Studi terbaru menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menggeser pola waktu terjadinya banjir di Eropa. Kajian di Indonesia, meski belum terjadi perubahan drastis, ditemukan indikasi meningkatnya intensitas hujan dan risiko banjir di musim kemarau.
Temuan tentang perubahan pola banjir di Eropa ini dilakukan Institute of Hydraulic Engineering and Water Resources Management, TU Wien-Jerman bersama 30 kampus dan lembaga riset lain di Eropa. Hasil kajian telah dipublikasikan di jurnal Science edisi 11 Agustus 2017.
Ketua tim peneliti, Guenter Bloeschl dari TU Wien, menyebutkan, kesimpulan diperoleh setelah menganalisis data dari 4.262 stasiun pengukur air di 38 negara Eropa selama 50 tahun atau kurun 1960-2010. Hasilnya, perubahan iklim berdampak nyata terhadap pergeseran waktu terjadinya banjir di beberapa negara. Di sebagian negara, banjir lebih awal dari waktu normal, di bagian lain lebih terlambat, tergantung pemicunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Eropa barat daya dan Mediterania, banjir lebih sering terjadi di musim dingin ketika penguapan rendah dan presipitasi tinggi. Di Austria, banjir lebih sering terjadi di musim panas. Di Eropa timur laut, seperti Swedia dan Finlandia, risiko banjir terbanyak terjadi saat musim semi karena salju meleleh.
“Di Swedia, Finlandia, dan kawasan Baltik, banjir sekarang terjadi satu bulan lebih cepat dibandingkan tahun 1960-an dan 1970-an. Ini karena salju meleleh lebih cepat dibandingkan dulu sebagai dampak dari perubahan iklim,” sebut Guenter Bloeschl.
Di sisi lain, di bagian utara Inggris, barat Irlandia, pesisir Skandinavia, dan utara Jerman, banjir cenderung terjadi dua minggu lebih lambat dibanding beberapa dekade lalu. Di beberapa bagian Mediterania, banjir sering terjadi lebih terlambat lagi.
Situasi di Indonesia
Kepala Bidang Analisis Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kadarsah di Jakarta, Senin (14/8), mengatakan, kaitan langsung perubahan iklim dan tren banjir secara nasional belum dilakukan. Namun, tren adanya peningkatan intensitas hujan lebat hingga ekstrem di beberapa lokasi telah terpantau.
Menurut Kadarsah, data pemantauan curah hujan di stasiun meteorologi Kemayoran, misalnya, dalam kurun 1981-2015 menunjukkan tren peningkatan hujan dengan intensitas 20 milimeter (mm) per hari, 50 mm per hari, dan 100 mm per hari. Sementara hujan dengan intensitas 1 mm per hari menurun.
Studi tentang perubahan pola banjir dalam 50 tahun terakhir yang dilakukan di Jakarta oleh peneliti cuaca dan iklim ekstrem BMKG, Siswanto, juga menunjukkan adanya beberapa perubahan pola. “Untuk Jakarta, musim banjir dominan frekuensinya masih tetap Desember-Februari. Meski demikian, teramati adanya indikasi peningkatan risiko banjir akibat curah hujan tinggi di luar puncak musim hujan,” katanya.
Saat ini, kata Siswanto, curah hujan tinggi bisa semakin sering terjadi di musim kemarau atau pada Juni-Agustus. “Kalau zaman dulu hujan ekstrem di musim kemarau sangat jarang, 50 tahun terakhir ada peluang hujan ekstrem di musim kemarau yang memicu banjir,” ujarnya.
Penelitian Siswanto juga menemukan akumulasi curah hujan ekstrem di Jakarta berkontribusi terhadap sekitar 30 persen total curah hujan bulanan. Selain itu, risiko perulangan hujan dengan intensitas ekstrem meningkat seperti pada 2014 dan 2015 dengan peluang hingga tiga kali lipat dibanding 100 tahun lalu. (AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2017, di halaman 4 dengan judul “Pola Waktu Banjir Bergeser”.