Arkeologi merupakan ilmu kepurbakalaan. Namun dalam realitas ada pembedaan arkeologi dengan purbakala, instansi yang menangani pun berbeda. Ini membingungkan masyarakat yang akan mendaftarkan temuan benda arkeologi.
Pada 14 Juni ini lembaga purbakala berusia 108 tahun. Hari Purbakala berawal dari pendirian Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie atau Jawatan Purbakala pada 14 Juni 1913. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Purbakala. Disebut Hari Purbakala (bukan Hari Arkeologi) karena ‘purbakala’ merupakan nama awal. Nama ‘arkeologi’ baru dipakai pada masa kemudian.
Orang pertama yang menjabat Kepala Jawatan Purbakala adalah NJ Krom. Pada masa itu pekerjaan-pekerjaan kepurbakalaan kebanyakan berhubungan dengan candi di Pulau Jawa. Selanjutnya penelitian prasejarah, arkeologi Hindu-Buddha, dan arkeologi Islam berlangsung di sejumlah daerah. Sebaliknya penelitian arkeologi kolonial kurang mendapat tempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun berusia 108 tahun, sampai kini arkeologi atau ilmu purbakala tetap saja mengalami berbagai hambatan. Apalagi arkeologi bersinggungan dengan masyarakat. Sekadar gambaran, kita belum tahu apakah di lahan warga terdapat tinggalan masa lampau atau tidak.
Uniknya, selama bertahun-tahun banyak penemuan arkeologi justru berkat jasa warga. Misalnya ketika sedang menggarap sawah, mata cangkul seorang petani membentur sepotong benda keras yang ternyata batu candi. Atau ketika sedang menggali tanah untuk sumur, para pekerja menemukan struktur batu bata yang kemudian diidentifikasi berasal dari masa ratusan tahun lalu.
Penemuan yang tidak disengaja seperti itu kemudian dilaporkan kepada instansi terkait. Dari laporan itu, pihak arkeologi melakukan ekskavasi. Candi Sambisari, pernah tertutup oleh debu letusan gunung berapi. Pihak arkeologi melakukan ekskavasi selama bertahun-tahun sekaligus membuat fasilitas pertamanan agar candi menjadi menarik.
Pada dasarnya warisan budaya masa lampau memang milik masyarakat. Namun tentu saja bukan berarti masyarakat boleh merusak atau mengambil warisan-warisan tersebut. Sejak 2010 sudah ada aturan untuk melindungi warisan masa lampau berupa Undang-Undang Cagar Budaya. Undang-Undang Cagar Budaya 2010 merupakan perluasan dari Undang-Undang Benda Cagar Budaya 1992.
Darat dan air
Arkeologi tidak hanya berhubungan dengan benda-benda yang berada di dalam tanah atau di daratan. Mengingat Nusantara pernah menjalin perdagangan internasional dengan banyak negara, maka arkeologi pun mencakup perairan. Arkeologi bawah air, arkeologi maritim, dan beberapa nama lain mendapat perhatian pada 1980-an saat ramai pemberitaan tentang penjarahan harta karun di perairan Nusantara.
Lokasi Nusantara yang sangat strategis di antara dua benua dan dua samudera, menjadikan perairan kita sering dilewati dan disinggahi kapal-kapal mancanegara. Kapal kargo—karena membawa barang dagangan—begitulah yang dikenal masyarakat masa kini. Sejak berabad-abad lalu, banyak kapal kargo tenggelam di perairan Nusantara karena berbagai sebab seperti peperangan, menabrak karang, kena badai, dan masalah teknis. Kapal-kapal itu membawa barang-barang berharga seperti keramik, perhiasan, emas, benda logam, dan komoditi dagang lain.
Sejak puluhan tahun lalu banyak pemburu harta karun, dari nelayan tradisional hingga penjarah internasional, mengeruk isi kapal karam dari perairan Nusantara. Bahkan hasil lelang di mancanegara menghasilkan jutaan dollar.
Masalah di daratan dan perairan memang sungguh pelik. Sejak lama perbuatan ilegal itu selalu terjadi berulang. Ini karena pihak berwenang sulit mengawasi, mengingat lahan di daratan dan perairan amat sangat luas. Di pihak lain kita belum memiliki sumber daya manusia yang memadai.
Namun upaya pelestarian mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat yang tergabung dalam komunitas. Banyak komunitas peduli cagar budaya, komunitas sejarah, dan berbagai nama lain turut melindungi, mendokumentasikan, sampai menginventarisasi cagar budaya yang ada di wilayah masing-masing. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat lain yang melakukan penggalian atau penyelaman secara ilegal demi faktor ekonomi.
Dua instansi
Ketika masih bernama Jawatan Purbakala (dinas purbakala), pekerjaan kepurbakalaan ditangani oleh satu instansi. Begitu pun ketika pada 1964 nama dinas purbakala diganti menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Kelak pada 1975 LPPN dipecah menjadi dua instansi, yakni Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N) yang bertugas di bidang penelitian arkeologi serta Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang bertugas di bidang pembinaan dan pengembangan sejarah dan arkeologi.
Dalam perjalanannya P4N dan DSP beberapa kali berganti nomenklatur. Nama arkeologi mulai dipakai pada 1980 ketika P4N berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Arkeologi berasal dari kata archaeos yang berarti purbakala dan logos yang berarti ilmu. Jadi arkeologi bersifat keilmuan. Hanya dua instansi yang memakai nama arkeologi, yakni Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan sejumlah unit pelaksana teknisnya di luar Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) yang menyelenggarakan pendidikan Arkeologi.
Boleh dibilang sejak itu dikenal istilah purbakala dan arkeologi, sebagaimana tersirat dari dua instansi yang menangani arkeologi. Pertama, Direktorat Purbakala (instansi ini beberapa kali berganti nomenklatur) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (instansi ini juga beberapa kali berganti nomenklatur).
Meskipun sama-sama berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, namun berbeda atasan langsung. Direktorat Purbakala di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, sementara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di bawah Sekretaris Jenderal Kebudayaan, tepatnya di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan.
Adanya perbedaan antara arkeologi dengan purbakala (lalu cagar budaya) justru membuat kebingungan masyarakat. Beberapa tahun lalu sebelum ada sistem daring, pernah ada masyarakat ingin mendaftarkan benda arkeologi ke Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta. Namun keinginannya ditolak oleh petugas dan diarahkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang. Untuk itu perlu dipikirkan adanya satu instansi arkeologi agar semua kegiatan, baik penelitian maupun pelestarian, berpusat di satu tempat.
Dalam beberapa tulisan, penulis pernah mengusulkan adanya lembaga tunggal Arkeologi Nasional, macam Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional, yang sudah terpusat. Semoga Arkeologi Nasional, tak ubahnya Dinas Purbakala zaman kolonial, akan membawa perubahan baik kepada arkeologi.
Murni dan terapan
Pada dasarnya disiplin arkeologi terbagi atas dua, yakni arkeologi murni dan arkeologi terapan. Arkeologi mencakup pengetahuan dasar seperti ikonografi (pengetahuan tentang arca kuno), keramologi (pengetahuan tentang keramik kuno), dan epigrafi (pengetahuan tentang tulisan kuno). Sementara arkeologi terapan dipahami sebagai upaya pemanfaatan sumber daya budaya bagi kepentingan masyarakat luas.
Dalam beberapa tahun terakhir penelitian atau kajian arkeologi murni terus menurun. Banyak pakar dari generasi pertama telah pensiun, bahkan meninggal. Di lain pihak, generasi pengganti belum memiliki kualitas setara dengan para pendahulu.
Hal yang justru semakin berkembang adalah penelitian atau kajian arkeologi terapan. Apalagi sejak lama muncul disiplin baru Arkeologi Publik dan Manajemen Sumber Daya Budaya. Arkeologi terapan memungkinkan arkeolog berperan untuk membentuk opini masyarakat tentang makna tinggalan benda budaya masa lalu sebagai warisan budaya bangsa.
Dengan demikian masyarakat bisa berapresiasi dan berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya. Pelestarian mencakup perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Contoh yang jelas adalah Candi Borobudur yang telah menjadi obyek wisata bertaraf internasional sehingga berdampak pada perekonomian warga.
Dalam arkeologi, masalah pelestarian dan penelitian tentu saja merupakan dua aspek yang sama penting. Upaya pelestarian, seperti memugar candi, tentu memerlukan ekskavasi atau penelitian untuk mencari data yang lebih luas. Sementara upaya penelitian memerlukan upaya pelestarian agar bermanfaat untuk pengembangan ilmu, bahkan untuk kepentingan non arkeologi seperti pendidikan, pariwisata, dan kebudayaan. Bayangkan kalau penelitian dan pelestarian berada dalam institusi yang berbeda.
Kita pun pasti memahami bahwa dulu penelitian arkeologi masih bersifat ‘tradisional’, dalam arti hanya menekankan pada studi kebudayaan masa lampau. Namun dengan kemunculan satelit dan internet, penelitian arkeologi semakin berkembang. Lewat satelit dan google earth, misalnya, berhasil ditemukan sejumlah situs arkeologi yang hanya bisa dideteksi dari udara. Saat ini sudah banyak alat untuk membantu pekerjaan arkeologi. Di luar satelit dan internet, ada pemindai tiga dimensi. Dengan adanya teknologi baru, kita harapkan arkeologi semakin berkualitas.
Dunia arkeologi memang menjadi bidang yang menarik. Banyak peneliti mancanegara antusias meneliti arkeologi di negeri kita karena mereka punya dana penelitian besar. Sebaliknya kita punya lahan penelitian luas, tetapi dana penelitian relatif kecil. Maka terjadilah kolaborasi penelitian. Sayangnya pihak mereka yang sering kali memublikasikan hasil penelitian tersebut dalam jurnal-jurnal ilmiah internasional. Inilah kekurangan kita.
Masalah publikasi sejak lama menjadi kendala bagi arkeologi Indonesia. Bukan hanya publikasi ilmiah, publikasi populer macam tulisan di media cetak dan media daring pun jarang dilakukan oleh para arkeolog. Padahal dalam arkeologi terapan, terutama dengan tumbuhnya Arkeologi Publikasi, publikasi menjadi alat penting untuk menumbuhkan apresiasi dan partisipasi masyarakat.
Mungkin karena angka kredit untuk tulisan populer amat kecil dibandingkan tulisan ilmiah. Hal ini perlu dipertimbangkan lagi. Perbesar angka kredit untuk tulisan populer dalam rangka meningkatkan minat para arkeolog untuk menulis. Siapa tahu lewat tulisan populer, berbagai perbuatan negatif seperti penggalian liar, pencurian benda antik, penyelaman liar sedikit demi sedikit akan berkurang.
Arkeologi selalu mengemuka kalau ada kasus. Ketika terjadi perobohan bangunan kuno, masyarakat berteriak. Ketika ada pencurian bagian candi, masyarakat juga berteriak. Begitu pun kalau ada penjarahan, penemuan, dan perbuatan negatif lain. Semua menjadi bahan pemberitaan media. Hal ini menunjukkan betapa arkeologi butuh perhatian lebih.
Djulianto Susantio, Pemerhati Arkeologi
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 14 Juni 2021