Pelibatan Masyarakat dan Industri Sangat Dibutuhkan
Jasa ekosistem mangrove besar bagi kehidupan, terutama bagi masyarakat pesisir. Pemerintah diminta mendukung masyarakat pesisir menjamin keberlanjutan lingkungannya, di antaranya melalui penegakan hukum dan penataan ruang yang berpihak pada keberlanjutan jasa lingkungan.
Secara nasional, hutan mangrove tertekan, terutama alih fungsi menjadi kawasan tambak ataupun industri. ”Luas 1,08 juta hektar mangrove di Indonesia rusak. Memperbaiki 29 persen dari total luas mangrove itu kuncinya sabar dan komitmen,” kata Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kamis (12/2), di Bali, saat mewakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada seminar Mangrove for Nation: ”Mangrove untuk Pembangunan Berkelanjutan”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seminar kerja sama Kompas dan Pertamina yang dimoderatori Tya Ariestya itu menghadirkan beberapa pembicara, yakni Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kepala Dinas Kehutanan Bali I Gusti Ngurah Wiranatha, Cecep Kusmana, Tridoyo Kusumastanto, dan Dietrich G Bengen (ketiganya Guru Besar Institut Pertanian Bogor), Ali Mansur (Mangrove Center Tuban), dan Agus Bei (pegiat mangrove Balikpapan).
Secara nyata, nilai fungsi ekosistem mangrove jauh lebih besar daripada nilai kayu atau lainnya. Bahkan, nilai fungsi ekosistem mangrove, termasuk jasa lingkungan, mencapai 95 persen.
”Namun, tanpa ada yang 5 persen (kayu), nilai yang 95 persen itu tak akan ada. Paling tidak, berperan menyangga kehidupan yaitu air, tanah, dan udara. Selain itu, berfungsi penyerap karbon yang tinggi, wisata, dan tempat hidup ikan dan berbagai burung. Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sama-sama kita dapatkan,” tutur Hilman Nugroho.
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginisiasi Peta Mangrove Nasional yang dimulai di Jawa dan Sumatera. Upaya rehabilitasi mangrove 2010-2013 dilakukan terhadap 31.675 hektar di 423 kabupaten/kota dengan dana Rp 690 miliar.
Sementara itu, Tri Rismaharini mengatakan, pelestarian ekosistem mangrove membutuhkan keberpihakan pada rencana tata ruang daerah. Ia menunjukkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya yang berubah-ubah sejak tahun 1978 hingga 2008. ”Dari 3.600 hektar, yang bisa diselamatkan (belum dibebani izin) 2.600 hektar Kawasan Lindung Pamurbaya (pantai timur Surabaya),” katanya.
Kawasan lindung itu setidaknya memiliki 15 jenis mangrove alami. Sejak ditetapkan sebagai kawasan lindung, area tersebut sengaja ditutup dari kemungkinan alih fungsi sebagai peruntukan hunian atau kegiatan industri.
Azhar, pegiat mangrove dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, mengatakan, menjaga hutan mangrove dari ekspansi perkebunan kelapa sawit berisiko. ”Kami dikriminalisasikan ketika mengembalikan kebun sawit ke hutan mangrove,” katanya.
Namun, kegigihan masyarakat setempat menunjukkan hasil. Sekitar 200 hektar dari 1.200 hektar hutan lindung mangrove yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit telah direhabilitasi.
Pelibatan masyarakat memulihkan vegetasi juga dikembangkan Pertamina melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Hingga kini, 88,7 juta hektar lahan ditanami, dengan 2 juta hektar di antaranya ditanami mangrove. ”Orientasi profit, people, and planet secara global sudah diwajibkan dan bukan pada tata wacana,” kata Direktur SDM dan Umum Pertamina Dwi Wahyu Daryoto. Pertamina akan menanami kawasan pesisir Tuban, Bali, dengan mangrove.
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy mengatakan, tema mangrove dipilih karena peran pentingnya bagi Indonesia, salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Peran vital ”sabuk hijau” mangrove melindungi kawasan pesisir dari hantaman gelombang terbukti di banyak daerah. (ICH/AYS/ETA)
—————————
ASEAN Soroti Model Pengelolaan
Peran penting dan pengelolaan hutan mangrove menjadi perhatian negara-negara di kawasan ASEAN. Para utusan berencana berkumpul di Indonesia tahun 2016 pada pertemuan membahas penerapan model pengelolaan ekosistem mangrove.
Dengan berbagi pengalaman, peserta dapat memperbaiki efektivitas pengelolaan dalam mempertahankan keberadaan mangrove. ”Pertemuan pertama di Surabaya, tahun 2013, bernama Regional Symposium on Mangrove Ecosystem Management in South East Asia-Mainstreaming Mangroves,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia MS Sembiring, yang dihubungi di Jakarta, Kamis (12/2).
Pertemuan pertama itu membahas identifikasi model pembangunan konservasi mangrove melibatkan peran pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Tahun 2016, atau pertemuan kedua, negara-negara peserta akan mengevaluasi capaian dari implementasi model hasil pertemuan 2013, termasuk keberhasilan dan kegagalan, tantangan, serta upaya memperbaiki capaian.
Sembiring mengatakan, pertemuan diadakan karena pelestarian mangrove merupakan isu penting dunia. Indonesia, misalnya, memiliki hutan mangrove terluas di dunia, yakni 23 persen dari total luas seluruh hutan mangrove. Di Asia, 49 persen luas hutan mangrove ada di Indonesia.
Studi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan pada 1999, luas mangrove di Indonesia 9,2 juta hektar, terdiri dari 3,7 juta ha di kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan hutan. Namun, 43 persen (1,6 juta ha) mangrove di kawasan hutan dan 67 persen (3,7 ha) di luar hutan rusak antara lain akibat eksploitasi, alih fungsi, dan pencemaran.
Situs web aseanbiodiversity.org menyebut, Asia Tenggara rumah bagi 35 persen mangrove dunia, dengan 36-47 dari 70 spesies mangrove di dunia. Namun, laju perusakan ekosistem mangrove di kawasan itu juga tergolong tertinggi, yakni kehilangan 628 kilometer persegi per tahun dalam beberapa dekade.
Sembiring menambahkan, ekosistem mangrove di Indonesia memengaruhi negara-negara tetangga jika tidak dijaga. Salah satunya terkait perubahan iklim. Oleh karena itu, pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha harus secara bersama-sama berkontribusi. Pemerintah, misalnya, bisa lewat penerapan peraturan terkait pengelolaan ekosistem bakau, sedangkan pelaku usaha berperan lewat mekanisme tanggung jawab sosial perusahaan.
Pakar mangrove IPB, Cecep Kusmana, mengatakan, manfaat mangrove sangat nyata dan menopang kehidupan masyarakat pesisir. Hutan mangrove tempat hidup berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting. ”Tak perlu sebar benih. Cukup tanam mangrove, dengan alami mengundang ikan hidup,” katanya.
Penanaman mangrove butuh sejumlah syarat agar tumbuh, di antaranya sedimen/lumpur, daerah pasang surut, serta air berkadar asin. (ICH/JOG)
Sumber: Kompas, 13 Februari 2015
Posted from WordPress for Android