”Hati-hati, jangan sembarangan mempatenkan hasil temuan penelitian. Jangan-jangan malah nanti mateni kita karena mempatenkan sesuatu hasil temuan belum tentu menguntungkan.”
Imbauan yang lebih merupakan peringatan itu disampaikan peneliti bioteknologi obat-obatan Prof Dr Oei Ban Liang menyusul gencarnya anjuran pengajuan hak paten, terutama di kalangan perguruan tinggi. Guru Besar Ilmu Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) pemegang hak Paten Curcuma itu mengingatkan hal itu berdasarkan pengalamannya. ”Kalau hak paten itu tidak dipelihara, maka tidak mustahil akan ada orang lain yang meniru temuan kita,” ujarnya.
Menurut dia, jika hasil penelitian bisa digunakan dan bisa menghasilkan sehingga mendatangkan uang, maka kita akan bisa memelihara hak paten tersebut untuk jangka waktu yang ditetapkan. Sebaliknya jika hak paten tersebut tidak ada yang menggunakan, atau hanya digunakan oleh kita sendiri, maka kita akan memikul biaya cukup berat untuk pemeliharaan hak paten tersebut. ”Kalau nggak ada yang pakai, mati kita karena harus membiayai terus,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak pengajuan registrasi sampai perolehan hak dan pemeliharaan hak paten tersebut, semuanya membutuhkan biaya. Namun, ia tidak menyebutkan berapa besar biaya tersebut. ”Di Indonesia, biaya registrasi dan pemeliharaan hak paten tiap tahun tidak begitu besar. Lain dari di luar negeri,” kata mantan Direktur Pusat Antar Universitas Bioteknologi ini.
Hasil penelitiannya tentang Curcuma diajukan tahun 1989-1990 di Amerika Serikat, namun baru Februari 1992 mendapat hak paten dengan 18 klaim untuk jangka waktu 17 tahun. Setahun kemudian hak patennya diperoleh untuk sepuluh negara di Eropa dengan 14 klaim. ”Yang paling sulit Jepang, hanya memberikan untuk 13 klaim,” katanya.
CURCUMA adalah nama genus dari suatu kelompok tumbuhan yang spesiesnya banyak sekali. Oei berusaha meneliti tumbuh-tumbuhan Indonesia untuk mendapatkan suatu senyawa, atau yang bisa dijadikan obat, atau bisa dijadikan bahan baku untuk obat.
Hasil penelitian tumbuhan tersebut cukup banyak, namun Oei hanya memilih dua spesies yakni Curcuma domestica atau yang biasa disebut kunyit dan Curcuma xanthorrhiza yang biasa disebut temulawak. Kedua spesies Curcuma tersebut mempunyai khasiat yang baik untuk hati (lever) dalam mencegah peradangan.
Untuk mengetahui senyawa apa yang mempunyai daya antiperadangan dari kedua spesies Curcuma tersebut, ia membutuhkan waktu dua tahun untuk meneliti. Masing-masing senyawa kemudian dikombinasi sehingga menjadi rangkaian kombinasi yang cukup banyak. Oleh karena penelitian dilakukan terhadap tikus sebagai binatang percobaan, selama itu ia tak ingat lagi sudah berapa ribu ekor tikus digunakan.
Mula-mula, tikus-tikus yang ditempatkan pada masing-masing tempat itu disuntik carrageenin pada bagian kaki belakang kanan sehingga bengkak. Di laboratorium tempat penelitiannya, Oei kemudian memberi makan tikus-tikus tersebut dengan berbagai kombinasi senyawa-senyawa Curcuma untuk mengetahui berbagai kemungkinannya sebelum akhirnya ditemukan kombinasi yang paling tepat.
Salah satu obat yang menggunakan hasil penelitiannya itu antara lain ”Rheumakur”, merupakan pengobatan alamiah untuk penyakit reumatik atau encok. Namun, karena merupakan obat yang termasuk klasifikasi ethichal product, ”Rheumakur” kurang diketahui masyarakat luas. Obat tersebut tergolong sebagai jenis obat yang tidak boleh diiklankan karena dianggap kurang etis.
Anak pedagang kuda yang menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda, itu sebenarnya masih punya banyak hasil penelitian lain, walaupun kini lebih banyak dilakukan mahasiswanya di beberapa perguruan tinggi, terutama mahasiswa yang sedang menyelesaikan jenjang pendidikannya S-3. ”Sejak dulu memang saya senang dengan penelitian,” katanya.
Lahir di Blitar, Jawa Timur, 31 Agustus 1930, anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Oei Kian Sioe (almarhum) itu menyelesaikan pendidikan SD-nya di kota kelahirannya. Masa kecilnya yang manis diceritakan dengan pengalamannya yang mirip dengan dunia koboi. Sebagai pedagang kuda, ayahnya memiliki sekitar seratus ekor lebih kuda. ”Tiap sore, ketika akan dimandikan di Kali Lahar, saya naik kuda,” tuturnya diiring derai tawa. Bahkan sampai setelah menjadi mahasiswa, ia masih naik kuda jika ingin berkeliling Kota Blitar.
Oei muda memilih masuk ITB yang saat itu masih bemama Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam yang bernaung di bawah Universitas Indonesia. Oleh karena merasa unggul dalam pelajaran aljabar, ilmu ukur, dan ilmu alam, ”Saya memilih studie richting (r) dengan mata kuliah utama, ilmu kimia.” Mata kuliah tambahan adalah matematika, fisika, dan biologi. Selama menjadi mahasiswa dan berkenalan dengan proses penelitian, ia rupanya lebih tertarik dengan penelitian sehingga lebih memilih “ahli riset farmasi”, walaupun setelah tamat kandidat diberi kesempatan mengikuti pendidikan ahli apoteker.
”Saya pilih ahli riset farmasi karena senang jadi peneliti. Dengan penelitian, kita melatih otak memecahkan berbagai masalah. Bukan hanya menyangkut masalah dalam penelitian, tetapi jika metodologinya sudah dikuasai maka kita bisa ikut membantu menyelesaikan masalah apa saja,” katanya.
GURU besar ITB yang tetap bertahan dan tidak mau mengganti namanya dengan nama Indonesia itu,hingga kini masih tetap aktif melakukan penelitian. ”Untuk apa ganti nama? Selama ini saya tidak pernah mengalami perlakuan tidak enak karena tidak ganti nama,” katanya ketika ditanya mengapa ia tidak ikut ganti nama seperti warga negara keturunan lainnya. Bahkan ayahnya sendiri mengganti namanya jadi Sugeng Santoso . ”Yang penting saya jadi orang yang berguna,” katanya. Oleh karena itu, kepada peneliti muda ia memberi nasihat agar tidak berkecil hati karena hidup sebagai peneliti tidak selamanya harus susah. ”saya memang bukan orang kaya, tetapi bukan juga orang susah,” ujarnya.
”Jika saya ingin nonton, saya tidak usah merogoh kocek. Jika saya ingin masuk ke restoran paling besar sekalipun, saya tidak perlu mengeluarkan uang,” tuturnya. Begitu juga jika ingin ke luar negeri, tidak perlu menghitung dulu uangnya apakah cukup atau tidak.
Menurut dia, semua itu karena hasil ”jual jasa” sebagai konsultan. ”Kalau jasa yang diberikan bagus, biasanya dihargai bagus. Sebaliknya kalau jasa yang diberikan kurang bagus, maka jarang orang minta jasa dan yang diterima juga kurang bagus,” paparnya seraya mengungkapkan pengalamannya sebagai guru besar yang diperbantukan di Universitas Kebangsaan Malaysia (1972-1974) dan Rijks Universiteit di Belanda (1975)
Bahkan dalam usianya yang ke-70, penggemar olahraga jalan kaki pagi dan mengaku senang bertualangan itu, masih akan mempatenkan salah satu hasil penelitiannya. Selain itu ia aktif dalam berbagai organisasi pendidikan, baik di tingkat nasional maupun regional. Hampir tiap minggu ia pergi pulang Bandung-Jakarta.
Ia dipercaya duduk sebagai Ketua Bidang Sains dan Matematika Komisi Disiplin Ilmu (KDI) MIPA, di samping kegiatan lainnya di Bank Dunia serta di beberapa organisasi lainnya yang bergerak di bidang sains dan teknologi. ”Karena itu saya tidak khawatir kehilangan kegiatan setelah pensiun,” kata mantan Direktur Pusat Antar-Universitas (PAU) Bioteknologi ITB (1985-1997), ketika berbicara tentang usianya yang tugasnya berakhir di ITB September mendatang. (Her Suganda)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Juni 2000