Saat ini sedang terjadi perubahan orientasi perguruan tinggi dan kalangan intelektual yang lebih mengejar karier birokrasi atau kekuasaan. Peran kepublikan intelektual dalam menumbuhkan kesadaran kritis terasa hilang.
Mendiskusikan peran sosial intelektual di Indonesia pasca-otoritarianisme ibarat menceritakan kisah tragedi tak berkesudahan. Disebut tragedi, karena dalam kisah peran sosial intelektual, kita menyaksikan gambaran pahit ketundukan pengetahuan berhadapan dengan tebalnya dinding kekuasaan dan ketidakberdayaan ilmu jadi suluh bagi pemenuhan kebaikan publik. Apalagi semua itu bermula dari harapan tumbuh berseminya budaya demokrasi dan suara kritis di masyarakat sipil.
Salah satu rumah terpenting bagi kalangan intelektual adalah universitas. Saat ini tendensi utama aktivitas keseharian kalangan cendekia di kampus terbagi atas dua hal. Pertama, menyelami karier birokratik dan membantu memperkuat kuasa negara dengan menghubungkan diri dalam lingkaran politik di dalamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, kecenderungan terbaru, terintegrasinya universitas dalam semesta kosmopolitanisme pendidikan global. Fenomena yang menyertainya, kian banyak insan akademik menulis karya-karya akademik dalam komunitas internasional yang terdistribusi di antara mereka saja.
Konsekuensi dari dua kecenderungan itu adalah berkurangnya advokasi pengetahuan pada ranah kuasa masyarakat sipil. Tepat di wilayah inilah peran sosial intelektual sangat dibutuhkan.
Beberapa waktu terakhir kita menyaksikan kembalinya dunia intelektual tercoreng oleh kontroversi yang menandai melemahnya integritas dari pilar penjaga akal sehat republik ini. Hal ini terkait kontroversi atas indikasi plagiasi yang dilakukan para petinggi kampus.
Selanjutnya peristiwa pemberian gelar publik terhormat doctor honoris causa oleh pihak kampus kepada petinggi kekuasaan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan sumbangan kemanusiaan luar biasa yang diberikan para penerima gelar itu bagi kemanusiaan. Suatu prasyarat etik yang jadi syarat utama pemberian gelar itu.
Intelektual dan kekuasaan
Kedua kasus itu, baik dugaan plagiasi oleh elite kampus maupun pemberian gelar doctor honoris causa, adalah problem etika publik yang merupakan lapisan gunung es dari problem struktural terkait pertalian antara kecendekiaan dan kekuasaan di Indonesia.
Pada 2010 di Manila, Filipina, mendiang Benedict R’OG Anderson melontarkan orasi tajam soal problem intelektual- akademisi di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Ben Anderson, akibat warisan buruk pengapnya tatanan otoritarianisme di Asia Tenggara—termasuk Indonesia—menjadikan orientasi utama dari kiprah kaum akademisi adalah meniti karier birokrasi untuk meninggikan status sosial, kemakmuran, dan kekuasaan.
Dan itu membutuhkan restu dari negara ataupun membangun aliansi dengan elite politik. Relasi struktural itu menjadi pedoman utama bagi kalangan intelektual menjalankan peran-peran sosialnya.
Akibat tendensi utama aktivitas kaum cendekia itu, maka ruang publik—termasuk dalam ranah virtual—kehilangan sumbangan intelektual yang dapat membantu warga mengartikulasikan pembelaan kritis atas pelumpuhan hidupnya oleh kekuasaan.
Sementara itu, laporan Freedom House yang menempatkan Indonesia dalam kategori demokrasi mengambang (flawed democracy) membuktikan tumpulnya kuasa pengetahuan memajukan demokrasi kita.
Hilangnya peran kaum intelektual publik bukan berarti tidak ada suara-suara intelektual yang mewarnai berita-berita di media massa. Namun seperti diutarakan Ben Anderson, sebagian besar gelombang argumentasi intelektual kita bias artikulasi kepentingan elite oligarki daripada perwujudan nalar publik.
Selain problem laten silang sengkarutnya relasi intelektual dan kekuasaan, dunia akademik kita juga menghadapi persoalan yang tak bermuara pada masalah etik dan moral sosial. Persoalan ini berangkat dari perubahan orientasi kelembagaan di pendidikan tinggi untuk mengejar world class university. Kebijakan yang sebetulnya memiliki orientasi meninggikan kualitas dari kalangan akademisi di ruang akademik dunia.
Dimensi positifnya, kebijakan ini membantu kalangan intelektual Indonesia keluar dari mentalitas insuler, mentalitas seperti katak dalam tempurung yang minim wawasan internasional. Namun, seperti setiap tindakan agensi menghasilkan konsekuensi yang tak dibayangkan.
Situasi dalam dunia pendidikan saat ini mengingatkan pada keresahan yang mulai digemakan oleh kalangan intelektual publik di AS pada paruh akhir abad ke-20: dunia kampus dan produksi karya-karyanya hanya berkomunikasi di antara kalangan akademisi itu sendiri.
Dengan berseloroh, intelektual AS, Lynne Cheney, menyindir getir bahwa tak masalah apabila tulisan jurnal kita hanya dibaca oleh segelintir akademisi dan orangtua kita, selama itu memenuhi kriteria universitas untuk meraih gelar profesor.
Masyarakat harus dibela
Ada hal yang hilang, seperti diingatkan C Wright Mills (1963) dalam On Knowledge and Power. Kalangan intelektual, khususnya kalangan kampus, berhenti menjadi penjaga kesadaran moral-etik masyarakatnya (moral-ethic conscience of society) ketika mereka mengabdi pada kekuasaan atau sibuk mereproduksi pengetahuan di kalangan akademisi saja.
Padahal, bukankah para kalangan akademisi sendiri berutang besar terhadap kalangan masyarakat secara luas? Utang itu adalah berbagai pertanyaan fundamental yang akademisi rumuskan sebagai sumber penelitian, semuanya berakar dari persoalan-persoalan yang tumbuh di masyarakat.
Momen saat ini mengingatkan kita pada sebuah judul kuliah dari Michel Foucault tahun 1975-1976 di College de France, Society Must Be Defended (Masyarakat Harus Dibela). Peran intelektual dibutuhkan untuk membongkar berbagai operasi kuasa dan narasi yang bekerja dalam sistem sosial yang bercorak mendominasi, mengeksklusi, dan meminggirkan mereka yang lemah.
Peran kepublikan dari intelektual adalah memberikan sumbangan pengetahuan kritis bagi warga negara yang butuh orientasi perluasan khalayak publik yang lebih luas di luar bangku universitas.
Lebih dari itu, keberpihakan untuk memberikan advokasi dan pemajuan pengetahuan atas perjuangan subyek-subyek kewargaan yang selama ini terpinggirkan dari proses politik kekuasaan semestinya menjadi orientasi utama perjuangannya.
Saya mengenang figur pendiri FISIP Universitas Airlangga, Profesor Soetandyo Wignyosoebroto. Sekitar 2008, tak lama setelah pulang dari konferensi internasional, bersama koleganya akademisi muda Herlambang Perdana Wiratraman dan Joeni Arianto, ia mengunjungi pengungsi korban kasus Lumpur Lapindo di Pasar Porong Sidoarjo.
Mereka memberikan kesadaran hukum kritis kepada warga untuk menghadapi tembok besar kekuasaan. Itulah contoh nyata yang berjalan, tentang aksi intelektual publik yang kita semua butuhkan, dan untuk itulah tujuan pendidikan menciptakan sosok intelektual.
Airlangga Pribadi Kusman Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 15 Maret 2021