Populasi elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo, Jawa Timur, terancam punah. Kerusakan hutan di wilayah itu diduga menjadi penyebab penurunan populasi burung langka tersebut.
Hasil pemantauan terakhir ProFauna, yang dilaksanakan pada Juli 2010 hingga April 2011, menunjukkan jumlah elang Jawa di Tahura Raden Soerjo tinggal dua ekor. Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan hasil pemantauan ProFauna pada 2009, yang masih menjumpai ada enam ekor.
“Menyusutnya hutan primer yang menjadi habitat elang Jawa memberi kontribusi besar bagi berkurangnya populasi elang Jawa,” kata Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahid, Jumat pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk mempertahankan populasi elang Jawa di Tahura Raden Soerjo, ProFauna meminta aksi perusakan Tahura R. Soerjo maupun hutan lain di Pulau Jawa dihentikan. “Sudah seharusnya pemerintah menghentikan laju deforestasi,” ujar Rosek. Berkurangnya populasi elang Jawa juga dipengaruhi oleh penggunaan pestisida pada lahan pertanian yang berbatasan dengan hutan.
ProFauna memperkirakan jumlah total elang Jawa yang terdapat di alam tak lebih dari 400 ekor. Menurut catatan ProFauna, selain di Tahura Raden Soerjo, ada sejumlah tempat di Jawa Timur yang juga menjadi habitat elang Jawa, antara lain Pulau Sempu, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Nasional Merubetiri, Taman Nasional Alas Purwa, Lebakharjo, Pegungan Hyang, dan Kawah Ijen.
Elang Jawa bisa hidup di hutan primer dari ketinggian 0 hingga 3.000 meter dari permukaan laut. Satwa ini adalah burung pemburu berukuran besar (60 sentimeter), yang dalam rantai makanan berposisi sebagai top predator. Burung ini memangsa burung-burung besar dan mamalia, seperti ayam hutan, tupai, musang, jelarang, dan kelelawar buah.
Pertumbuhan elang Jawa sangat lambat. Elang Jawa hanya bisa bertelur satu butir, yang akan dierami selama sekitar 47 hari. Setelah anaknya lahir, selama 1,5 tahun anak elang Jawa itu akan hidup bersama induknya. Satwa ini dianggap dewasa ketika berumur 3 atau 4 tahun dan hanya berbiak satu atau dua tahun sekali. BIBIN BINTARIADI | ABDI PURNOMO
Sumber: Koran Tempo, 31 Mei 2011