Hutan mangrove memiliki kerapatan empat kali lebih besar dibandingkan hutan tropis pada umumnya. Potensi penyimpanan karbon pun berbanding jauh lebih besar.
Meski demikian, potensi ini belum dilirik sebagai bagian dari usaha pengurangan emisi karbon ke atmosfer. Perusakan terhadap tanaman mangrove terus terjadi dan menyebabkan kerusakan substrat di bawahnya. Lebih lanjut, melepaskan gas nitroksida yang kuantitasnya ratusan kali gas karbon dioksida.
Daniel Murdiyarso, peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Senin (11/4) di Bali, menjelaskan, pembicaraan mengenai peran penting hutan lahan basah tropis dalam perubahan iklim dapat diperlebar untuk menyertakan mangrove. Mangrove atau biasa disebut bakau memiliki kesamaan sifat dengan lahan gambut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mangrove dan gambut menghadapi deforestasi dan degradasi yang cukup serius. Karena itu, menurut Daniel, perlindungan terhadap mangrove mutlak dilakukan, seperti instrumen yang telah disusun pada bakau.
Ia mencatat laju kerusakan mangrove di Kalimantan mencapai 7 persen dalam lima tahun terakhir. Perusakan disebabkan penggunaan lahan untuk budidaya perikanan, infrastruktur, dan usaha lain. Di Jawa, dampak perusakan mangrove telah dirasakan, yaitu abrasi tinggi dan kesulitan mencari ikan.
Hasil penelitian CIFOR dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) Bidang Kehutanan yang dirilis pekan lalu memperlihatkan, kepadatan karbon hutan mangrove lebih tinggi empat kali daripada hutan tropis umumnya. Perusakan dan degradasi ekosistem mangrove diperkirakan menghasilkan hingga 10 persen dari emisi deforestasi global. Padahal, luas hutan mangrove hanya 0,7 persen dari hutan tropis. Karbon lebih banyak tersimpan di bawah hutan bakau daripada di atas permukaan tanah dan air. Data terakhir menunjukkan, Indonesia memiliki 3,1 juta hektar mangrove atau 22,6 persen dunia. Mangrove penting untuk melindungi pantai dari abrasi dan terjangan badai sehingga berharga bagi Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 55.000 kilometer, terpanjang kedua setelah Kanada.
Stephen Crooks, Direktur Perubahan Iklim Biro Konsultasi Perlindungan, Peningkatan, dan Perbaikan Ekosistem yang Bergantung pada Air (ESA-PWA), menjelaskan, hutan mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun menghilangkan karbon dari atmosfer serta menguncinya di dalam tanah selama ratusan hingga ribuan tahun. Tidak seperti hutan daratan umumnya, ekosistem laut secara terus-menerus membangun kantong-kantong karbon dalam jumlah besar di dalam sedimen laut.
Louis Verchot, peneliti senior CIFOR, menjelaskan, lahan basah yang dikeringkan untuk pertanian berpotensi melepaskan gas nitroksida akibat persenyawaan dengan pupuk. Pada satu hektar lahan menghasilkan 4-5 kilogram gas nitroksida. ”Jumlah nitroksida 4-5 kilogram itu setara dengan 1 ton karbon dioksida,” ujarnya. (ICH)
Sumber: Kompas, 12 April 2011