Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia setelah Brasil, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman sumber karbohidrat. Dengan mengoptimalkan konsumsi pangan lokal yang beragam ini, Indonesia seharusnya bisa berdaulat pangan.
Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di Indonesia saat ini hanyalah beras dan terigu. Padahal, kita memiliki begitu banyak potensi pangan sumber karbohidrat lokal,” kata Drajat Martianto, ahli gizi yang juga Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor, dalam diskusi yang diprakarsai oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Jumat (16/2), di Bogor.
Menurut Drajat, konsumsi beras di Indonesia per kapita saat ini masih amat tinggi, di atas 100 kilogram (kg) per kapita per tahun. ”Konsumsi beras per kapita kita termasuk yang tertinggi di dunia. Thailand dan Vietnam saat ini konsumsinya hanya sekitar 80 kg per tahun,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penurunan konsumsi
Sekalipun mulai terjadi tren penurunan konsumsi beras per kapita, itu masih sangat kecil, yaitu hanya sekitar 0,2 persen per tahun. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia terjadi peningkatan konsumsi beras.
Apalagi penurunan konsumsi beras justru digantikan oleh terigu impor. Menurut Drajat, saat ini volume impor terigu sudah mencapai 7,4 juta ton dengan laju pertumbuhan di atas 5 persen. Kondisi tersebut dinilai sangat mengkhawatirkan kedaulatan pangan nasional ke depan.
Drajat menegaskan, harus ada perubahan perilaku konsumsi masyarakat dan perubahan di tingkat kebijakan agar lebih berpihak pada keragaman pangan lokal. Beberapa jenis pangan lokal sumber karbohidrat nonberas antara lain jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, garut, sukun, hingga pisang. Tiap-tiap sumber pangan ini juga bisa dibuat tepung sehingga sangat berpotensi untuk menggantikan terigu.
”Sumber-sumber bahan lokal ini rata-rata memiliki karbohidrat tinggi, dalam bentuk tepung kandungannya setara dengan beras dan terigu,” ucapnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Warga menyiangi rumput di areal perkebunan yang ditumbuhi tanaman talas di Desa Nambo, Kecamatan Kelapa Nimbang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (16/2). Umbi talas merupakan salah satu dari 77 sumber karbohidrat yang rendah lemak dan kaya serat sehingga cukup baik untuk memperlancar kerja pencernaan.
Selain itu, hampir semua sumber bahan pangan lokal itu memiliki kadar protein rendah kecuali tepung jagung. Beberapa di antaranya, jagung kuning, ubi jalar, dan ubi kayu kuning, memiliki kandungan beta karoten tinggi yang berguna sebagai antioksidan.
”Jika kita bisa mendorong penurunan konsumsi beras diganti sumber pangan lokal ini sekali per hari saja kita bisa menghemat beras dan tak perlu impor seperti saat ini,” kata Drajat.
Keberagaman pangan
Ketua Gerakan Petani Nusantara (GPN) Hermanu Triwidodo menambahkan, kunci kesuksesan Vietnam mengekspor beras saat ini terletak pada keberhasilan mereka menerapkan keberagaman pangan. ”Dari aspek produktivitas padi, Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan Vietnam. Namun, karena masyarakat Vietnam sukses mengurangi konsumsi beras, kelebihannya bisa diekspor,” katanya.
Menurut Hermanu, gerakan untuk mendorong keberagaman pangan di Vietnam mulai dilakukan sekitar 1997, berbarengan dengan Indonesia. ”Namun, di Indonesia hal tersebut tak berlanjut,” ujarnya.
Ketua KRKP Said Abdullah mengatakan, saat ini pemerintah justru meminggirkan keragaman pangan dengan kebijakan bias beras. ”Upaya terbesar kita dipakai untuk mengejar produksi beras, sedangkan pangan lain tidak diurus. Ketergantungan pada beras dan terigu impor ini mengancam kedaulatan pangan ke depan,” katanya.
Ketua Departemen Proteksi Tanaman IPB Suryo Wiyono memaparkan, untuk memproduksi beras, energi dan biaya yang dibutuhkan sangat tinggi. Untuk memproduksi 1 kilogram beras dibutuhkan 2.500 liter air. Sementara ubi atau singkong bisa tumbuh di lahan kering.
Suryo pesimistis pembukaan sawah baru di luar Jawa yang saat ini digalakkan pemerintah bisa mengatasi kebutuhan pangan ke depan. Selain membutuhkan dukungan sistem pengairan yang baik, padi juga membutuhkan perawatan yang jauh lebih kompleks. ”Daripada membuka sawah baru, seharusnya kita fokus pada mengoptimalkan sumber pangan lokal,” ujarnya.(AIK)
Sumber: Kompas, 17 Februari 2018