Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan PT Dirgantara Indonesia tengah mengembangkan pesawat N219 Amfibi. Pesawat yang bisa mendarat di air itu untuk mendukung wisata maritim.
Proses sertifikasi pesawat N219 agar dapat diproduksi atau Type Certificate diharapkan selesai pertengahan 2019. Bersamaan dengan proses sertifikasi itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bersama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) sedang mengembangkan varian baru dari pesawat tersebut, yaitu N219 Amfibi atau N219A.
Penggunaan pesawat yang bisa lepas landas dan mendarat di air atau seaplane sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) pernah menggunakan pesawat Hydro PBY Catalina pada 1947 untuk menerobos blokade Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara penggunaan pesawat amfibi, yang bisa lepas landas dan mendarat di air dan darat, pernah digunakan Presiden Soekarno saat mengunjungi Gorontalo pada 1950 dan 1956. Pesawat ini juga digunakan untuk membantu mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada 2015.
PT DIRGANTARA INDONESIA–Konsep pesawat N219 Amfibi
Untuk industri, pesawat amfibi digunakan sejumlah perusahaan tambang emas untuk mengangkut karyawan mereka dari Bali dan Lombok ke lokasi pertambangan mereka di Sumbawa. Pesawat ini juga digunakan untuk mengangkut wisatawan dari Pulau Batam ke sebuah resor di Pulau Bawah, Kepulauan Riau.
Potensi pasar yang besar itu membuat Lapan dan PT DI optimis pesawat N219A akan diminati pasar. Terlebih, tidak banyak industri dirgantara global yang memproduksi jenis pesawat tersebut.
Manajer Proyek N219 Amfibi PT DI Budi Sampurno disela sosialisasi Hasil Studi Kelayakan Pengembangan Pesawat N219 Amfibi di Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Rumpin, Bogor, Kamis (20/12/2018), mengatakan, dalam 10 tahun ke depan, setidaknya ada kebutuhan 37 pesawat amfibi di Indonesia.
Jumlah tersebut terdiri atas 23 pesawat amfibi untuk industri pariwisata dan 14 pesawat amfibi untuk kebutuhan khusus, baik pemerintah daerah maupun industri minyak dan gas bumi. “Memang tidak banyak, tapi ada potensi pasar khusus yang bisa dipenuhi,” katanya.
Namun seiring makin masifnya industri pariwisata, khususnya wisata maritim, beberapa tahun terakhir, tidak menutup peluang permintaan pesawat amfibi akan meningkat. Terlebih dari program 10 destinasi wisata baru yang ditargetkan pemerintah menjadi Bali Baru, sebagian besar potensi wisatanya ada di perairan baik laut atau danau.
Selain itu, karakter Indonesia yang dikelilingi lautan dan memiliki banyak pulau membuat pesawat N219A bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih luas, mulai dari patroli keamanan laut, operasi penyelamatan korban kecelakaan di laut, hingga evakuasi korban bencana atau orang sakit.
Saat ini, pemain utama untuk tipe pesawat amfibi di Asia Pasifik adalah Twin Otter, perusahaan dirgantara asal Kanada. Di Asia Pasifik, setidaknya ada 71 pesawat amfibi buatan mereka. “Jika kita bisa merebut 20 persen pasar mereka, itu sudah sangat berarti,” tambahnya.
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL–Konsep pesawat N219 Amfibi
Sementara populasi pesawat amfibi lain dengan kelas setara N219 ada 141 pesawat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 pesawat ada di Maladewa untuk menopang kebutuhan industri pariwisata di sana.
Pesawat N219A ini juga diyakini mampu bersaing karena memiliki sejumlah keunggulan menarik dibanding kompetitor yang ada. N219A dikembangkan dari pesawat N219 yang memiliki dua mesin dan berkapasitas 19 penumpang. Pesawat amfibi yang ada umumnya bermesin tunggal dan berkapasitas kurang dari 10 penumpang.
Pengembangan
Sejak pesawat N219 terbang perdana dari landasan di Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung pada 16 Agustus 2017, Lapan dan PT DI sudah merancang pengembangan varian pesawat tersebut yaitu N219A. Selain studi peluang bisnis pesawat jenis amfibi, juga dibuat sejumlah dokumen uji, pembuatan gambar teknis pesawat hingga pembuatan sejumlah model uji.
Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan Gunawan Setyo Prabowo mengatakan pengembangan model pesawat amfibi lebih diutamakan dibandingkan mengembangkan varian pesawat untuk kapasitas penumpang yang lebih besar. Pesawat amfibi dinilai lebih dibutuhkan untuk menaklukkan karakter wilayah Indonesia.
N219A memiliki bentuk dasar yang sama dengan N219. Bedanya, hanya terletak pada bagian roda pesawat yang diganti dengan sepasang unit pelampung atau float. Meski demikian, pelampung itu tetap dilengkapi dengan roda yang lebih kecil sehingga pesawat tetap bisa lepas landas dan mendarat di darat.
Saat ini, pengembangan N219A dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan pelampung yang dibeli dari perusahaan Amerika Serikat dan pelampung yang dibuat di dalam negeri. Purwarupa N219A dengan pelampung yang dibeli dari luar negeri itu diharapkan akan menjalani terbang perdana pada 2022-2023.
Meski menggunakan pelampung yang dibeli, pesawat harus menjalani sejumlah uji kembali karena pesawat telah mengalami modifikasi dari bentuk pesawat asli. Uji itu untuk memastikan agar beban pesawat tetap ideal, mampu mengangkut penumpang dengan jumlah sama dan mampu mendarat dan lepas landas secara stabil di air.
“Berat float berkisar antara 750 kilogram sampai dengan 1 ton. Berat itu tentang memengaruhi kinerja pesawat secara keseluruhan,” kata Gunawan.
Dari pemodelan yang dilakukan, jika unit pelampung terlalu berat karena terbuat dari alumunium, jumlah penumpang pesawat harus dikurangi dari 19 penumpang jadi 17 orang. Hal itu tentu kurang menguntungkan. “Perbedaan dua penumpang itu dapat memperkuat daya saing N219 dengan pesawat pesaing terutama Twin Otter versi amfibi yang berkapasitas 12 penumpang,” kata Kepala Rekayasa (Project Engineer) N219 Bambang Sumantri DK.
Jika ingin tetap ingin 19 penumpang, maka mesin harus diganti. Namun itu bukan pilihan karena akan menambah biaya dan membuat pesawat harus menjalani proses uji baru.
Karena itu, Lapan-PT DI ingin mengembangkan float yang terbuat dari materi komposit sehingga beban float menjadi lebih ringan. Konsekuensinya, jumlah penumpang pesawat bisa dipertahankan 19 orang. Proses pembuatan pelambung dari dalam negeri itu tentu membuat proses pengembangan pesawat butuh waktu lebih lama.
Selain itu, unit pelampung dari komposit membuat pesawat lebih tahan terhadap korosi. Karat merupakan musuh terbesar pesawat amfibi. Kondisi itu yang membuat umur operasi pesawat amfibi lebih pendek dibanding pesawat yang mendarat di darat.
“Dua jenis model pengembangan N219A, dengan float yang dibeli dan dibuat sendiri itu dilakukan secara bersamaan,” tambah Gunawan.
Saat ini, model N219A sudah menjalani serangkaian proses uji. Menurut Bambang, uji N219A itu dilakukan di Balai Teknologi Hidrodinamika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Surabaya. “Dalam dua bulan terakhir, model pesawat ini telah melampaui 400 kali pengujian,” katanya.
Selain uji statik, juga dilakukan uji dinamik di kolam simulasi. Salah satu pengujian yang penting adalah tes hidrodinamika untuk mengetahui kestabilan model pesawat saat mengapung, tinggal landas dan mendarat di perairan.
“Rangkaian pengujian ini untuk mengetahui berat muatan optimal yang dapat dibawa pada jarak tertentu dengan float atau unit pelampung,” tambahnya. (YUNI IKAWATI)–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 21 Desember 2018