Catatan Iptek
Seorang perempuan berusia 60an tahun menderita diabetes tipe 2 selama 27 tahun. Saat itu, ia membutuhkan 120 unit insulin dan 2 gram metformin per hari untuk mengontrol gula darah. Ia pun dirujuk ke klinik Dr Jason Fung.
Perempuan itu mulai menjalani terapi puasa dengan pengawasan ketat di minggu pertama. Dosis obatnya dikurangi. Saat kondisinya membaik, terapi dilanjutkan untuk puasa minggu kedua, berlanjut dengan minggu ketiga. Setelah satu tahun, perempuan itu benar-benar lepas dari insulin dan obat-obatan. Nilai HbA1Cnya 5.9 persen. Artinya, ia tidak lagi menderita diabetes karena nilai HbA1C kurang dari 6 persen.
Hal itu dituturkan Fung, dokter spesialis ginjal dari Kanada yang dikenal sebagai ahli terapi puasa serta diet rendah karbohidrat tinggi lemak bagi penderita diabetes tipe 2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Puasa bisa menyembuhkan diabetes sebenarnya telah diketahui lebih dari 100 tahun lalu. Salah satu ahli diabetes yang terkenal dalam sejarah, Dr Elliot Joslin, menuliskan hal itu di Jurnal Asosiasi Kedokteran Kanada (Canadian Medical Association Journal) tahun 1916. Nama Joslin diabadikan sebagai nama tempat penelitian diabetes terkenal di Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS), yakni Joslin Diabetes Center.
Namun, ketika insulin ditemukan tahun 1920an, seluruh perhatian terpusat pada penggunaan insulin sebagai obat diabetes. Insulin ampuh bagi diabetes tipe 1, namun bukan obat sesungguhnya bagi tipe 2. “Diabetes tipe 2 pada dasarnya adalah gangguan akibat kelebihan gula dalam tubuh. Karena itu, mengurangi asupan gula dan karbohidrat bisa meringankan gangguan itu,” kata Fung.
–Warga mengikuti rangkaian acara peringatan hari diabetes sedunia dengan tema “eyes on Diabetes” di Plaza Barat, Komplek Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (20/11/2016). Berpuasa terbukti berdampak positif bagi penderita diabetes.
Diabetes tipe 2 pada dasarnya adalah gangguan akibat kelebihan gula dalam tubuh. Karena itu, mengurangi asupan gula dan karbohidrat bisa meringankan gangguan itu.
Penelitian Kesadaran Diabetes di Masyarakat – Moyo Ri (kiri), peneliti dari Departemen Keperawatan Takasaki University of Health and Welfare (Jepang), mengambil sampel darah warga di Puskesmas Kelurahan Pasir Gunung Selatan, Cimanggis, Depok, Kamis (26/12/2013). Penelitian kolaborasi dengan Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia dilakukan untuk mengetahui tingkat kesadaran masyarakat akan diabetes. Kompas/Iwan Setiyawan (SET)
Manfaat puasa juga diteliti oleh para ilmuwan dari University of Southern California, AS, Institut Koch Institut Teknologi Massachusetts, AS, serta Institut Onkologi Molekular IFOM FIRC, Italia. Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Cell, 23 Februari 2017 itu dikutip situs Lembaga Layanan Kesehatan Nasional (NHS), Inggris.
Penelitian pada mencit (tikus percobaan) mendapatkan, puasa atau diet rendah kalori bisa menyembuhkan penderita diabetes. Hari pertama, mencit diberi diet rendah protein dan karbohidrat tapi tinggi lemak dengan jumlah kalori 50 persen dari asupan normal. Selanjutnya, selama tiga hari, mencit mendapat diet dengan jumlah kalori 10 persen asupan normal. Diet empat hari itu diulang 3 kali, masing-masing diseling 10 hari pemberian asupan normal.
Selama proses, kadar gula darah dan sel pankreas mencit diperiksa. Pankreas adalah organ tubuh berisi sel beta yang memproduksi dan menyimpan hormon insulin. Hormon ini berfungsi memetabolisme gula dalam darah. Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah cukup. Sementara pada diabetes tipe 2, sel beta rusak sehingga tak memproduksi insulin atau tubuh gagal merespons insulin.
Hasilnya, pada mencit yang dibuat menderita diabetes tipe 1 peradangan berkurang dan ada perubahan kadar protein sitokin. Itu menunjukkan, terjadi pemulihan produksi insulin dan pembentukan sel beta. Pada mencit dengan diabetes tipe 2, produksi insulin diperbaiki, resistensi tubuh pada insulin berkurang dan terjadi regenerasi sel beta. Riset pada contoh sel manusia dengan diabetes tipe 1 memperlihatkan potensi hasil serupa.
Namun, para ahli mengingatkan, diet rendah kalori tinggi lemak ini tidak boleh diadopsi sembarangan. Perlu pemeriksaan kesehatan dan pengawasan dokter untuk mendapatkan hasil yang baik dan mencegah hal yang tak diinginkan.–ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Sumber: Kompas, 16 Mei 2018