Budaya malu dan kebersalahan berpotensi dikembangkan dan didayagunakan sebagai sarana menghambat, meredam, meminimalisasi, dan mengatasi korupsi. Melalui budaya malu dan kebersalahan, secara umum dapat ditakar kadar tanggung jawab sosial elite politik atas perilaku korup mereka.
Demikian salah satu gagasan yang disampaikan Satrio Arismunandar saat mempertahankan disertasinya dengan judul ”Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia dan Tanggung Jawab Sosialnya”, Kamis (10/7), di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Dalam promosi doktor ini, Satrio mendapatkan yudisium sangat memuaskan.
Menurut Satrio, korupsi menjadi masalah akut ketika sudah melembaga dalam masyarakat, menyusup ke dalam sistem nilai, menjadi ”norma” dan bagian dari budaya serta masuk ke dalam ranah perilaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Di negara kita korupsi sekian lama dibiarkan sehingga orang tidak lagi punya rasa malu dan bersalah saat ketahuan korupsi. Kita perlu menerapkan strategi kebudayaan, yaitu bagaimana budaya malu dan kebersalahan dihidupkan lagi, didayagunakan, dan dikembangkan agar efektif mengatasi korupsi,” ujar Satrio, yang sehari-hari sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi.
Satrio mengusulkan pendayagunaan budaya lewat pendidikan, khususnya dengan penerapan kurikulum anti korupsi.
Menanggapi disertasinya, salah satu penguji, Dr Budiarto Danujaya, bertanya apakah korupsi di Indonesia bisa diberantas dengan cara legal struktural seperti penerapan hukuman penggal kepala bagi koruptor di Tiongkok. Menurut Satrio, untuk mengatasinya perlu ada penggabungan antara aspek legal struktural dan pemberdayaan kebudayaan. (ABK)
Sumber: Kompas, 11 Juli 2014