Tenda beratapkan daun kelapa dengan ketinggian 2 meter membentang seluas 5.000 meter persegi. Di bawah naungan tenda itu terdapat 35.000 anakan pohon dari 27 jenis tanaman, baik tanaman perkebunan, tanaman kehutanan, maupun tanaman hias. Anakan tanaman itu bakal menyebar di sembilan kabupaten di daratan Pulau Flores sampai Pulau Sumba dan Pulau Timor.
Dalam setiap proyek penghijauan dan reboisasi di Nusa Tenggara Timur, ribuan anakan tanaman yang dibudidayakan Petrus Mehan sejak 1992 inilah yang digunakan. Ia memulainya pasca tsunami di Maumere dan sekitarnya. Ketika itu, ia memperhatikan hampir sebagian kawasan hutan di Maumere rusak parah akibat gempa bumi berkekuatan 6,5 skala Richter disertai tsunami. Pulau-pulau kecil di depan Maumere dan sekitarnya, seperti Pulau Babi, Pulau Pangabatang, dan Pulau Sukun, pun ikut rusak.
Dijumpai di Kelurahan Baumekot, Kecamatan Kangae, 15 kilometer arah timur Maumere, Sabtu (5/12), Mehan tengah duduk memperbaiki anakan tanaman yang terimpit ranting pohon yang jatuh. Tanaman setinggi 20-40 sentimeter di dalam polybag itu tampak hijau. Sinar matahari menyelinap melalui celah-celah daun kelapa, menyinari hamparan anakan tanaman itu secara tidak teratur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengaku prihatin dengan kondisi Sikka pasca tsunami 1992. Saat itu, sebagian besar daratan hancur, termasuk bukit-bukit pun ikut runtuh bersama tanamannya. Tanaman kelapa di pulau-pulau kecil di depan Sikka, seperti Pulau Babi, Sukun, Panama, dan Pangabatang, itu hancur. Sebagian besar hutan di pulau itu rusak, bahkan tenggelam, seperti hutan di Pulau Babi.
Terdorong keinginan untuk memperbaiki kondisi hutan yang rusak itu, Mehan pun mulai melakukan pembenihan. Awalnya, ia mengumpulkan sejumlah anakan tanaman yang berserakan di sampah, got, dan pinggir jalan. Di samping itu, ia menyemaikan biji mangga, cokelat, kopi, kemiri, dan lainnya untuk dijual kepada konsumen yang membutuhkan.
Akan tetapi, sebagian besar usahanya gagal karena kekeringan. Sembilan bulan kering dan tiga bulan hujan di NTT membuat sebagian besar tanaman bibit mengalami kekeringan. Sejumlah 35.000 anakan pohon, yang terdiri dari 27 jenis tanaman di dalam lokasi pembibitan dan pembenihan itu, pun sering mengalami kekeringan.
“Selama musim kemarau, setiap dua hari saya harus mendatangkan satu mobil tangki air berisi 5.000 liter untuk menyirami anakan ini, setelah ditampung di dalam bak. Harga air Rp 100.000 per tangki. Bisa dibayangkan, dalam satu bulan saya harus mengeluarkan sekitar Rp 1,5 juta, belum termasuk honor 10 karyawan, masing-masing Rp 25.000 per hari,” kata Mehan.
Konsumen yang datang ke tempat pembibitan menyaksikan tanaman dalam kondisi kerdil, kekuningan, dan berulat, membuat mereka selalu menolak membeli. Mereka paling senang kalau tanaman itu tampak hijau, segar, dan memperlihatkan daun yang rimbun. Karena itu, penyiraman tetap dilakukan setiap hari, di samping memberikan pupuk dan obat anti hama pada bagian tertentu dari tanaman.
Untuk meningkatkan kualitas bibit, ia membeli benih bersertifikat dari Dinas Kehutanan Sikka. Terutama untuk jenis anakan tanaman tertentu, seperti jati super, sengon, gamalina, cendana, mahoni, trembesi, dan ampupu.
Sementara untuk tanaman lokal harus disertai surat keterangan asal tanaman itu. Bibit tanaman lokal antara lain pala, cengkeh, mangga, nangka, cokelat, kopi, dan kemiri. Harga benih itu bervariasi, berkisar Rp 1.000-Rp 2.000 per anakan. Adapun untuk jenis biji-bijian berkisar Rp 5.000-Rp 10.000 per bungkus, dengan berat yang bervariasi pula, yakni 5 gram sampai 30 gram.
PETRUS MEHAN
LAHIR:
Baumokot, Sikka, 15 Maret 1962
PENDIDIKAN:
Kelas II SD
ISTRI:
Margaretha Gleko
ANAK:
Yohanes Pareira (31), Kasianus Kekan (29), Rofina Sero (27), Fransiska Balik (25), dan Marietha Padhu (21)
Usia persemaian biji-bijian berlangsung 10 hari, kemudian dipindahkan ke polybag.Sementara anakan tanaman di dalam polybag paling lama bertahan di tenda itu satu bulan, setelah itu dibeli konsumen, termasuk kontraktor yang menangani proyek-proyek penghijauan atau reboisasi hutan di sembilan kabupaten di Pulau Flores, Pulau Timor, dan Pulau Sumba.
Kebutuhan proyek dan pribadi
Harga anakan tanaman itu pun bervariasi, berkisar Rp 5.000-Rp 25.000, tergantung jenis tanaman. Harga paling murah, yakni trembesi, Rp 5.000 per anakan, sedangkan yang termahal, yakni mangga harum manis, Rp 25.000 per anakan. Namun, para kontraktor cenderung menawar harga Rp 1.000 per anakan. Padahal, untuk pembelian dari kontraktor itu, ia sering diminta menandatangani harga Rp 25.000 untuk dilaporkan ke dinas kehutanan.
“Saya sering menolak, tetapi para kontraktor itu mengancam, kalau menolak menandatangani harga Rp 25.000, mereka tidak jadi membeli. Sementara anakan semakin tinggi dan makin memenuhi tempat ini. Lagi pula, saya butuh uang untuk belanja anakan tanaman baru, beli obat-obatan pembasmi hama, bayar honor karyawan, biaya kuliah anak, dan biaya hidup keluarga,” kata Mehan.
Ia pun terpaksa menandatangani harga yang diminta kontraktor. Mereka juga melarang Mehan melapor ke dinas kehutanan setempat. Jika manipulasi harga itu terungkap, kontraktor bisa diproses hukum dan dia tidak mendapat order dalam jumlah besar lagi dari kontraktor.
Minat orang untuk membeli bibit tanaman memang tergantung musim. Ketika musim kemarau, pembeli sangat sedikit. Sebaliknya, ketika musim hujan tiba, minat pembeli sangat tinggi. Saat musim hujan, hampir setiap kepala keluarga membeli 5-100 anakan tanaman, dengan harga sesuai permintaan. Konsumen ini membeli anakan itu semata-mata untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Memasuki musim hujan tahun ini, Mehan telah mendapat pesanan 15.000 anakan dari Sikka dan Ende, berupa sengon, mahoni, ampupu, trembesi, mangga, dan cokelat. Anakan sebanyak itu biasanya merupakan permintaan dari para kontraktor untuk proyek penghijauan atau reboisasi selama musim hujan.
Sejumlah konsumen dari Sikka, Ende, dan Flores Timur yang sebelumnya membeli anakan hasil karya Mehan itu mengaku tanamannya telah berbuah. Terutama tanaman mangga, nangka, rambutan, dan cokelat. Mereka mengaku puas menikmati buah-buahan tersebut.
Di Pulau Timor, anakan hasil budidaya Mehan itu dikembangkan di Kecamatan Amfoang Timur dan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, di areal seluas 13.000 hektar untuk program Bupati Ayup Titu Eki tentang “tanam paksa dan paksa tanam”.
Program itu mewajibkan masyarakat Kabupaten Kupang menanam berbagai jenis tanaman perkebunan dan tanaman produktif lain. Selain berguna untuk menghijaukan lingkungan, program ini pun mendukung ekonomi masyarakat setempat.
KORNELIS KEWA AMA
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2015, di halaman 16 dengan judul “Memuliakan Lingkungan melalui Anakan Tanaman”.