Perlindungan masyarakat dari penyakit yang bisa dicegah oleh imunisasi seperti difteri belum terbangun dengan mantap. Kasus difteri terus muncul meski cakupan imunisasi sudah di atas 90 persen. Tanpa penanggulangan yang baik, hal ini bisa mengancam kesehatan masyarakat luas.
Sebagaimana diberitakan Kompas, Rabu (6/12), perlindungan masyarakat dari penyakit difteri belum terbangun dengan mantap. Hal itu ditandai dengan tingginya kasus difteri meski cakupan imunisasinya di atas 90 persen. Itu terjadi antara lain karena sebagian warga meragukan pentingnya imunisasi serta mutu dan keamanan vaksin yang ada.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, cakupan imunisasi DPT (difteri-pertusis-tetanus) tahun 2007 sebesar 90,6 persen. Tahun 2012 cakupan bisa menembus angka 100,9 persen dan tahun 2015 menjadi 93,1 persen. Di periode yang sama kasus difteri yang tercatat ialah 183 kasus (tahun 2007), 1.192 kasus (tahun 2012), dan 502 kasus (tahun 2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sepanjang 2017 terdapat 95 kabupaten/kota di 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri dengan jumlah pasien mencapai lebih dari 590 orang, enam persen di antaranya meninggal dunia. Mayoritas pasien berusia di bawah 18 tahun.
Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Husein Habsyi, Selasa (5/12) di Jakarta, menyampaikan, idealnya cakupan imunisasi mencapai 100 persen. Akan tetapi, karena keterbatasan sumber daya, angka itu sulit tercapai. Risiko munculnya penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi tetap ada. Terlebih ada saja penolakan dari sejumlah masyarakat terhadap program imunisasi. ”Ada kesenjangan kekebalan (immunity gap) di beberapa daerah,” ujarnya.
Belum paham
”Masyarakat perlu sadar bahwa penyakit difteri yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae bisa menyebabkan kematian. Upaya mencegahnya yang paling efektif ialah dengan imunisasi. Semakin banyak yang diimunisasi, perlindungan komunitas dari penyakit kian baik,” Husein menegaskan.
Sejauh ini ada sejumlah alasan warga enggan mengimunisasikan anaknya. Contohnya, Ervina Yolanda (30), warga Kota Metro, Lampung, saat dihubungi dari Jakarta, mengatakan, dirinya ragu status halal vaksin yang dipakai dalam program imunisasi dasar wajib. Karena itu, kedua anaknya hanya mendapat vaksinasi HB0 (hepatitis B) dan polio.
”Saya pernah baca katanya vaksin belum ada label halalnya. Memang bisa jadi saya juga belum mendapat informasi pas tentang imunisasi. Pemerintah perlu lebih gencar lagi menyebarkan informasi yang benar soal imunisasi,” kata Ervina, pegawai pemerintah.
Sementara Risada (34), warga Tangerang Selatan, berpendapat, imunisasi tak perlu sebab Tuhan sudah menciptakan manusia dengan sempurna. Yang perlu dilakukan untuk mencegah penyakit ialah dengan menjaga pola hidup sehat. Aspek halal atau haram dari vaksin tak jadi soal karena ia mengaku tetap tidak akan mengimunisasikan kedua anaknya meski vaksin yang dipakai sudah bersertifikat halal. ”Kalau sakit, ya, tetap berobat, mau bagaimana lagi,” ujarnya.
Jawa Timur
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, tahun 2012 kasus difteri banyak muncul di Jawa Timur. Tindakan penanggulangan dengan outbreak respons immunization (ORI) telah dilakukan. ”Setelah itu harusnya putus, selesai, tapi ternyata tidak berhenti dan meluas ke tempat lain,” ujarnya.
Sepanjang tahun 2017 ada saja kasus difteri yang muncul di daerah. Beberapa provinsi yang beberapa bulan terakhir melaporkan adanya kasus difteri ialah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, dan Jambi.
Jane menengarai, selain adanya penolakan imunisasi, faktor mobilitas penduduk dan status sosial ekonomi juga berpengaruh pada banyak bermunculannya kasus difteri. Saat ini, Kemenkes sedang mengidentifikasi di mana saja kesenjangan kekebalan di komunitas terjadi.
Ketika terjadi satu saja kasus difteri sudah termasuk dalma kategori kejadian luar biasa (KLB). Yang berwenang menetapkan status ini adalah pemerintah daerah. Dengan status KLB, dana penanggulangan bisa turun. Penanggulangan KLB dengan ORI juga menjadi kewenangan pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.
Dokter spesialis anak yang juga penulis buku Pro Kontra Imunisasi, Arifianto, berpendapat, selain banyak yang menolak imunisasi, kelompok masyarakat yang sadar pentingnya imunisasi dan mendukung imunisasi juga banyak. Pemerintah perlu melibatkan mereka yang mendukung ini dalam kampanye imunisasi ke masyarakat.–ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 6 Desember 2017