Urbanisasi dan industrialisasi membuat mutu udara di kota-kota di dunia, termasuk Indonesia, turun. Hal itu mengakibatkan meningkatnya ancaman kesehatan warga, serta menurunkan mutu hidup dan kesejahteraan mereka.
Bayi berusia kurang dari 1 tahun merupakan kelompok paling rentan. Pada masa 1.000 hari pertama kehidupan sejak terbentuknya janin, otak bayi berkembang amat cepat. Jadi, sekecil apa pun paparan polutan udara di masa itu bisa merusak otak bayi dan membahayakan masa depannya.
Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) di New York, Amerika Serikat, Rabu (6/12), mengingatkan, 17 juta bayi berumur kurang dari 1 tahun terpapar udara beracun. Sebanyak 12,2 juta bayi di antaranya ada di Asia Selatan dan 4,3 juta lain di Asia Pasifik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan udara sehat jika konsentrasi partikel berdiameter kurang dari 2,5 mikrometer atau PM2,5 kurang dari 10 mikrogram per meter kubik udara. State of Global Air/2017 menyebut konsentrasi PM2,5 di China, India, Pakistan, dan Bangladesh lebih dari 75 mikrogram per meter kubik.
Pembunuh terbesar
Pembunuh terbesar bayi mulai bergeser. Beberapa dekade lalu, penyakit infeksi jadi pemicunya. Kini, polusi udara jadi penyebabnya. Tiap tahun, 920.000 anak berusia di bawah lima tahun meninggal akibat pneumonia atau radang paru- paru. Polusi udara memicu asma, bronkitis (peradangan saluran pernapasan), dan infeksi saluran pernapasan lain.
“Pembunuh terbesar bayi mulai bergeser. Beberapa dekade lalu, penyakit infeksi jadi pemicunya. Kini, polusi udara jadi penyebabnya.”
Nyatanya, dampak polusi udara lebih besar dari itu, khususnya pada bayi berumur kurang dari 1 tahun. ”Polutan membahayakan paru-paru bayi dan merusak otaknya secara permanen,” kata Direktur Eksekutif Unicef Anthony Lake.
Polutan ultrakecil masuk ke pernapasan bayi dan aliran darah, termasuk otak, hingga memicu peradangan sel saraf di otak. Sebab, polutan merusak sawar darah otak, selaput tipis halus yang melindungi otak dari racun. Pada orang dewasa, kerusakan sawar darah otak memicu alzheimer dan parkinson.
Sementara polutan halus lain, seperti magnetit (mineral bersifat magnet dan mengandung besi oksida), masuk lewat saraf penciuman dan usus. Di otak, magnetit amat beracun dan memicu stres oksidatif yang menimbulkan berbagai penyakit neurodegeneratif.
Selain itu, polutan dari senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik akibat pembakaran bahan bakar fosil bisa merusak materi putih otak. Materi putih menghubungkan sel saraf dari berbagai area otak. Hubungan antarsel saraf itu jadi dasar perkembangan anak lebih lanjut.
Semua kerusakan itu terjadi pada otak bayi yang masih amat rentan dan berkembang pesat. Kerusakan otak sedikit saja merusak masa depan mereka.
Kerusakan jaringan otak bayi itu mengganggu perkembangan kognitif mereka. Kecerdasan intelektual dan memori anak pada aspek verbal dan nonverbal, kemampuan akademik, dan perilaku neurologis bisa terganggu.
Risiko anak terpapar polutan lebih besar dibanding orang dewasa karena mereka bernapas lebih cepat. Sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang.
“Risiko anak terpapar polutan lebih besar dibanding orang dewasa karena mereka bernapas lebih cepat. Sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang.”
Laporan Unicef berjudul Danger in The Air, 2017 itu menunjukkan dampak polusi udara pada otak bayi sama buruknya dengan kurang gizi, terbatasnya stimulasi, dan paparan kekerasan sejak dini. Jadi menekan dampak polusi udara sama pentingnya dengan membenahi nutrisi dan mendorong stimulasi bagi mereka. (BBC/UNICEF.ORG/WHO.INT)–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 9 Desember 2017