Puspita Lisdiyanti (48) mengeluarkan beberapa cawan petri dari sebungkus plastik. Ia memandang kagum pada corak garis, titik, dan bercak warna kuning, merah, putih, serta hitam pada dasar cawan. Tangannya mengambil salah satu cawan, mendekatkan cawan ke hidung, kemudian menghirup baunya. Aroma tanah selepas hujan pun semerbak.
”Coba cium aroma tanah pada cawan-cawan itu. Bau tanah di sekitar kita salah satunya ditimbulkan mikroba actinomycetes,” ucap Puspita, Jumat (7/8), di salah satu ruangan Gedung Indonesian Culture Collection Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (InaCC LIPI), Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Apa yang tadi ditangkap mata sebagai corak berbagai bentuk dan warna merupakan koloni actinomycetes, salah satu jenis makhluk hidup berukuran mikro atau mikroba. Senyawa geosmin yang dikeluarkan actinomycetes pulalah yang turut menimbulkan petrichor, bau alami setiap hujan usai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aroma tersebut terkenal memberikan rasa tenang dan memunculkan kenangan-kenangan manis. Begitu romantis. Para seniman pun tergugah untuk menggubah syair dan puisi tentang keindahan perasaan setelah menghirup aroma sehabis hujan.
Namun, kecintaan Puspita pada actinomycetes tidak hanya tentang aroma yang menyenangkan dan membangkitkan romantisisme, tetapi terutama potensi manfaat makhluk itu bagi umat manusia. ”Sebanyak dua pertiga dari actinomycetes berpotensi menghasilkan senyawa untuk antibiotik,” ujar ahli taksonomi actinomycetes dan bakteri pada Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ini.
Artinya, keberadaan actinomycetes memberi harapan penanggulangan kasus resistensi antibiotik. Potensi manfaat pun dimiliki kelompok-kelompok mikroba lain. Beberapa jenis khamir (yeast), misalnya, berpotensi menghasilkan etanol untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
Perjalanan studi
Ketertarikan terhadap mikrobiologi, cabang ilmu biologi yang mempelajari mikroorganisme, mulai dirasakan Puspita sejak jenjang sekolah menengah atas. ”Makhluk-makhluk ini kecil, tidak kelihatan. Jadi tantangan untuk saya,” katanya.
Oleh karena itu, hanya tiga bulan menjalani studi Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada, Puspita beralih mengikuti panggilan ketertarikannya mempelajari biologi molekuler, khususnya pada mikroba, di Tokyo University of Agriculture and Technology. Ia mengambil bidang studi kimia pertanian. Kesempatan belajar di ”Negeri Sakura” diperoleh lewat program beasiswa yang dibuat BJ Habibie, Overseas Fellowship Program (OFP). Studi strata 1 ini ditempuh pada 1988- 1992. Lewat OFP, Puspita ditempatkan untuk berkarier di LIPI seusai studi.
Biologi molekuler berkutat pada tingkat molekul di sel makhluk hidup, termasuk perekayasaan genetik. Sayangnya, pulang dengan gelar sarjana dari Jepang, Puspita kebingungan mencari hal yang bisa dikerjakan akibat tidak adanya isolat mikroba yang bagus. ”Mikrobanya saja tidak ada, bagaimana saya mau merekayasa DNA (asam deoksiribonukleat)?” ujar wanita kelahiran Yogyakarta ini.
Oleh karena itu, Puspita kembali sekolah dengan beasiswa Indonesia Petroleum (Inpex) Foundation untuk jenjang magister pada 1997-1999 dan beasiswa Pemerintah Jepang Monbusho untuk doktoral pada 1999-2002. Keduanya ditempuh di Tokyo University of Agriculture, bidang studi biologi dan kimia terapan. Selama studi, Puspita fokus mempelajari taksonomi bakteri asam asetat.
Prestasi gemilang diraih. Puspita membawa kebaruan dalam dunia ilmu pengetahuan tentang keragaman bakteri asam asetat. ”Sebelumnya, hanya diketahui dua jenis bakteri asam asetat, tetapi saya bisa menemukan 11 jenis baru. Dalam perkembangan, bakteri ini ternyata bisa juga ditemukan di perut nyamuk dan bunga, padahal sebelumnya diyakini hanya ada pada asam cuka,” tuturnya.
Dengan capaian tersebut, Puspita menerima Young Scientist Award Tsukuba dari Japanese Society of Culture Collection, Oktober 2004. Saat itu, ia merupakan peneliti luar Jepang pertama dan peneliti perempuan kedua penerima penghargaan ini. Di kalangan akademisi Jepang, kepakaran Puspita diakui dengan sebutan sensei (guru), mengingat peraih gelar doktor tergolong jarang di sana.
Memperjuangkan InaCC
Khatam dengan ilmu taksonomi mikroba, Puspita menghadapi tantangan lain: penyimpanan mikroba. Sebab, agar bisa terus diteliti, termasuk untuk menemukan potensi manfaatnya, mikroba harus senantiasa hidup dan tidak terkontaminasi bahan-bahan atau mikroba lain. Hal itu hanya dimungkinkan dengan adanya pusat penyimpanan berupa culture collection dengan infrastruktur dan peralatan mahal.
Puspita mencita-citakan adanya fasilitas culture collection untuk menyimpan mikroba hingga puluhan tahun, sehingga bisa diambil dan diteliti kembali dengan tujuan mengoleksi semua mikroba di Indonesia dan mencari manfaat kesejahteraan bagi bangsa. Tercetuslah nama Indonesian Culture Collection (InaCC) pada 2007 sebagai awal memperjuangkan terwujudnya culture collection nasional yang canggih dan berdaya saing.
Namun, upaya mendirikan InaCC tidak mudah. Apalagi, kalangan pemerintah belum memahami manfaat ekonomi dari mikroba. Manfaat membangun infrastruktur mahal hanya untuk makhluk-makhluk tak kasatmata. Sekadar mengandalkan uang negara jelas tidak cukup.
Beruntung, Puspita mahir berbahasa Jepang dan cukup ternama serta dipercaya Pemerintah Jepang. Ia pernah bekerja dua tahun sebagai asisten peneliti di Tokyo University of Agriculture sehingga jejaring dengan lembaga riset serta industri-industri terbangun apik.
Gerak progresif pun ditunjukkan Pemerintah Jepang melalui hibah Science and Technology Research Partnership (Satreps) untuk pengembangan pusat sumber daya mikroba di Indonesia oleh LIPI guna membangun InaCC dan di Jepang oleh NITE Biological Resource Center. Porsi bantuan bagi Indonesia lebih besar, yakni Rp 35 miliar dari total hibah Rp 50 miliar selama lima tahun.
Gedung InaCC seluas lebih kurang 3.700 meter persegi di kawasan Cibinong Science Center, Cibinong, terbangun dan diresmikan Wakil Presiden Boediono, September 2014. Peralatan canggih dari Jepang sudah terpasang, salah satunya L-Dry yang bisa membuat mikroba-mikroba ”tidur” dan hidup 50-100 tahun.
Mikroba-mikroba ”tidur” di InaCC merupakan warisan bagi anak cucu yang bakal memajukan negeri, terutama di bidang pangan, energi, dan obat. Target selanjutnya, memperbanyak koleksi mikroba dari seluruh Indonesia guna semakin memperjelas betapa kayanya keragaman jenis makhluk hidup di alam Nusantara.
Puspita Lisdiyanti
Lahir:
Yogyakarta, 14 Agustus 1967
Suami:
Haryo Pramono (51)
Anak:
Anindita Nofarida (20)
Bima Radhityo (12)
Connie Kusumawardhani (9)
Pekerjaan:
Peneliti senior pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Koordinator Sub-Kegiatan Ketahanan Pangan dan Obat
Kegiatan Unggulan LIPI
Pendidikan:
Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada (Agustus-Oktober 1986)
Diploma Bahasa Jepang Takushoku University, Jepang (1987-1988)
S-1 Kimia Pertanian Tokyo University of Agriculture and Technology (1988-1992)
S-2 Applied Biology and Chemistry Tokyo University of Agriculture (1997-1999)
S-3 Applied Biology and Chemistry Tokyo University of Agriculture (1999-2002)
Penghargaan:
Penerima Young Scientist Award Tsukuba dari Japanese Society of Culture Collection, Jepang (2004)
Peneliti Unggul LIPI (2005)
100 Perempuan Peneliti Berprestasi di Indonesia dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (2010)
Publikasi:
23 jurnal internasional dan 13 jurnal nasional
Paten:
Biogrouting dan Mananase
J Galuh Bimantara
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Agustus 2015, di halaman 16 dengan judul “Berjuang Angkat Harkat Mikroba”.