Hingga sekarang, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika masih menyiapkan peta jalan implementasi teknologi akses seluler 5G. Substansi peta jalan fokus ke penyediaan spektrum frekuensi.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Noor Iza, Minggu (19/8/2018), di Jakarta, mengatakan hal tersebut.
“Kami tengah mempersiapkan spektrum frekuensi pita atas (milimeter Wave), seperti 26 GHz atau 28 GHz. Kami juga mengkaji pita mid band di 3.5 GHz (ext-C Band),” ujar dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Noor menceritakan, uji coba 5G sudah pernah dilakukan tahun lalu, yakni sebanyak dua kali untuk pemakaian di dalam ruangan. Kala itu, operatornya adalah XL Axiata dan Tekomsel. XL Axiata memakai spektrum frekuensi 15 GHz, sedangkan Telkomsel 70 GHz. Pada tahun ini, uji coba kembali dilakukan, tetapi pelaksanaannya di luar ruang. Operatornya masih sama. Keduanya menggunakan frekuensi 28 GHz.
Dari hasil uji coba, lanjut dia, Kemkominfo akan memperoleh hasil berapa kebutuhan bandwidth dan kapasitas. Ini menjadi bahan penting dalam penyiapan spektrum frekuensi beserta lebar pitanya.
KOMPAS/KHAERUDIN–Booth Huawei Technologies di ajang World Mobile Congress 2018 Barcelona, Spanyol yang digelar pada 26 Februari-1 Maret lalu. Huawei dan para pemain global penyedia jaringan dan perangkat telekomunikasi, berlomba memamerkan inovasi mereka dalam ajang tahunan tersebut. Salah satu yang menjadi fokus pada ajang ini adalah penerapan tekologi 5G.
Tiga dimensi terpenting dalam teknologi akses seluler 5G adalah latensi (jeda waktu pengantaran layanan data internet), kecepatan, dan kapasitas koneksi. Teknologi 5G memiliki latensi 1 mili detik, kecepatan puncak 10 gigabit per detik, dan 100 miliar koneksi.
Dengan karakter tersebut, teknologi 5G memiliki intelejensi berbeda dengan teknologi yang telah ada sebelumnya. Sebagai ilustrasi, latensi yang dimiliki 4G LTE berkisar 30 – 50 mili detik, kecepatan puncak 100 megabit per detik, dan koneksi 10.000 per kilometer persegi.
Mengenai substansi pemanfaatan 5G, Noor tidak menceritakan secara detil. Hanya saja, Kemkominfo berharap, awal implementasinya di Indonesia, 5G bisa mendukung peta jalan industri 4.0 yang sudah diluncurkan Kementerian Perindustrian pada April 2018.
“Kami masih menimbang aspek teknis, bisnis, serta cost benefit apabila 2G off atau 2G tetap live,” tambah dia.
Teknologi strategis
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono memandang 5G sebagai teknologi yang strategis. Oleh karenanya, pemanfaatan teknologi 5G seharusnya dipilih yang memiliki skala masif, menyentuh persoalan masyarakat luas, dan peningkatan produktivitas industri.
Menurut dia, Indonesia semestinya mempunyai peta jalan 5G yang komprehensif, khususnya adopsi 5G untuk kasus yang menjadi prioritas nasional. Penyusunan peta jalan mendesak dilakukan, jika Indonesia ingin meluncurkan 5G secara komersial tahun 2021.
“Seluruh pemangku kepentingan di industri dilibatkan selama proses merancang kebijakan dan regulasi yang tepat serta dapat dijalankan untuk peta jalan 5G. Pentahapan pelaksanaan kebijakan dibuat. Setelah itu, pemerintah bersama industri disiplin dan konsisten menjalankan,” ujar Kristiono.
Mengenai perangkat komunikasi 5G, kata dia, bentuknya bukan hanya ponsep pintar, melainkan juga sensor. Pemerintah bisa melanjutkan kebijakan wajib tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Karena perangkat komunikasi penyokong 5G membutuhkan aneka ragam spesifikasi teknis dan kompleks, pemerintah perlu mengatur pentahapan kandungan dalam negeri secara tepat.
Director of Information Communication Technology Strategy and Marketing Huawei Indonesia, Mohamad Rosidi, mengatakan, dari sisi pengalaman pengguna, pemanfaatan 3G lebih berkembang di kalangan konsumen karena meningkatkan pengalaman peramban (browsing) dan transfer data lebih cepat dibanding 2G. Sementara teknologi 4G melahirkan kebiasaan dan kenyamanan baru menikmati konten video.
Menurutnya, pada kondisi seperti sekarang, permintaan layanan 4G yang ada bukan semata-mata untuk konsumsi ritel. Hal ini berkaitan dengan pergerakan digital ekonomi. Pelaku industri digital meminta karena infrastruktur jaringan telekomunikasi, baik broadband maupun fiber optic, dapat digunakan untuk mengakselerasi pertumbuhan digital ekonomi.
“Dari sisi bisnis, peluang untuk memonetisasi 4G sebenarnya masih terbuka luas. Kami rasa perlu kolaborasi antarpelaku sektor industri untuk meningkatkan pendapatan dari komersialisasi teknologi 4G,” tutur Mohamad.
Dia membenarkan bahwa karakteristik teknologi 5G berperan sebagai pendukung (enabler) industri generasi keempat. Revolusi industri ini ditandai dengan otomatisasi dan intelijensi dalam sektor tertentu, seperti manufaktur dan transportasi. Meski begitu, dia memperingatkan bukan berarti pengalaman konsumen ritel menjadi tak diperhatikan lagi. Teknologi 5G bisa diterapkan di perangkat penunjang aktivitas harian.
Presiden Direktur Ericsson Indonesia, Jerry Soper, berpendapat, tantangan yang dihadapi Indonesia dengan negara Asia lainnya hampir sama. Misalnya, ketersediaan spektrum frekuensi dan kualitas infrastruktur jaringan.
Oleh karena itu, seperti teknologi akses seluler sebelumnya, lanjut dia, 5G dapat diterapkan dulu di daerah perkotaan yang padat penduduk. Lalu, peruntukan bagi industri, antara lain otomotif, manufaktur, dan kesehatan.–CAECILIA MEDIANA
Sumber: Kompas, 20 Agustus 2018