perubahan iklim; Potensi Penularan Demam Berdarah dan Malaria Naik

- Editor

Sabtu, 23 Agustus 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perubahan iklim secara tak langsung bisa meningkatkan kasus penyakit demam berdarah dengue dan malaria. Agar mampu beradaptasi dengan kondisi itu, masyarakat perlu membangun ketahanan pada penyakit tersebut.

Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat Yusharmen menjelaskan, perubahan iklim secara tak langsung memicu kenaikan angka kasus demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Ini karena yang dipengaruhi adalah perilaku nyamuk sebagai vektor penular penyakit.

”Contohnya, curah hujan yang tak menentu serta adanya genangan air membuat nyamuk tumbuh lebih cepat. Makin lama, tempat tumbuh nyamuk kian banyak,” kata Yusharmen dalam seminar nasional ”Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan”, Kamis (21/8), di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seiring perubahan iklim, pengaruh perubahan perilaku nyamuk lebih besar dibandingkan penegakan aturan untuk menekan angka kasus demam berdarah dan malaria. ”Di Singapura, vektor tetap bisa tumbuh di apartemen-apartemen tinggi, antara lain di genangan talang air. Artinya, bukan karena manusia lalai, melainkan perilaku nyamuk yang berubah,” kata Yusharmen.

Kepala Subdirektorat Penyehatan Pemukiman dan Tempat- tempat Umum Direktorat Penyehatan Lingkungan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Sonny P Warouw mengatakan, perubahan iklim membuat suhu naik dan mempercepat pematangan telur nyamuk. Akibatnya, nyamuk lebih kerap menggigit karena akan mengisap darah lagi seusai bertelur.

Untuk itu, Kemenkes bekerja sama dengan Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC UI) mengkaji kerentanan masyarakat pada DBD dan malaria. Tujuannya, masyarakat bisa beradaptasi dan siaga pada perubahan pola hidup nyamuk akibat perubahan iklim.

Pemetaan kerentanan
Sonny mengatakan, ”Penelitian dan pelaksanaan program didanai dana hibah Indonesia Climate Change Trust Fund sekitar Rp 4 miliar.” Program berjalan pada Januari 2013-Agustus 2014, dengan hasil akhir berupa rencana kerja masyarakat yang dihasilkan warga sendiri.

Tahap pertama, RCCC UI memetakan kerentanan di Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali, DKI Jakarta dan sekitar, serta Kalimantan Tengah. Hasilnya, kerentanan pada DBD dan malaria di kelima wilayah itu tinggi.

Selanjutnya, Sumbar dan Jatim dijadikan sebagai wilayah percontohan penerapan program peningkatan kesadaran petugas kesehatan dan pembuat kebijakan. Kapasitas petugas kesehatan dan masyarakat desa di kedua wilayah itu juga ditingkatkan.

Kerja sama itu untuk memberdayakan masyarakat agar memiliki kesiapan secara mandiri. ”Untuk eksekusi, kami berharap bisa dilanjutkan masyarakat sendiri, didukung pemerintah kabupaten atau kota,” ujarnya.

Menurut Direktur Penyehatan Lingkungan Kemenkes Wilfried H Purba, peningkatan kesiapan masyarakat tak boleh hanya jadi ranah Kemenkes. Kementerian lain mesti berperan mencegah dari hulu agar masyarakat tak sakit. ”Misalnya, untuk mengurangi genangan air di jalan, drainase harus baik. Ini tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum,” ujarnya. (A03)

Sumber: Kompas, 23 Agustus 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB