Banyak obsesinya yang terpendam untuk memperbesarkan namanya dalam dunia medis, bahkan atas dasar pemgalamannya yang begitu luas sering melontarkan gagasan yang masih sulit ditelaah meskipun masih memenuhi standar Evidence Based Medicine. Dalam perjalanan waktu, masih banyak teka teki ilmu kedokteran yang belum terjawab,tentang etiologi penyakit, pemetaan gen yang telah mengalami “revolusi besar”,sampai pada tingkatan yang sederhana,kematian ibu yang terjadi hamper setiap menit.
Selalu menjadi yang pertama
Perjalanan ini mengiringi karir Prof Dr dr H. Sardjana SpoG (K),SH, tiga kategori the first disematkan pria kelahiran Boyolali ini. Masing-masing, dokter kebidanan dan kandungan yang pertama kali mendapatkan gelar doktor di Malang tahun 2003. dan pada tahun yang sama ia “ melahirkan ” Fakultas Kedokteran Negeri pertama di Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta dibawah rector Prof DR Azyumardi Azra, selain itu tahun 2009 ia dinobatkan sebagai guru besar kebidanan dan kandungan pertama di Indonesia pada usia dibawah 50 tahun.
Keluarga Prof Sardjana
Sukses menepaki karir seperti sekarang sudah dirasakan oleh Sardjana sejak duduk di bangku sekolah. Masa pelajaran esakta selalu mengantongi angka 10. Ketika duduk di bangku SMA (SMA Negeri 1 Boyolali) anak ketiga dari lima bersaudara ini malah sudah dapat julukan “ pak dokter “. Tak hanya rekan-rekannya, tapi juga gurunnya, malah gurunya sering memberikan kepercayaan untuk mengajar di kelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mata pelajaran Biologi, Matematika, Fisika, dan Kimia, nilai saya memang selalu sempurna. Rangking 1 kelas itu bagi saya langganan,” kata anak pasangan almarhum KRT Wiryo Witono-BRAY Suciati, saat dijumpai di kantor secretariat Paguyuban Jawa Tengah Jl.Simatupang Jakarta Timur.
Bagi Sardjana, menjadi dokter memang merupakan cita-cita mulianya. Maka, jalur pendidikan yang dipilih usai tamat SMA melanjutkan ke Falkutas Kedokteran UGM sekali pun ia diterima di dua perguruan tinggi negeri (Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor) tanpa test kala itu.
“Pemikiran saya, kalau saya ingin melejit maka saya harus berani keluar dari Jogjakarta menjauhi para dosennya untuk mandiri. Usai menyelesaikan pendidikan sepesialis (pendidikan dokter spesialis obstetri dan ginekologi FK UGM) saya mendapatkan penawaran memilih dua Fakultas Kedokteran yang akan berkembang saat itu (April 1998) : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo dan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Saya mantab memilih Malang saja yang agak jauh dari almamater saya,” tambah ayah tiga anak tersebut.
Namun di Malang ia bertahan hanya dua bulan saja,karena Sardjana memilih mengambil pendidikan S-3 di progam pascasarjana di Universitas Airlangga Surabaya. Begitu lulus kesempatan baru kembali menghadang. Ia di minta rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azumardi Azra, untuk mendirikan FK di Universitas yang berlokasi di Jakarta, pada 2003. Permintaan itu ia terima karena tantangan mengabdikan diri di dunia pendidikan, menjadi obsesi yang terpendam Sardjana untuk memajukan dunia medis.
Menghadapi maraknya persaingan Rumah Sakit akhir-akhir ini, Sardjana tak begitu merisaukan. Selama prinsip dokter five stars di pegangnya, tidak perlu untuk dibuat takut.” Dalam mendidik anak buah, saya tekankan agar jangan hanya berpikir linier (mikir opo onone). Kita harus berpikir lateral, memakai daya juang mencapai kemajuan,kalau Fakultas Kedokteran bisa 5 tahun kenapa harus 6 tahun, kalau roda bisa segi lima kenapaharus bundar” tambah dosen terbang beberapa Fakultas Kedokteran di Indonesia,Singapura,Malaysia,Brunai,Canada dan Jepang
Bayar Komitmen Mahal
Komitmen menjadi dokter harus dibayar mahal oleh Sardjana, kepentingan keluarga mau tidak mau jadi nomer yang kesekian kalinya,sekalipun kerabat dekat sendiri. Terus melekat benaknya, saat ajal menjemput sang ayah di Malang tahun 2005 lalu, Sardjana harus monomer satukan tugas. Ketika pemberangkatan jenazah almarhum ke tempat kelahirannya Boyolali, Sardjana tidak bisa langsung ikut bersama rombongan keluarga dan mobil jenazah. Ia singgah terlebih dahulu di Rumah Sakit pribadinya untuk melakukan operasi emergency yang tidak mungkin sempat didelegasikan ke dokter spesialis lainnya.
“Saya kejar-kejaran dengan mobil jenazah almarhum bapak. Realistis saja pemikiran saya, ada pasien yang perlu saya selamatkan. Bersyukur, keluarga saya sudah memakluminya. Berat memang, tapi itu sudah konsekuwensi,”ucap pria mahal senyum ini.
Kejadian yang tak pernah di lupakan, yakni 16 mei 2007, ketika ia turun dari pesawat Jakarta-Malang, tiba-tiba mendapatkan kabar adiknya Ir Siti Aminah MsC, meninggal dunia karena kecelakaan dalam perjalanan selepas S2 dari Jepang ke Indonesia. Keinginan pemakaman adiknya sesegera mungkin terpaksa tertunda, masalahnya ia sudah di tunggu tim operasi emergency yang tidak mungkin untuk ditunda dalam satuan menit.
“Saya turun pesawat ekita pukul 14.12. harusnya saya langsung “balik kucing” ikut pesawat yang sama ke Jakarta. Tapi, saya tidak bisa main-main dengan komitmen, komitmen ini sama dengan janji. Ya, akhirnya saya selesaikan operasi pasiennya dulu, baru saya bertolak ke Jakarta dengan pesawat yang berbeda ”kenang Sardjana.
Berkorban waktu keluarga demi tugas, lanjut Sardjana, sudah tidak lagi terhitung. Namun, begitu berkat dorongan keluarga, Sardjana tetap merasa nyaman untuk menjalani tugasnya seperti sekarang.” Ke 3 anak saya sangat mengidolakan bapaknya,mereka bilang,saya ini cowok banget, orang jawa bilang saya selaku bapak memenuhi 5 er (pinter/keilmuannya tinggi,bener/nggak macem attitudenya, kober/waktunya seimbang untuk keluarga dan masyarakat, memper/pantes banget jadi orang tua dan pener/tepat dalam setiap mengambil keputusan)”.
Tentang Sardjana
Nama : Prof DR dr H. Sardjana SpOG (K), SH
Lahir : Boyolali, 16 April 1961
Istri : Arina Nurfinnahari, SH (44 tahun)
Anak:
– Erlangga Husada dr (24 tahun)
-Yusuf Briliant dr (22 tahun)
– Gulam Gumilar (16 tahun)/mahasiswa Fakultas Kedokteran semester III
Sumber: SoloRayaOnline.com