Pendidikan guru yang berkelanjutan masih menjadi barang mewah bagi banyak guru di daerah terpencil. Di tengah kesulitan itu, sejumlah guru di beberapa daerah di Nusantara berkesempatan memberdayakan diri dan sejawatnya lewat pelatihan yang dimotori organisasi lembaga swadaya masyarakat dan swasta.
Mari kita ikuti pengalaman Maria Lansina (35), seorang guru di SD YPK Serito di Kampung Tanah Merah Baru, Distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Perempuan itu diangkat sebagai guru kontrak oleh Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni. Pada akhir 2014, dia bertugas menyampaikan materi pelatihan tentang pengelolaan kelas di hadapan belasan guru SD dan SMP di Kampung Tanah Merah Baru dan Saengga.
Pada awal pemaparan, Maria masih terlihat kaku. Dia hanya membaca saja paparan tertulis di LCD (liquid crystal display) yang dioperasikan guru lain. Namun, lama kelamaan, perempuan itu semakin atraktif, terutama ketika mengajak para guru berdiskusi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suasana pelatihan itu menjadi seru saat para guru saling berbagi pendapat yang beragam. Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dalam mengelola kelas yang baik.
Dengan berbagi pengalaman, mereka lantas digiring untuk semakin memahami perlunya kesepakatan antara siswa dan guru, penataan ruangan, ataupun penciptaan lingkungan belajar. Pengetahuan mereka diperkaya lagi dengan isu-isu soal disiplin pemberian instruksi, komunikasi di antara siswa, penyampaian pertanyaan, pemberian bantuan, inisiatif siswa, hingga pemberian umpan balik.
Maria kemudian mengajak para guru itu untuk mengembangkan ide, bagaimana cara mengelola kelas yang baik. Contohnya, membuat pajangan di dalam kelas.
Maria tampil percaya diri ketika berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan rekan sesama guru. Sikap itu tak lepas dari hasil pelatihan guru dalam program School Development Outreach Putera Sampoerna Foundation (SDO-PSF) yang diikutinya. Dia termasuk guru-guru yang dilatih fasilitator SDO-PSF sejak 2009. Mereka dipersiapkan menjadi pelatih bagi sejawat guru lain dalam hal kepemimpinan, perubahan paradigma, pengelolaan kelas, hingga cooperative learning.
”Guru-guru di daerah terpencil tidak bisa mengandalkan program pelatihan dari orang luar terus. Para guru ini harus disiapkan untuk bisa jadi fasilitator atau tutor yang siap berbagi (dengan sesama guru). Saat ini ada 12 tutor yang bisa berbagi dengan rekan guru lain,” kata Aryo Tohjoyo, fasilitator PSF-SDO.
Di Sumba Timur
Dengan semangat serupa, International Overseas Alumni (IOA) dan Masyarakat Pendidikan Sejati (MPS) sejak 2012 menggelar pelatihan bagi para guru agar bisa saling berbagi mengubah ketertinggalan pendidikan di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Mereka dilatih dengan program kepemimpinan transformasional lewat metode permainan, diskusi, dan refleksi selama tiga hari. Mereka disadarkan akan kebajikan dan potensi baik di dalam dirinya yang bisa dipupuk, kemudian diberikan kepada para siswa.
Guru didorong tumbuh sebagai pendidik yang siap menjadi teladan dan mencintai siswa. Mereka diperkaya dengan pendidikan kreatif lewat metode 6 Topi Berpikir. Setiap topi memiliki warna berbeda untuk menunjukkan sifat-sifat berbeda dalam mengemukakan pendapat.
Dengan cara ini, guru diberi contoh untuk mengajak siswa menjadi berani berpendapat secara berbeda saat diskusi di kelas. Para guru juga dilatih untuk mempraktikkan teknik analisis masalah dan pemecahan masalah dengan cara curah pendapat yang melibatkan semua peserta.
Setelah beberapa tahun berjalan, pendidikan transformasional dan pendidikan kreatif tak lagi bergantung pada Gede Raka dan tim dari MPS. Kini, pelatihan serupa dijalankan oleh fasilitator lokal yang telah disiapkan khusus.
Gerson Naru, Kepala SD Inpres Umamapu, Kota Waingapu, Sumba Timur, NTT, mengatakan, sejumlah guru, kepala sekolah, pengawas, dan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Wira Wacana Sumba telah mengikuti pelatihan menjadi fasilitator. Sekarang, mereka siap melanjutkan pelatihan bagi guru-guru SD di Kecamatan Kota Waingapu dan Kambera.
”Pelatihan guru masih minim di sini. Kami akan berbagai hasil pelatihan yang kami peroleh untuk guru-guru lain di Sumba Timur,” kata Gerson, yang juga salah satu kepala sekolah terbaik tingkat nasional.
Di Kalimantan
Pengalaman serupa dirasakan sejumlah guru di beberapa sekolah di Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta. Mereka mengikuti pelatihan Kelas Lentera yang digagas majalah sains Kuark dengan dukungan sejumlah perusahaan yang peduli pendidikan. Program ini berusaha memberdayakan guru sehingga menjadi pendidik yang asyik di ruang kelas.
Dengan pendekatan sains lewat eksperimen dari materi sederhana, para guru didorong mengembangkan potensi siswa dengan cara-cara kreatif. Mereka dirangsang untuk tidak lagi terpaku pada cara-cara mengajar yang monoton, satu arah, dan membelakangi siswa sebagaimana diwariskan dari zaman ke zaman. Sekembali dari pelatihan itu, mereka didorong untuk berbagi kepada guru-guru lain di sekolah atau daerah masing-masing.
Terobosan
Beberapa program pelatihan guru agar menjadi pelatih bagi sejawatnya, sebagaimana berlangsung di Papua, NTT, dan Kalimantan Selatan, merupakan terobosan di tengah minimnya pelatihan guru di daerah-daerah terpencil. Semua itu memperlihatkan, di tengah potret buram pendidikan di Indonesia, sebenarnya upaya peningkatan mutu guru tidak pernah berhenti dilakukan.
Jika pemerintah sering kali hanya ”menyuapi” guru, program pelatihan oleh organisasi civil society dan swasta itu justru memperkuat posisi guru sebagai penggerak dan pelaku perubahan di dalam kelas dan sekolah. Para guru di daerah diajak untuk semakin mandiri dalam belajar dengan saling berbagi pengalaman. Tujuannya, agar mereka bisa bersama-sama memperbaiki pendidikan di daerah-daerah tertinggal.
Beberapa pelatihan tadi cukup berhasil karena memberikan materi yang memang dibutuhkan guru, dari hal-hal sederhana, seperti pengelolaan kelas, bagaimana membangun karakter, hingga menjalankan pendidikan kreatif yang bisa membuat kegiatan belajar menjadi menyenangkan. Harapannya, siswa tidak lagi alergi belajar dan bersekolah.
Sudah bukan zamannya lagi guru dijejali kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah sesuai pergantian menteri atau presiden. Guru perlu dimotivasi, diajak mengenali panggilan hidup sebagai pendidik, dan mengembangkan potensi mereka untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar di sekolah. Dari tangan merekalah, lahir generasi masa depan bangsa.
Oleh: Ester Lince Napitupulu
Sumber: Kompas, 18 Januari 2015