Tantangan keluarga Indonesia kian berat. Di masa lalu, ancaman ketahanan keluarga umumnya berupa kenakalan remaja, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, atau seks pranikah. Kini, intoleransi dan radikalisme jadi ancaman baru yang membuat banyak keluarga ”kehilangan” anaknya.
Bagi sebagian kelompok radikal, keluarga atau orangtua yang tak mendukung pergerakan sah ditinggalkan. ”Mereka yang di luar kelompok dikategorikan sebagai pihak yang tak benar meski itu adalah orangtua atau keluarga asal,” kata dosen dan peneliti psikologi terorisme Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gazi Saloom, Minggu (1/7/2018).
Situasi itu membuat banyak orangtua kesulitan mengingatkan anaknya yang terjerumus dalam kelompok radikal. Anak kian jauh dari keluarga hingga relasi anak dan orangtua terputus. Persoalan yang kian banyak dialami keluarga Indonesia itu perlu jadi perhatian serius dalam peringatan Hari Keluarga Nasional yang jatuh setiap 29 Juni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO–Satu keluarga asyik menikmati berolahraga di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (11/12). Hari bebas kendaraan bermotor tidak hanya dimanfaatkan kaum muda, tetapi juga oleh orang tua untuk mengajak anak mereka berolahraga.
Sikap radikal seseorang selalu diawali dengan krisis identitas. Individu-individu yang mengalami kondisi sama itu bertemu dalam satu kelompok. Di dalam kelompok itulah mereka akan didoktrin pimpinan kelompok dengan mencari kambing hitam atas krisis yang mereka hadapi.
Proses menjadi radikal itu akhirnya melahirkan ujaran kebencian, sikap tak bisa berempati, intoleran, radikal, hingga akhirnya jadi pelaku teror. Proses radikalisasi itu tak linier atau mereka yang intoleran belum tentu jadi pelaku teror. Meski demikian, situasi itu perlu dicermati keluarga.
”Keluarga harus berperan aktif agar anak-anak terselamatkan dari intoleransi dan radikalisme,” ucap Gazi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Sejumlah pengunjung menggelar tikar untuk bersantai dengan keluarga di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, Sabtu (26/12/2015). Liburan panjang Maulid Nabi Muhammad SAW dan hari Natal, serta bertepatan dengan musim libur sekolah, membuat sejumlah tempat wisata di Jakarta dipadati pengunjung.
Sulit
Keluarga merupakan tempat anak bertumbuh. Pengaruh keluarga terhadap pertumbuhan anak tidak bisa dihindarkan. Karena itu, proses tumbuh kembang anak sangat bergantung pada kondisi keluarga. Demikian pula tingkat kerentanan anak terhadap paham radikal.
Guru Besar Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Koentjoro mengatakan, situasi sosial saat ini membuat upaya keluarga Indonesia mencegah intoleransi dan radikalisme jadi kian sulit. Situasi itu melahirkan pengasuhan anak yang sembrono yang tanpa disadari menjerumuskan anak dalam masalah di masa depan.
Interaksi antaranggota keluarga kian terbatas. Setiap anggota keluarga sibuk dengan kegiatannya. Saat bersama pun bukan komunikasi bermutu yang terjadi, tetapi sibuk dengan gawainya masing-masing.
Selain itu, banyak orangtua menunjukkan rasa sayangnya kepada anak dengan cara keliru, mulai dari menuruti semua permintaan anak, kurang memandirikan anak, hingga terlalu mengekang anak karena kekhawatiran berlebih. Akibatnya, anak tumbuh tanpa mengenal proses dan membuat anak kurang berempati dengan orang lain.
KOMPAS/ALIF ICHWAN–Keluarga Dedi yang tinggal di daerah Cempaka Putih, Jakarta, Rabu (20/2/2014) malam, merayakan hari ulang tahun ke-17 putri sulungnya, Sasha (tengah). Perayaan diadakan secara sederhana. Acara hari ulang tahun Sasha dihadiri kedua orangtua, adik, dan saudara, selanjutnya diisi dengan pembacaan doa, meniup lilin, dan memotong kue ulang tahun yang kemudian disantap bersama.
Gazi menambahkan, perhatian orangtua banyak yang terfokus pada kebutuhan material anak tanpa mereka tahu perkembangan dan dinamika psikologi anak. Akibatnya, komunikasi anak dan orangtua tak jalan, termasuk saat akan menikahkan anak hingga banyak anak berubah jadi radikal setelah menikah.
”Orangtua merupakan penanggung jawab anak hingga mereka menikah,” katanya.
Di sisi lain, banyak anak jadi intoleran dan radikal karena mencontoh atau diajarkan orangtuanya. Banyak orangtua secara sadar atau tak sadar mengajarkan anak untuk membenci orang lain hanya gara-gara beda pilihan politik. Namun, mereka yang secara sadar melakukan itu berkelit itu adalah kebajikan.
”Kebencian yang diajarkan itu menimbulkan bias kognitif yang tertanam di pikiran anak sejak dini hingga makin sulit diluruskan,” ujarnya.
Kebencian yang diajarkan itu menimbulkan bias kognitif yang tertanam di pikiran anak sejak dini hingga makin sulit diluruskan.
Kian besarnya tantangan keluarga membuat pendidikan keluarga harus dikembalikan. Orangtua harus terlibat aktif dalam pendidikan anak, tidak bisa menyerahkan proses itu pada lembaga pendidikan semata.
Keterampilan orangtua pun perlu ditingkatkan dan disiapkan. Ke depan, mengasuh anak akan kian sulit. Orangtua harus memahami dan mengasuh anak sesuai tahap tumbuh kembangnya. Karena itu, konseling pranikah perlu dikuatkan hingga setiap calon orangtua siap menjadi orangtua.
Radikalisme ialah persoalan negara. Jadi, tantangan ini harus diantisipasi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, tokoh agama, maupun agama. Sistem pendidikan yang mendukung rasionalitas dan budaya multikultur pun perlu didorong seiring penguatan pembangunan keluarga.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 2 Juli 2018