Bidang penelitian dalam negeri masih sepi peminat, terutama dari tamatan perguruan tinggi. Jumlah peneliti yang memadai merupakan salah satu indikator riset berkembang di suatu negara.
“Jumlah peneliti murni kurang dari 10.000 orang di Indonesia,” ucap Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain saat berpidato dalam LIPI Science-Based Industrial Innovation Award 2015 dan peluncuran buku Persepsi Masyarakat Indonesia terhadap Iptek, Rabu (2/9), di Jakarta.
Perhitungan itu tidak memasukkan dosen-dosen di perguruan tinggi karena porsi penelitian dosen hanya sepertiga dari seluruh pekerjaan. Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, proporsi peneliti di Indonesia hanya 40 orang per sejuta penduduk. Dengan jumlah itu, Indonesia masih kalah di tingkat Asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Iskandar mengatakan, jumlah peneliti di Malaysia 1.600 orang per sejuta penduduk. Di India, 160 peneliti per sejuta penduduk, tetapi dengan total populasi 1,28 miliar penduduk, peneliti sebanyak 204.800 se-India atau sekitar 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan di Indonesia.
Salah satu penyebab minimnya jumlah peneliti di Indonesia, kata Iskandar, karena minat mahasiswa minim. Itu karena dunia penelitian belum dikenalkan luas pada mahasiswa S-1. Akibatnya, saat sudah sarjana, mereka tak melirik profesi peneliti.
“Saya dapat kesan penelitian S-1 tak usah jauh-jauh karena cuma S-1. Ini seperti menghambat kreativitas, modal peneliti,” ujarnya.
Di sisi lain, fasilitas riset dalam negeri amat terbatas. Para peneliti yang mengecap pendidikan tinggi di luar negeri kebingungan saat kembali ke Tanah Air. Mereka bingung melanjutkan riset dengan kompetensi yang dimiliki, tanpa didukung sarana dan prasarana.
Iskandar berharap pemerintah mengembangkan format universitas riset untuk menambah jumlah peneliti. Tujuannya, pemerintah tak perlu merekrut sangat banyak peneliti baru yang diperkirakan butuh 30-40 tahun lagi untuk memenuhi jumlah memadai. Dengan format universitas riset, dosen diberi porsi tugas penelitian lebih besar daripada pengajaran dan pengabdian masyarakat.
Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Jumain Appe mengatakan, untuk bisa mendorong peningkatan riset di perguruan tinggi perlu perbaikan bobot penilaian kinerja dosen, dengan memperbesar bobot nilai bagi riset. Saat ini, penelitian hanya diberi dua angka kredit dari total 16 angka kredit jabatan fungsional dosen per semester. Akibatnya, penelitian cenderung kurang menarik.
Selain itu, menurut Jumain, waktu penelitian lembaga riset pemerintah tak efisien. Sebab, para peneliti harus mengikuti sistem keuangan pemerintah yang rumit dan proses pengajuan anggaran, serta pencairan dana sangat menyita waktu. Pengembangan riset bisa dipercepat jika pendanaan riset menggunakan mekanisme dana bantuan (block grant), yakni dana langsung diserahkan kepada lembaga riset untuk jangka waktu tertentu, dengan otonomi untuk mengatur peruntukan penggunaan dana.
Ketua Dewan Juri LIPI SBII Award 2015 Harijono A Tjokronegoro menuturkan, mekanisme dana bantuan untuk riset merupakan usulan lama yang hingga kini belum diberlakukan. Meski demikian, untuk mengatasi masalah pendanaan, lembaga-lembaga riset bisa menyiasati dengan kerja sama karena sebenarnya sumber dana sangat banyak.
Salah satu sumber dana adalah perusahaan-perusahaan yang bisa diajak berkolaborasi untuk inovasi peningkatan nilai tambah produk perusahaan. (JOG)
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Penelitian Dalam Negeri Kurang Diminati”.