Dibandingkan dengan 33 tahun lalu, Guru Besar Linguistik Isodarus Praptomo Baryadi tidak banyak berubah. Rambut lebih tipis. Tubuh masih tetap terjaga. Ramping dengan perut rata. Kalau dulu terkesan lebih serius, sekarang tampak lebih santai dan lebih banyak tertawa….
Ditemui di rumahnya di Jalan Kaliurang, Yogyakarta, pertengahan Januari di malam hari, setelah berbicara melalui telepon, ia tampak siap. Mejanya sudah penuh dengan makanan dan minuman bermineral. Sejenak kami mengobrol, lalu sang istri datang membawakan kopi panas.
Kami saling mengenal saat dosen Universitas Sanata Dharma (USD) itu terlibat aktif dalam kelompok diskusi mahasiswa Dasakung tahun 1983. Praptomo mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada lulus sarjana tahun 1985, melanjutkan S-2 di fakultas yang sama dengan tesis ”Afiks Me-(N) dan Afiks Di-: Tinjauan Morfologis, Sintaksis, dan Pragmatis” (1994). Jenjang S-3 diselesaikan pada 2000 di UGM dengan disertasi ”Ikonisitas Diagramatik pada Tataran Kalimat dalam Wacana Bahasa Indonesia”. Tiga strata pendidikan tadi diselesaikan dengan predikat cum laude.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketertarikan untuk kuliah dan menggeluti dunia bahasa berasal dari dalam diri Praptomo sendiri yang didukung keluarganya. ”Terutama juga membaca majalah Intisari sejak dulu, sampai sekarang saya masih langganan. Itu mendorong untuk belajar menulis yang baik, akhirnya kuliah di bahasa,” katanya. Setelah menjadi pengajar tetap di USD, ketekunan mendalami linguistik sampai pada tataran yang ”tidak polos lagi karena bahasa itu ternyata tidak otonom”.
Kata-kata Praptomo ini muncul setelah berkenalan dengan pemikir kritis Pierre Bourdieu, Michel Foucault, Antonio Gramsci, Jurgen Habermas, dan Karl Marx. Pemikiran linguistik kritis terwujud dalam pidato pengukuhan Guru Besar USD pada tanggal 17 Februari 2012 dengan judul ”Bahasa, Kekuasaan dan Kekerasan”.
Mengapa sewaktu pidato pengukuhan guru besar memilih topik bahasa dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kekerasan?
Bidang saya itu teori linguistik. Saya harus mengikuti teori itu. Selama satu abad, seperti juga dalam sosiologi, kita mengenal strukturalisme Emile Durkheim, dalam bahasa kalau dulu apa yang disebut benar itu kalau kita bisa menganalisis bahasa dari strukturnya dan memang strukturalisme ini berhasil. Karena bisa dipakai untuk membuat tata bahasa, untuk membuat kamus. Tanpa meneliti struktur bahasa itu, semua tidak bisa disusun. Tetapi, dalam perkembangannya, para ahli bahasa, ahli sosiologi, dan filsafat melihat bahwa bahasa itu tidak otonom. Bahasa itu milik masyarakat, digunakan masyarakat untuk menciptakan hubungan sosial. Ternyata ketika saya melakukan penelitian dengan teori-teori baru itu memang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masyarakat.
Ada pengaruh buku tesis karya almarhum Moedjanto?
Saya membaca buku Konsep Kekuasaan Jawa karya Pak Moedjanto (senior Praptomo di USD) itu jauh sebelum saya mendalami teori-teori kritis tadi (teori yang menyatakan bahasa tidak otonom), lalu perkembangan teori kritis itu begitu melejit menjelang abad ke-21. Dari pengenalan teori kritis itu, ternyata bahasa itu tempat bersembunyinya ideologi kekuasaan. Tulisan Pak Moedjanto itu, kan, sebenarnya mengungkapkan hal itu. Setelah membaca teori kritis, saya semakin paham tulisan itu.
Sebelumnya, kita tahunya bahasakrama ngoko itu memang untuk sopan santun, tetapi ternyata dari sejarahnya, dan teori kritis itu sangat memperhatikan soal sejarah, melalui perunutan sejarah kita ternyata bisa mengungkap ideologi kekuasaan yang tersembunyi dalam bahasa krama ngoko.
Bagaimana mengungkap bias ideologi jender lewat penggunaan bahasa?
Dalam bahasa Indonesia, ada kata-kata berakhiran dengan ”wan”. Ada ”wan”, ada kata ”wati”. Tidak semua ”wan” ada imbangannya ”wati”. Artinya apa, perempuan bergantung kepada laki-laki. Dermawan tidak ada dermawati. Kalau wartawan, ada wartawati, tetapi kalau jutawan tidak ada yang wati, ini artinya yang kaya itu pria saja (sambil tersenyum lebar). Bisa diteruskan contohnya, usahawan, cendekiawan, dramawan, hartawan, dan ilmuwan. Ini tidak memiliki imbangan usahawati, cendekiawati, dramawati, hartawati, dan ilmuwati.
Mengapa dalam era sekarang ini juga tidak ada usaha untuk mengintroduksi kata-kata yang seimbang tadi?
Ya, karena dominasi laki-laki sudah menciptakan hegemoni, seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, yaitu kelompok yang didominasi mematuhi kehendak kelompok dominan bukan karena paksaan, melainkan karena sudah merupakan hal yang sewajarnya. Pandangan dominatif laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan juga tampak pada urutan kata seperti ayah bunda, bapak ibu, bruder suster, hadirin hadirat, kakek nenek, laki bini, laki-laki perempuan, muda mudi, pria wanita, saudara-saudari, suami istri. Pandangan pria lebih menentukan nasib wanita dapat menjawab pertanyaan mengapa kalimat ”Pemuda itu akan menikahi seorang gadis cantik” dan ”Laki-laki itu akan menceraikan istrinya” merupakan kalimat yang berterima dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, kalimat ”Gadis itu akan menikahi seorang pemuda tampan” dan ”Perempuan itu akan menceraikan suaminya” merupakan kalimat yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia meskipun strukturnya tidak melanggar tata bahasa.
Jadi, penggunaan bahasa itu tidak netral, ada ideologi di balik itu?
Kita yang berbahasa tidak sadar kalau ada ideologinya karena tersembunyi, ada hegemoni, dominasi yang dianggap wajar, bahwa orang yang mendominasi memang harus begitu. Pria itu sewajarnya harus begitu, penguasa sewajarnya itu harus begitu.
Ada faktor budaya, sosial, agama, ekonomi sebagai sumber kekuasaan dan sumber kekuasaan itu makin lama makin bertambah. Mungkin yang pertama politik bisa juga agama, ekonomi, jender kalau sekarang, ya, teknologi. Sumber kekuasaan itu, ya, dominasi, orang secara tidak sadar mendominasi orang lain, orang kaya terhadap orang miskin. Itu tecermin dalam penggunaan bahasanya. Lalu, kedudukan sosial, katakanlah antara majikan dan pembantu. Kalau bahasa Jawa, kan, enggak mungkin majikan menyuruh pembantu dengan kata krama dhahar (makan), dengan pembantu, kan, ngoko mangan. Tetapi, kalau pembantu mengatakan mangan kepada majikan, maka pembantu bisa dipecat. Ini, kan, sumber kekuasaan ekonomi, lalu menjadi status sosial. Jadi, kalau teori kritis itu mengatakan penggunaan bahasa itu terkait atau selalu menunjukkan di mana posisi sosial seseorang itu ketika menggunakan bahasa itu. Tidak netral. Ketika orang bicara satu dengan yang lain, itu sudah tercipta posisi sosial masing-masing, misalnya antara guru dan murid, mesti ini pilihan bahasanya lain kalau guru kepada murid.
Mengapa bahasa di media sosial penuh dengan umpatan dan makian yang sangat bebas?
Sekarang di media sosial banyak orang mengumpat. Orang yang mengumpat pasti merasa lebih berkuasa. Jadi kalau dalam ilmu bahasa itu mewujud dalam tindak tuturnya (speech act), kekerasan itu terwujud di situ entah mengumpat, membenci, melecehkan. Memang melalui media sosial itu orang bisa menyembunyikan kedudukan atau identitas aslinya, tetapi itu sebenarnya ada ideologi kekuasaan bahwa sebenarnya mereka ingin mendominasi.
Twitter, SMS, semua serba singkat. Gejala bahasa ini apa tidak memengaruhi daya analisis masyarakat?
Perubahan bahasa itu cenderung memendek, bukan memanjang. Pertama, mungkin dunia semakin menginginkan efisiensi, termasuk orang dalam bicara dan menulis. Maka, bahasa anak muda sekarang ini singkat-singkat. Namanya dalam bahasa tutur itu ringkas, hanya konsonan saja, vokalnya dihilangkan. Yang kedua, ketidakformalan karena bergantung pada konteks cukup dengan kata ringkas, ringkas sudah bisa dipahami, komunikatif. Tetapi, ketika formal kembali direkonstruksi menjadi lebih panjang lagi, perkembangan kosakata itu semakin pendek. Contoh bahasa gaul sudah menjadi udah, ”s” terpotong. ”Tidak” menjadi ”nggak” karena lebih pendek, ketika masuk bahasa formal, kosakata menjadi agak panjang. Ini hal biasa. Kalau dulu belum ada teknologi informasi, bahasa lisan itu lebih pendek daripada bahasa tulis. Bahasa Jawa, misalnya, ana ing menjadi neng. Jadi tidak hanya pada saat teknologi media sosial seperti sekarang ini, pendek-pendek. Apalagi, ruang media sosial dibatasi dan menulisnya harus cepat, maka harus efisiensi. Teknologi juga mengubah bahasa, tidak hanya mengubah hubungan sosial, tetapi juga mengubah anatominya, yang panjang jadi pendek. Itu teknologi contohnya SMS, Twitter.
Bahasa dan kekerasan, apa hubungannya?
Yang dimaksud tentu kekerasan nonfisik. Kekerasan nonfisik, kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ada yang verbal ada yang nonverbal, misalnya demonstran membakar bendera suatu negara, itu kekerasan simbolik tetapi bukan verbal karena itu bentuknya tanda, lambang. Kalau yang verbal, kan, dengan ucapan, misalnya mengumpat, melecehkan, menjelek-jelekkan. Kekerasan fisik itu jelas bisa dideteksi ada dasar hukumnya, ada undang-undangnya. Tetapi, kalau kekerasan verbal ini sulit, yang luka bukan fisiknya, tetapi jiwanya. Entah orang itu menjadi benci, putus asa, dan itu sulit dideteksi.
Maka, saya lebih tertarik pada kekerasan verbal terutama dalam dunia pendidikan. Misalnya, guru terhadap muridnya melakukan kekerasan verbal, itu berakibat pada keadaan anak sehingga tidak punya motivasi, penyebabnya mungkin bersumber pada kekerasan verbal. Misalnya selalu menyalahkan, menegur dengan keras, mempermalukan di depan umum, mengumpat, ”dasar anak tolol”, itu kan tidak disadari, bahwa kalau dikenakan kepada anak didik akan memengaruhi sisi psikisnya. Ini sebenarnya yang berbahaya kalau dunia pendidikan masih begitu, apalagi itu tak terdeteksi. Lalu, guru yang melakukan kekerasan verbal itu merasa sebagai sesuatu yang wajar karena merasa lebih berkuasa. Kekerasan fisik itu biasanya juga dimulai dari kekerasan verbal. Tawuran itu dimulai dari kekerasan verbal, saling ejek, lantas berkembang menjadi tawuran.
Sekarang era demokratis. Gerakan kesetaraan berkembang. Apa peran penggunaan bahasa?
Kalau dalam dunia pendidikan seharusnya yang dikembangkan kesetaraan. Gerakan kesetaraan dicetuskan kaum intelektual karena merekalah yang mempunyai daya kritis. Kalau dari kalangan yang lain, ya, sulit. Dari merekalah kemudian memengaruhi legislasi, muncul undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. Itu efek gerakan kesetaraan.
Kalau dulu dianggap biasa, ayah memukuli anak sampai babak belur, istri diusir dari rumah itu wajar. Karena itu, gerakan kesetaraan sangat berpengaruh. Saya kira inti demokrasi, kan, di sini. Selain partisipasi, kesetaraan merupakan elemen demokrasi, dan di sinilah peranan bahasa itu penting. Bahasa yang berubah tanda demokrasi yang makin baik.
Apa kesetaraan ini tidak merugikan bahasa, kosakata menjadi makin sedikit?
Tidak, karena bahasa itu menciptakan hubungan sosial, pasti akan muncul unsur-unsur bahasa yang menyatakan kesetaraan, lalu memang akan mereduksi kata-kata yang mencerminkan dominasi. Itu tidak masalah. Misal dalam bahasa Jawa, kata-kata krama makin kurang enggak masalah. Nanti mungkin hanya tinggal bahasa ngoko, dan dengan sendirinya kata-kata yang dianggap kasar juga akan hilang. Jadi, kalau yang kasar hilang dan yang krama hilang, tinggal yang tengah. Dari segi kekayaan bahasa tidak masalah karena bahasa itu untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis. Tidak ada teori yang menyatakan bahasa itu untuk memecah belah masyarakat. Sebab, manusia itu diberi bahasa supaya bisa berpikir, supaya bisa mengembangkan pikiran, dan bisa menjalin komunikasi setara satu sama lain. Bahasa itu untuk membentuk masyarakat. Di situ ada masyarakat, di situ ada bahasa. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa….
BAMBANG SIGAP SUMANTRI
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Februari 2016, di halaman 13 dengan judul “Praptomo, Kesetaraan, dan Ilmu LinguIstik”.
————-
Profesor Usia Muda
Praptomo Baryadi menjadi dosen di Universitas Sanata Dharma tahun 1986, saat itu nama perguruan tinggi itu masih Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Tahun 1987, ia menjadi pegawai negeri sipil. Gelar profesor diraihnya pada usia 51 tahun.
“Bagi Universitas Sanata Dharma, gelar profesor di usia 51 tahun termasuk golongan termuda,” kata Rektor Universitas Sanata Dharma Johanes Eka Priyatma, beberapa waktu lalu.
Praptomo lahir di Kulon Progo, DI Yogyakarta, 4 April 1960, bungsu dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Ignatia Kasmi Martopudihardjo. Ayahnya, Rafael Martopudihardjo, berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Tahun 1992, ia menikah dengan Yosepha Niken Sasanti, dikaruniai dua anak, Stephanie Tesesia Uliartha dan Yosef Brian Yudhalaksana.
Sebagai dosen tetap, Praptomo pernah menjabat, antara lain, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma (2004-2006); Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sanata Dharma (2006-2008); Kepala Departemen Penelitian, Penerbitan, dan Kerja Sama di LPPM Universitas Sanata Dharma (2006-2010). Pada tahun 2008-2012, ia dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Sejak 2012, ia menjadi Kepala Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia Universitas Sanata Dharma. (SIG)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Februari 2016, di halaman 13 dengan judul “Profesor Usia Muda”.