Pola Hidup Pengaruhi Komposisi Mikrobioma Pencernaan

- Editor

Rabu, 30 Mei 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perubahan pola dan jenis makanan mengganggu keseimbangan mikrobioma di usus dan melemahkan daya imun. Hal itu banyak terjadi pada warga Indonesia yang mengalami transisi tradisional ke modern. Namun kajian tentang hal itu masih amat minim.

“Kajian kami ini untuk memetakan perubahan mikrobioma di usus. Kami membandingkan Punan Aput yang tinggal di pedalaman dan Punan Tubu yang tinggal di kota,” kata peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Safarina G Malik, di Malinau, Selasa (29/5/2018).

Kajian kami ini untuk memetakan perubahan mikrobioma di usus. Kami membandingkan Punan Aput yang tinggal di pedalaman dan Punan Tubu yang tinggal di kota.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lebih dari 100 triliun sel mikroorganisme berupa bakteri, fungi, dan virus, diperkirakan tinggal di saluran cerna manusia. Seluruh mikroorganisme di saluran cerna manusia disebut mikrobioma saluran cerna. “Mikrobioma ada sejak bayi, didapat dari ibu melalui persalinan dan menyusui. Lalu tambahan mikrobioma dari makanan dan lingkungan,” ujarnya.

Peneliti Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi memeriksa genetika masyarakat Dayak Kenyah di Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Selasa (29/5/2018). Berbeda dengan Punan yang pemburu dan peramu, populasi Kenyah secara tradisional memiliki budaya bercocok tanam, sehingga diduga mereka berasal dari gelombang kedatangan yang berbeda.–KOMPAS/AHMAD ARIF

Banyak riset membuktikan, mikrobioma berperan penting dalam adaptasi manusia pada lingkungan. Komposisi mikrobioma memengaruhi ada obesitas, diabetes, dan penyakit lain.

Jumlah dan variasi mikrobioma ini beragam di etnis berbeda. Contohnya, riset Yuan-Kun Lee dari National University of Singapore dan tim menemukan beda mikrobiota jenis Prevotella dan Bifidobacterium pada anak-anak di Yogyakarta dan Bali dengan Tokyo, Bangkok, Beijing, dan lima kota lain di Asia.

Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 2015 ini menyebut, anak-anak di Bali, Yogyakarta, dan Khong Kaen di Thailand memiliki Prevotella tinggi, sedangkan di kota-kota lain rendah.

Kajian peneliti dari Lembaga Eijkman, Clarissa Asha Febinia, terhadap masyarakat di Denpasar, menemukan, pada orang gemuk, keragaman mikrobioma-nya lebih rendah dan sebaliknya warga yang langsing lebih tinggi keberagamannya. Jika komposisi mikrobioma warga di Denpasar dibandingkan di negara lain, Indonesia termasuk mengalami transisi.

Evolusi mikrobioma
Kekhasan mikrobioma di tiap populasi, terbentuk dari adaptasi panjang dan lewat pewarisan. Studi oleh Hehemann (2010) dan tim menemukan, warga Jepang memiliki mikrobioma pemicu genetika mereka mengeluarkan enzim untuk mengurai porphyran atau karbohidrat sulfat pada rumput laut lebih baik, dibandingkan warga di Amerika Utara.

Riset terhadap warga Punan diharapkan memberi informasi komposisi dan jenis mikrobioma diwarisi dari leluhur mereka sebagai pemburu dan peramu dan dampaknya setelah pola konsumsi berubah. “Riset sejenis perlu dilakukan pada warga lain mengalami transisi, seperti di Papua dan Mentawai,” kata dia.

Dari pemeriksaan dengan alat uji portabel pada gula darah masyarakat Punan Aput ditemukan, rata-rata kadarnya di bawah ambang normal. Namun, untuk total kolesterol rata-rata di atas ambang normal. “Tingginya kolesterol karena tingginya konsumsi protein hewani, tapi ini diimbangi aktivitas fisik mereka amat tinggi sehingga tak banyak jadi masalah,” ujarnya.

Kepala Puskesmas Long Sule, Kecamatan Kayan Hilir, Tri Bekti Sadi Utomo mengatakan, penyakit terkait gaya hidup di Punan Aput mulai muncul. “Dari 1.000 jiwa warga, hanya dua orang yang diabetes, 6 orang kena hipertensi. Kasus diabetes dikhawatirkan naik karena konsumsi gula tinggi, selain warga beralih makan beras dan jarang makan sagu,” ungkapnya.

Sebagaimana diketahui, indeks glikemik nasi jauh lebih tinggi dibandingkan beras. Indeks glikemik merupakan parameter yang menunjukkan seberapa cepat makanan dicerna untuk menghasilkan gula yang kemudian masuk ke aliran darah. Semakin rendah indeks glikemik, pengendalian gula darah kian baik.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 30 Mei 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB