Pengembangan produk dari industri dan perguruan tinggi umumnya belum sampai tahap inovasi berdaya saing. Para pelaku inovasi didorong mengembangkan riset hingga komersialisasi produk.
Pedoman Indikator Capaian Tingkat Kesiapterapan Teknologi (TKT) mengacu pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 42 Tahun 2016 tentang Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapterapan Teknologi. Ada sembilan tahap TKT, yakni tahap 1-3 ialah riset dasar, tahap 4-6 adalah riset terapan, dan tahap 7-9 adalah riset pengembangan.
Menristek Dikti Mohammad Nasir mengatakan, riset industri dan perguruan tinggi di Indonesia jarang masuk tahap prototipe (riset terapan) dan inovasi. ”Kami ingin hasil inovasi sesuai kebutuhan industri,” kata Nasir dalam Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Inovasi Industri dan Inovasi Perguruan Tinggi, Selasa (17/4/2018), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
NIKOLAUS HARBOWO–Menristek dan Dikti Mohammad Nasir bersama penerima dana inovasi industri dan perguruan tinggi dalam Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Inovasi Industri dan Inovasi Perguruan Tinggi di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (17/4/2018).
Pedoman Indikator Capaian Tingkat Kesiapterapan Teknologi (TKT) mengacu pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 42 Tahun 2016 tentang Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapterapan Teknologi. Dalam pedoman itu, TKT terdapat 9 tahapan di mana tahap 1-3 adalah riset dasar, tahap 4-6 adalah riset terapan, dan tahap 7-9 adalah riset pengembangan.
Berdasarkan Indeks Daya Saing Global tahun 2017-2018, Indonesia menempati posisi ke-36. Peringkat itu masih jauh dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura (3), Australia (22), Malaysia (23), dan Thailand (32).
Nasir menyebut, ada tiga penyebab utama daya saing di Indonesia masih rendah, yakni kualitas pelatihan dan perguruan tinggi (higher education and training) belum maksimal, perguruan tinggi didominasi bidang sosial dibanding bidang sains dan teknologi, dan riset belum melihat kebutuhan industri.
“Ini harus kita genjot terus tentang kulitas pelatihan dan perguruan tinggi. Kita habisi perguruan tinggi yang keluarkan ijazah abal-abal. Kalau inovasi meningkat maka daya saing makin tinggi, kalau daya saing tinggi, kita bisa bersaing di kelas dunia,” ucapnya.
–Menristek dan Dikti Mohammad Nasir meninjau hasil produk inovasi industri dan perguruan tinggi usai Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Inovasi Industri dan Inovasi Perguruan Tinggi di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (17/4/2018).
Semua pihak
Kemenristek dan Dikti tahun 2018 memberikan dana bantuan inovasi kepada 52 industri dan 13 perguruan tinggi. Dana bantuan inovasi industri sebesar Rp 39,1 miliar, sedangkan dana inovasi perguruan tinggi sebesar Rp 81 miliar.
Namun, Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kemristek dan Dikti Jumain Appe, mengingatkan, inovasi industri dan perguruan tinggi tak boleh terpaku pada pendanaan itu. Keterlibatan berbagai pihak dalam triple helix amat penting bagi kelangsungan riset itu sendiri. Di antaranya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), industri swasta, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan koperasi.
“Triple helix ini penting dalam inovasi. Kalau tidak ada, pasti ada hambatan ke depan. Harus terjalin terus untuk pengembangan lebih lanjut karena produk ini tidak diharapkan berenti pada tahun ini tetapi terus berkembang,” kata Jumain.
CEO PT Zenith Allmart Precisindo, Allan Chandrawinata, mengatakan, sebagai salah satu industri penerima dana inovasi, tantangan terberat yang kerap dialami ialah saat mereka berhadapan dengan pasar bebas. Sebab, inovasi industrinya yang masih prematur harus bertanding dengan produk berkualitas global yang sudah memiliki konsumen potensial kuat.
“Di kami ada istilahnya, jurang kematian, antara inovasi dengan masuk ke pasar. Dan bisa bertahan di pasar itu yang paling berat dihadapi oleh para inovator di Indonesia,” ujarnya.
Karena itu, pemerintah seharusnya ikut memikirkan konsumen potensial bagi para inovasi industri lokal agar industrinya tidak terhenti. Ia berharap hal itu dapat dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RUU Sisnas Iptek). “Harus ada peraturan sendiri agar captive market harus diciptakan pemerintah,” ucap Allan.
Sementara peneliti dari Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung, Adi Indrayanto, mengatakan, kendala berinovasi adalah jadwal penganggaran. Contohnya, jika riset dihitung selama 10 bulan, kenyataannya dana baru akan turun pada bulan ketiga. Dana pun tidak langsung diterima peneliti tetapi harus melewati administrasi perguruan tinggi. Dengan demikian, riset diperkirakan hanya efektif berjalan sekitar 4 bulan.
“Jadi, tidak mungkin membuat sebuah penelitian yang sifatnya besar, pasti yang kecil-kecil. Jadi seharusnya, penelitian yang bener itu harus multi year. Tahun pertama, kita planning bikin rencana, terus pengadaan barang. Lalu, tahun kedua, full untuk penelitian,” kata Adi.–DD18
Sumber: Kompas, 18 April 2018