Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kelas II Tangerang Selatan mengeluarkan peringatan dini kekeringan meteorologis di Jakarta dan sekitarnya.
BMKG mengumumkan, Agustus ini, Banten dan DKI Jakarta memasuki musim kemarau. BMKG mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat mewaspadai bencana kekeringan.
Kepala Stasiun Klimatologi Tangerang Selatan Sukasno melalui keterangan tertulis mengatakan, data hari tanpa hujan hingga 20 Agustus 2019 menunjukkan sebagian besar Banten dan DKI Jakarta mengalami deret hari kering lebih dari 20 hari hingga lebih dari 60 hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun perkiraan peluang curah hujan pada akhir Agustus dan awal September 2019 sangat rendah. Beberapa daerah diperkirakan mengalami curah hujan kurang dari 20 milimeter/dasarian dengan peluang lebih dari 90 persen.
“Kondisi ini memenuhi syarat dikeluarkannya peringatan dini kekeringan meteorologis,”ujar Sukasno.
Curah hujan yang sangat rendah itu pun diperkirakan berdampak pada sektor pertanian yang mengandalkan sistem tadah hujan. Persediaan air tanah juga perlu diwaspadai. Musim kemarau ini pun akan berdampak pada meningkatnya polusi udara.
Di Jakarta, sejumlah wilayah dinyatakan berstatus merah alias awas karena mengalami hari tanpa hujan 61 hari-90 hari. Wilayah itu antara lain Menteng, Gambir, Kemayoran, Tanah Abang, Tebet, Setiabudi, Pasar Minggu, Halim, Pulogadung, Cipayung, Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading, dan Penjaringan.
Air tanah
Andreas (35), warga Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, khawatir sebab wilayahnya masih bergantung pada pasokan air tanah. Air perpipaan (PAM) belum mencakup wilayah tersebut. “Sekarang air tanah sudah bau lumpur. Kalau sampai kekeringan, ada kemungkinan susah air bersih,” katanya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun bersiap mengantisipasi kekeringan. Beberapa dampak yang diwaspadai adalah kekurangan air bersih dan meningkatnya ancaman kebakaran. Secara umum, pasokan air Jakarta masih memadai, tetapi beberapa lokasi yang tak memiliki layanan jaringan pipa air bersih mulai meminta pasokan air bersih.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Subejo mengatakan, pihaknya berkoordinasi dengan aparat setempat untuk melakukan pengawasan terkait kekeringan. Koordinasi dilakukan dengan Dinas Kehutanan, Dinas Sumber Daya Air, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan, serta PAM Jaya untuk mengantisipasi kekeringan.
“Kekeringan di daerah perkotaan berbeda dengan perdesaan yang mempunyai lahan pertanian. Untuk perkotaan, kemungkinan terbesar terjadi kesulitan air bersih karena sumur-sumur kering. Kami siap kalau harus menyuplai air bersih dengan tangki,” kata Subejo, Rabu (21/8/2019).
Menurut Subejo, air bersih akan mengandalkan pasokan dari PAM Jaya karena DKI tak mempunyai sumber air lain. Sejauh ini belum ada laporan permintaan air dari warga ke pemerintah.
Adapun untuk kebakaran, upaya pemadaman ditingkatkan selama musim kemarau dengan menambah armada. Hal ini dilakukan karena tingginya potensi kebakaran setiap puncak kemarau yang disertai kekeringan.
Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo, mengatakan, pasokan air baku untuk DKI Jakarta masih aman. Meski demikian, produksi air di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Cilandak diturunkan dari biasanya 400 liter per detik jadi 250 liter per detik. Pengurangan produksi dilakukan karena memburuknya kualitas air baku dari Kali Krukut akibat kemarau.
“Volume air berkurang, sementara konsentrasi kotoran tetap sehingga kualitas air menjadi lebih buruk,” katanya.
Pengurangan produksi air di IPA Cilandak dikompensasi dengan pasokan dari air curah yang berasal dari Kali Cisadane di Tangerang. Menurut Bambang, pasokan dari Cisadane sesuai kebutuhan, bahkan berlebih.
Adapun sumber utama air baku DKI Jakarta, yaitu sebesar 81 persen, adalah Waduk Jatiluhur. Dari simulasi sebulan lalu, Jatiluhur diprediksi tetap aman hingga kemarau berakhir.
Pada 19 Agustus lalu, level permukaan air Jatiluhur terpantau 98 meter. Adapun level kritisnya berada di 87,5 meter.
“Prioritas kami, melihat kondisi Waduk Jatiluhur sebagai sumber utama. Dalam pekan ini, kami akan berkoordinasi lagi untuk melihat sumber air baku,” kata Priyatno.
Pihaknya menyediakan cadangan pasokan air bersih saat ada permintaan. Kapasitas cadangan ini bisa memenuhi seluruh kebutuhan air Jakarta selama 3-4 jam. Pihaknya memasok air bersih di lokasi-lokasi kekeringan yang tak terlayani jaringan pipa air bersih, seperti di Muara Karang.
Operator air pipa Jakarta sekarang masih bisa memenuhi kebutuhan air bersih Ibu Kota sebesar 150 liter per orang per hari. Adapun kebutuhan minimal 30-50 liter per orang per hari.
Di Tangerang Selatan, kekeringan terjadi di Kecamatan Pondok Aren dan Serpong. Hari tanpa hujan di kedua kecamatan tersebut mencapai 31 hari. “Statusnya siaga,” kata Sukasno.
Kepala Seksi Kesiapsiagaan BPBD Kota Tangerang Selatan Urip Supriatna mengatakan, lokasi terdampak kemarau khususnya berada di Perumahan Pesona Serpong dan Kampung Koceak di Kecamatan Setu. “Kami menyuplai air bersih tiga mobil tangki per hari dengan kapasitas 4.000 liter per unit tangki,” kata Urip.
Sukarti (35), warga Perumahan Pesona Serpong, mengatakan, sejak tiga pekan lalu dampak kemarau makin parah. Warga membeli air di tukang air keliling seharga Rp 3.000 per jeriken. Adapun satu pikul terdiri atas dua jeriken. “Saya harus membeli enam pikul air bersih dari tukang air keliling untuk mandi dan mencuci pakaian. Untuk masak, kami menggunakan air galon,” kata Sukarti, Rabu. (PIN/IRE/DEA)
Sumber: Kompas, 22 Agustus 2019