Kontribusi Indonesia dalam riset yang jadi referensi dunia untuk prediksi, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim minim. Sosialisasi hasil riset pun belum gencar dilakukan. Padahal, Indonesia berada di “jantung iklim dunia” dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Hal itu disampaikan Edvin Aldrian, pakar iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang terpilih jadi Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Jumat (16/10), di Jakarta. “Sumbangan riset dan kajian ilmiah dari negara-negara kecil di Pasifik Barat lebih minim lagi,” ujarnya.
Sebagai wakil Indonesia di badan dunia itu, Edvin yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan BMKG menyatakan akan memfasilitasi para peneliti dari kawasan itu untuk meneliti pemantauan dan penanganan dampak perubahan iklim. Program itu akan dilakukan selama periode kepengurusannya di IPCC hingga tahun 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dukungan BMKG untuk Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam pemantauan iklim dan akumulasi GRK di atmosfer dilakukan dengan membangun stasiun pemantau,” kata Kepala BMKG Andi Eka Sakya. Sejumlah stasiun pemantau itu terletak di Sumatera, Sulawesi, dan Papua.
Perubahan iklim tak hanya soal cuaca dan iklim, tetapi juga semua sektor, seperti pertanian, kehutanan, kelautan, dan kesehatan. Salah satu hasil riset mereka ialah kasus kesehatan akibat perubahan iklim.
Butuh publikasi
Hasil riset perubahan iklim perlu dipublikasikan di jurnal internasional terakreditasi di Scopus. Basis data bibliografi itu berisi artikel jurnal akademis hampir 22.000 judul dari lebih 5.000 penerbit. Jurnal seperti Climate Dynamics dan Paleo Climate jadi referensi IPCC dalam memprediksi perubahan iklim global.
Terkait dengan hal itu, peneliti Indonesia diharapkan lebih berperan dalam riset perubahan iklim dan menyosialisasikan hasil riset itu ke semua lapisan masyarakat. “Untuk meningkatkan riset bidang perubahan iklim, IPCC dan BMKG akan menjajaki kerja sama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Dewan Riset Nasional,” kata Edvin.
Selain itu, penulisan hasil riset ilmiah dalam bahasa populer perlu ditingkatkan. Laporan IPCC terlalu ilmiah karena alih bahasa oleh ilmuwan. Media video dan animasi pada komunikasi ilmiah juga diperlukan. Tayangan animasi menampilkan perubahan warna memerah, tanda kenaikan suhu laut dalam seabad.
Kelompok Kerja I IPCC punya tugas khusus, yakni meninjau secara kritis aspek ilmiah sistem iklim dan perubahan iklim, dengan topik riset antara lain perubahan gas rumah kaca. “Peran aktif Indonesia dalam IPCC diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku IPCC National Focal Point untuk Indonesia,” ujarnya. (YUN)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 13 dengan judul “Kontribusi Indonesia dalam Riset Masih Minim”.