Rabies Tak Kunjung Beres

- Editor

Senin, 17 September 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam sepekan terakhir, Kompas menyoroti masalah rabies, terutama situasi darurat rabies di Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sepanjang 1997-2017, sudah 321 orang meninggal karena rabies di Flores. Namun, korban masih berlanjut sampai 2018 meskipun relatif menurun.

Berita kelangkaan stok vaksin antirabies (VAR) untuk manusia (Kompas, 6/8/2018), menimbulkan kepanikan warga. Hal ini bisa dipahami karena begitu digigit anjing rabies dan gejala muncul, infeksi tidak bisa dihentikan dan berakhir dengan kematian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Meski demikian, sebagian besar serangan virus rabies bisa diatasi melalui vaksinasi segera pasca-gigitan (post exposure vaccination). Pemberian VAR pertama oleh Louis Pasteur, 1885.

Bali tertular rabies sejak 2008. Sampai saat ini lebih dari 160 orang meninggal. Meskipun terdapat lebih dari 300 dokter hewan di Bali, rabies tetap sulit dieradikasi.

Pelik dan kompleks
Dr Soehardjo Hardjosworo, ahli rabies dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dalam Simposium Nasional Rabies di Bali (1984), menyatakan bahwa penanganan rabies memang pelik dan kompleks. Lewat berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, sebenarnya kasus rabies pada anjing dan juga manusia sudah sangat rendah, tetapi belum ada tanda-tanda Indonesia akan segera bebas rabies.

Kunci pembebasan rabies adalah memutus rantai penularan atau siklus penyakit. Di Flores, Bali, dan bagian lain Indonesia—juga di negara tertular di Asia dan Afrika—siklus rabies terjadi pada anjing liar.

Anjing liar bisa bertahan dan makin banyak karena tersedia cukup makanan di habitatnya. Anjing liar akan menularkan penyakit langsung pada orang, atau lewat anjing berpemilik yang dibiarkan bebas ke sana-kemari, tetapi tidak divaksin. Siklus ini disebut urban rabies.

Siklus tersebut berbeda dengan rabies pada hewan liar vampir di Amerika Selatan atau rakun di Amerika Serikat, yang disebut sylvatic rabies.

Sylvatic rabies pada rubah (fox) di Eropa berhasil dibebaskan lewat live modified oral vaccine, sedangkan rabies pada rakun sedang diupayakan vaksin oral DNA recombinant yang diberikan dalam bentuk umpan.

Vaksinasi merupakan upaya pengendalian rabies yang bisa diterima semua pihak. Jenis vaksin yang dipilih harus mampu menimbulkan kekebalan selama minimal satu tahun. Harga vaksin rabies hewan relatif murah, tetapi biaya operasional cukup mahal karena harus disuntikkan dari rumah ke rumah agar cakupannya tinggi.

Untuk anjing rumahan, pemberian vaksin mudah karena bisa dipegangi pemilik. Kendala utama adalah memberikan vaksin pada anjing liar. Beberapa ekor dapat ditangkap dengan jaring, tetapi lebih banyak lagi yang tidak bisa ditangkap.

Memutus siklus
Beberapa ahli epidemiologi mengatakan, apabila cakupan vaksinasi minimal 70 persen, siklus rabies akan terputus. Teori ini tidak sepenuhnya benar.

Dalam suatu survei vaksinasi rabies di Bali, cakupan vaksinasi secara umum lebih dari 70 persen. Namun, kalau dilihat lebih lanjut, ternyata cakupan pada anjing rumahan lebih dari 80 persen, sedangkan pada anjing liar hanya 40 persen. Akibatnya, siklus rabies anjing liar terus berlanjut.

Cakupan vaksinasi pada anjing liar bisa tinggi andaikan ada vaksin oral. Sebenarnya sudah ada vaksin rabies oral, tetapi sejauh ini bagus untuk rubah, belum bagus untuk anjing liar.

Eliminasi (culling) anjing liar pernah dilakukan di Inggris sebelum tahun 1900. Cara ini terpaksa dilakukan karena tidak ada vaksin rabies yang memberi perlindungan lama. Dengan peraturan karantina yang ketat, Inggris dapat bebas rabies sampai sekarang. Kini tindakan eliminasi ditentang pembela hak hewan.

Eliminasi anjing liar pernah dilakukan di Flores, tetapi tidak didukung warga sehingga siklus rabies tidak putus. Di Kabupaten Klungkung, anjing liar juga pernah dieliminasi dan mendapat protes pencinta anjing.

Saat ini baru di Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, yang sudah bebas rabies. Namun, di daratan Klungkung rabies muncul lagi akibat rembesan dari kabupaten lain.

Sterilisasi anjing jantan dan betina merupakan cara terbaik untuk mengendalikan populasi anjing. Tindakan ini masih dilakukan beberapa yayasan di Bali, tetapi perkembangbiakan anjing lebih cepat dari jumlah yang disterilisasi.

Di sisi lain, penyuluhan dan perda agar orang memelihara anjing secara bertanggung jawab kurang mendapat respons masyarakat. Akibatnya, kerja keras pemerintah untuk bebas rabies belum berhasil.

Maka, harapan besar ditujukan pada vaksin oral yang murah dan efektif untuk anjing. Jika tersedia vaksin ini, anjing liar tidak perlu ditangkap. Cukup dilempar vaksin yang rasanya enak untuk memberikan kekebalan.

Soeharsono Dokter Hewan; Mantan Penyidik Penyakit Hewan di Denpasar

Sumber: Kompas, 12 September 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB