Belum Semua Pihak Menyadari Gawatnya Pencemaran Lautan
Perubahan perilaku birokrasi dan masyarakat menjadi kunci untuk mengatasi pencemaran di laut yang sebagian sudah dalam kondisi kritis. Tanpa hal itu, komitmen Indonesia mengurangi jumlah sampah plastik di laut hingga 70 persen pada 2025 sulit terwujud.
Komitmen Pemerintah Indonesia terkait pengelolaan sampah plastik tersebut disampaikan dalam Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, pada 8 Juni 2017. Sejak saat itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman mulai menyusun rencana aksi nasional pengurangan sampah plastik.
“Tantangan yang kami hadapi dalam penyusunan rencana aksi ini adalah keterbatasan data tentang kondisi pencemaran plastik di laut Indonesia. Padahal, data riset sangat dibutuhkan sebagai dasar ilmiah untuk membuat kebijakan,” kata Devi Dwiyanti, peneliti bidang lingkungan Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menjadi anggota kelompok kerja penyusun rencana aksi ini, di Jakarta, Selasa (12/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data tentang pencemaran plastik secara nasional sejauh ini hanya dari penelitian Jenna Jambeck (2015) yang menempatkan Indonesia sebagai pembuang sampah plastik ke laut terbesar kedua setelah China. Penelitian menggunakan estimasi pemodelan ini menyebutkan, dari 5,4 juta ton sampah plastik per tahun yang dihasilkan masyarakat Indonesia, 0,5-1,5 juta ton dibuang ke laut.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional, 2017 Februari lalu, mengatakan, secara nasional, dari total sekitar 65 juta ton sampah, 14 persen merupakan sampah plastik. Tidak disebutkan sampah yang terbuang ke laut.
Karena ketiadaan data itu, Devi mengatakan, dalam rencana aksi nasional pihaknya mengusulkan pentingnya pemantauan dan pendataan rutin.
Keterbatasan data juga membuat upaya mengatasi persoalan logam berat di perairan terkendala. Kepala Subdit Inventarisasi dan Status Mutu Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut KLHK Heni Agustina mengatakan, karena dana terbatas, lembaganya baru memantau tiga perairan, yaitu Teluk Jakarta, Teluk Benoa, dan pantai Semarang. “Dari penelitian kami ada indikasi pencemaran logam berat, tetapi sebagian tak terdeteksi. Kemungkinan karena alat yang digunakan kurang sensitif,” kata Heni.
Tingginya pencemaran logam berat pada hasil laut juga belum terpantau baik. Menurut peneliti Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Dwiyitno, pemerintah tak pernah memantau secara periodik produk-produk hasil laut yang diduga tercemar logam berat. “Seharusnya minimal sebulan sekali,” katanya.
Birokrasi pemerintahan
Devi mengatakan, selain persoalan data, yang diperlukan untuk mengatasi pencemaran di laut ini adalah penegakan hukum dan perubahan perilaku. “Beberapa waktu lalu di media sosial ramai beredar anak buah kapal di satu perusahaan pelayaran membuang sampah saat berlayar. Praktik ini kemungkinan sudah biasa dilakukan, tetapi sejauh ini tidak ada penegakan hukum,” ucapnya.
Terkait perubahan perilaku, lanjutnya, yang pertama-tama harus diubah adalah kalangan birokrasi pemerintahan. “Belum semua lembaga di pemerintahan menyadari gawatnya persoalan pencemaran lautan,” ujarnya.
Berikutnya, diperlukan edukasi publik untuk menyadarkan tentang bahaya pencemaran di lautan. Baik sampah plastik maupun logam berat berpotensi membawa kerugian ekonomi dan dampak buruk pada kesehatan karena sifatnya yang bisa memicu kanker jika termakan. “Semua aspek tersebut harus berjalan paralel agar program pengendalian sampah di laut dapat diimplementasikan dan komitmen Pemerintah RI dapat terlaksana,” katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun KLHK Ade Palguna Ruteka mengatakan, berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah sampah. Pihaknya terus menggandeng pemerintah daerah serta sektor swasta untuk melakukan inovasi dan terobosan dalam mengatasi masalah sampah di daerah masing-masing.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab pemerintah. Meskipun demikian, Siti Nurbaya mengharapkan peran serta semua pemangku kepentingan.
Pemerintah Kota Palembang juga melibatkan sejumlah perusahaan yang beroperasi di tepian Sungai Musi untuk mengatasi sampah di sungai terbesar di Sumatera Selatan tersebut. “Kami minta kesadaran perusahaan untuk membersihkan sungai dengan menggunakan dana CSR (tanggung jawab sosial perusahaan),” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota Palembang Saiful.(AIK/SON/RAM/DRI)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Perubahan Perilaku Jadi Kunci”.