Setelah tiga bulan terakhir kondisi cuaca dan iklim di beberapa kawasan beragam dengan kondisi kering, antara kering dan basah, hingga basah, kini di akhir September sebagian besar wilayah kondisinya seragam: hujan mulai turun. Di seluruh kawasan benua maritim Indonesia, khususnya wilayah bagian selatan, mulai dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, hingga Kepulauan Nusa Tenggara Timur,basah oleh hujan.
Hal ini didukung dengan penurunan tekanan udara yang sebelumnya cukup tinggi di atas tekanan udara normal, yaitu 1 atmosfer = 76 sentimeter air raksa = 1.013,25 milibar/hekto Pascal (dalam ukuran cuaca/meteorologi). Turunnya tekanan udara ini tidak terlepas dari proses peredaran udara lingkup global (wawasan ribuan kilometer), lingkup regional (wawasan ratusan kilometer), dan lingkup lokal hingga mikro (wawasan puluhan hingga satuan meter).
Hasil interaksi
Proses alami udara di atmosfer Bumi ini berinteraksi dengan berbagai proses ciptaan manusia yang mengubah lingkungan, bahkan mencemari air, udara, dan tanah. Proses alami dan buatan tersebut berinteraksi menghasilkan situasi serta kondisi cuaca dan iklim yang kini kita alami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kalangan praktisi dan peneliti perubahan umumnya menitikberatkan pada naiknya gas buang ke atmosfer sebagai bahan gas rumah kaca (GRK). Kondisi ini perlu diwaspadai seiring dengan perubahan tata guna lahan, naiknya jumlah kendaraan bermotor, dan berbagai aktivitas lain. Kondisi ini juga berpadu dengan kondisi alam, seperti kian turunnya kegiatan di permukaan Matahari yang kita kenal dengan kehadiran bintik-bintik Matahari (sunspot) dan ledakan di Matahari (solar flare) sejak 2010 dan diperkirakan baru tahun 2021 pada kondisi minimum.
Aktivitas bintik Matahari
Jumlah bintik dan ledakan sangat erat dengan kuat-lemahnya radiasi Matahari yang terpancar ke alam raya, termasuk ke Bumi. Dari evaluasi, kondisi sunspot berkaitan dengan perkembangan keberagaman cuaca dan iklim, khususnya di kawasan benua maritim Indonesia.
Saat Matahari giat, umumnya gejala alam global El Nino juga giat dan berkepanjangan, seperti periode 1961-1970 yang setiap dua tahun terjadi gejala alam global El Nino dan periode 1980- 2010 yang melahirkan gejala El Nino pembuat bencana kebakaran lahan serta pencemaran asap berkepanjangan. Saat Matahari kurang giat, umumnya gejala global La Nina yang dominan dan berkepanjangan, seperti periode 1971-1980 dan kini 2010-2017.
Gejala alam global El Nino 2015/2016 giat menjelang akhir 2015 dan meluruh pada pertengahan 2016. Kemudian, di pertengahan 2017, berbagai pusat cuaca iklim dari negara maju menginformasikan akan hadirnya gejala alam global El Nino yang ternyata hanya giat satu-dua bulan.
Pada periode 1977-2007 tercatat kegiatan optimum sunspot mencapai kisaran 150-250 bintik per bulan. Kini, pada era 2010-2017 optimum sunspothanya pada 50-75 bintik per bulan. Sepertinya pada akhir 2017 kondisi kian menuju minimum, kurang dari 40 bintik per bulan.
Situasi dan kondisi udara yang cenderung berubah-ubah untuk kurun waktu yang relatif singkat berdampak pada ragam polacuaca dan iklim, termasuk perubahan awal musim kemarau untuk periode 2010 hingga kini. Periode 1980-2010 umumnya awal musim kemarau di daerah musim Indonesia-ditetapkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika-lebih awal dan di akhir musim kemarau yang bersamaan dengan awal musim hujan umumnya mundur, dengan sifat curah hujan di bawah normal atau tanpa curah hujan untuk kurun waktu lebih dari dua bulan atau lebih.
Namun, periode 2010 hingga kini, berarti sudah tujuh kali mengawali musim kemarau, awal musim kemarau cenderung mundur dengan sifat curah hujan normal hingga di atas normal.
Dengan kajian di atas, untuk indikasi berakhirnya musim kemarau 2017, beberapa kawasan, seperti Pulau Sumatera, Jawa, Bali, bagian selatan Kalimantan dan Sulawesi, serta beberapa pulau di kawasan Kepulauan Nusa Tenggara, mulai berproses.
Berdasarkan analisis kondisi tekanan udara regional, diikuti sebaran awan yang ada di kawasan selatan benua maritim Indonesia, diketahui kondisi tekanan cukup tinggi di atas 1.012-1.015 milibar per hekto Pascal, sama dengan tekanan 1 atmosfer hingga lebih. Kondisi tekanan udara tinggi ini umumnya diikuti dengan udara yang terberai atau divergen.
Hujan turun
Pantauan satelit cuaca menunjukkan kondisi yang bersih hingga awan yang tipis, tetapi secara keseluruhan situasi dan kondisi awan umumnya cerah. Hanya beberapa kawasan Jawa bagian barat, khususnya sekitar Jabodetabek, hujan turun. Hujan ini berasal dari awan jenis menjulang tinggi (kumulus) yang tidak melampaui titik/level beku (0 derajat). Artinya, awan yang membikin hujan sebelum akhir September 2017 di kawasan Jabodetabek disebut awan panas karena suhu awan tidak di bawah titik beku.
Kondisi hujan diikuti petir ini juga bisa digunakan sebagai penanda kondisi musim peralihan dari kemarau ke musim hujan. Perubahan musim ini ditandai pula dengan proses perubahan struktur udara secara vertikal yang menghasilkan awan panas dan awan dingin (awan di atas level titik beku).
Data menunjukkan, di beberapa kawasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, mulai 27 September 2017, terpantau adanya petir saat hujan pada malam hingga pagi hari, seperti kawasan Jabodetabek. Tekanan udara yang mulai lebih rendah dari 1 atmosfer diikuti terbentuknya awan badai (awan menjulang tinggi yang diikuti badai guntur), maka proses menuju awal musim hujan sedang berlangsung.
Apalagi garis edar Matahari kini telah kian bergeser ke selatan. Berarti pemanasan intensif akan berada di belahan Bumi selatan sehingga proses pemanasan dari Matahari akan giat dan peluang tekanan yang kini rendah untuk kembali naik, kecil. Dengan demikian, proses awal musim mulai berlangsung akhir September 2017.
Keberagaman berlanjut
Keberagaman cuaca dan iklim di Indonesia sepertinya akan terus berlanjut seiring dengan perkembangan alam dan kegiatan umat manusia yang terus berkembang. Hal ini membuat proses perubahan udara akan berlangsung untuk kurun waktu yang cukup panjang. Pengamatan dan pengumpulan data, analisis, serta kajian akan terus diperlukan.
Munculnya dampak keragaman kondisi cuaca dan iklim berupa badai guntur, hujan lebat, angin kencang/puting beliung, suhu udara hangat, serta kondisi ekstrem lain perlu antisipasi dan mitigasi jika kondisi tersebut memberikan dampak.
PAULUS AGUS WINARSO, DOSEN STMKG JAKARTA
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul “Ragam Iklim 2017 Berlanjut”.