai terlihat, masyarakat mulai ada yang mau terlibat. Menurut Raja, keengganan masyarakat terlibat sejak awal karena kuatnya pandangan masyarakat yang menganggap mangrove bisa tumbuh sendiri.
”Selain itu, mereka menganggap bahwa upaya konservasi itu merupakan proyek,” ujar Raja yang tak lelah mengajak dialog warga sekitar hingga akhirnya mereka pun tertarik untuk bergabung.
Masyarakat yang terlibat pun kian banyak. Di Desa Sungai Bakau Besar Laut pada 2013, ada 20 warga yang terlibat dalam konservasi mangrove. Dalam perjalanannya, pada 2014 di Desa Sungai Bakau Kecil ada 12 orang dan dari Desa Penibung ada 10 orang yang bergabung.
”Saat ini, relawan yang ikut seluruhnya mencapai 150 orang yang terdiri dari komunitas pelajar, komunitas motor, dan mahasiswa,” ujarnya.
Tantangan
Meski dikatakan persoalan klasik, masalah dana merupakan kendala nyata. Untuk mengatasi itu, Raja bersiasat memanfaatkan barang bekas untuk pembudidayaan mangrove. Barang-barang bekas yang dipakai antara lain botol bekas minuman. Sementara untuk buah mangrove, ia mencari sendiri dengan dibantu pemerhati lingkungan.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam konservasi mangrove, Raja pun memperkenalkan cara mengolah buah mangrove menjadi produk dodol. Selama ini, mangrove hanya digunakan masyarakat untuk dijadikan kayu bakar.
”Kalau ada manfaat ekonominya, masyarakat bisa lebih semangat dalam memelihara bahkan mengonservasi mangrove karena buahnya bisa dimanfaatkan,” katanya.
Akhirnya, pada pertengahan 2014 di Desa Bakau Besar, Mempawah, dibentuk kelompok pengolahan buah mangrove dengan melibatkan ibu-ibu di sekitar pantai.
Untuk memulai itu, Raja mengundang orang yang paham tentang cara mengolah buah mangrove menjadi dodol. Langkah ini pun tidak mudah karena ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan itu sering gagal membuat dodol. Namun, setelah berulang-ulang mencoba, akhirnya mereka berhasil.
”Setelah mereka bisa membuat dodol dari buah mangrove, kami mengajukan sertifikasi halal. Dengan demikian, mereka tinggal fokus pada pembuatan dan pemasaran dodol dari mangrove. Penghasilan belum begitu besar, tetapi yang terpenting mereka terus mengembangkan usaha itu dan mangrove pun tetap terjaga,” kata Raja.
Target Raja selanjutnya adalah membuat diferensiasi produk buah mangrove. Misalnya diolah menjadi tepung. Saat ini, ibu-ibu sudah berhasil membuat tepung.
Agar mereka bisa menjalankan usaha itu secara mandiri, Raja tidak henti-hentinya memotivasi warga. Selain itu, ia juga rutin menggelar evaluasi dan bertukar pikiran tentang kendala yang dihadapi, untuk mencari solusinya.
”Dengan kegiatan-kegiatan ini, bukan keuntungan finansial yang menjadi sasaran saya, tetapi ada kepuasan batin dengan melihat pohon mangrove tumbuh kembali dan ekonomi masyarakat mulai berkembang. Selain itu, masyarakat sekitar pantai bisa selamat dari abrasi pantai,” ujarnya.
—————————————————————————
RAJA FAJAR AZANSYAH
? Tempat, tanggal lahir: Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 9 Oktober 1978
? Istri: Rusdiana (33)
? Anak:
– Raja Nafasya (9)
– Raja Fadhilah (3)
? Pendidikan:
– SDN 02 Tanjungpinang lulus 1991
– SMPN 01 Tanjungpinang lulus 1994
– SMAN 02 Tanjungpinang lulus 1997
– Manajemen Pariwisata, STIEPAR YAPARI Bandung 1997
? Karier: PNS di Badan Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Mempawah.
Oleh: EMANUEL EDI SAPUTRA
Sumber: Kompas, 23 Februari 2015
Posted from WordPress for Android