Penelitian menunjukkan, perilaku kucing bermasalah ketika dipisahkan dengan pemiliknya.
Memelihara hewan, termasuk kucing, adalah komitmen seumur hidup. Artinya, pemilik harus bertanggung jawab memelihara kucingnya sejak lahir hingga kematiannya. Penelitian menunjukkan, perilaku kucing bermasalah ketika dipisahkan dengan pemiliknya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Kucing terlelap di antara warga yang berolahraga pagi hari di jalan inspeksi Kanal Timur di Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (9/4/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian itu berjudul ”Identifikasi Masalah Terkait Pemisahan pada Kucing Domestik: Survei Kuesioner”. Penelitian itu dimuat dalam jurnal PLOS ONE edisi 15 April 2020 yang juga dipublikasikan Science Daily. Penelitian dilakukan tim ilmuwan Universidade Federal de Juiz de Fora, Brasil, seperti Daiana de Souza Machado dan Maria Camila Ceballos dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat.
Penelitian ini dilatarbelakangi banyaknya pengabaian kucing di dunia oleh pemiliknya, tak terkecuali di Indonesia. Kucing yang dibuang pemiliknya menjadi pemandangan sehari-hari di sekitar penduduk Indonesia. Pengabaian seperti itu ternyata menimbulkan masalah psikologi yang disebut masalah terkait pemisahan atau separation-related problems (SRP).
”SRP pada kucing domestik adalah gangguan perilaku yang sulit diidentifikasi karena jumlah penelitian yang dilakukan sangat terbatas,” tulis Daiana de Souza Machado dan rekan-rekannya.
Penelitian dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Populasi yang diwawancarai adalah pemilik kucing dewasa (di atas enam bulan) yang tinggal di kota Juiz de Fora, Negara Bagian Minas Gerais, Brasil. Total 223 kuesioner diisi oleh 130 pemilik yang kucingnya tinggal di rumah, apartemen, atau perusahaan komersial.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Kucing rebahan dengan santai di peron Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Senin (6/4/2020) sekitar pukul 09.07.
Hasil penelitian menunjukkan, perilaku destruktif adalah perilaku yang paling sering dilaporkan (66,67 persen) diikuti vokalisasi berlebihan (63,33 persen), buang air kecil di tempat yang tidak pantas (60,00 persen), depresi-apatis (53,33 persen), agresif (36,67 persen), dan gelisah-agitatif (36,67 persen). Dalam frekuensi yang lebih rendah, buang air besar di tempat-tempat yang tidak pantas 23,33 persen.
”(Penelitian) ini dapat memberikan instrumen yang praktis dan efisien untuk membantu ahli etika hewan dan dokter hewan membuat diagnosis awal SRP dengan lebih percaya diri,” tulis Daiana de Souza Machado dan rekan-rekannya.
Penelitian terdahulu tentang gangguan pada kucing ini dilakukan Stefanie Schwartz dari Universitas Tufts, AS, yang dimuat dalam jurnal JAVMA edisi 1 Juni 2003. Penelitiannya berjudul ”Sindrom Kecemasan karena Pemisahan pada Anjing dan Kucing”.
Menurut Stefanie Schwartz, sindrom kecemasan karena pemisahan atau separation anxiety syndrome (SAS) adalah reaksi terhadap pemisahan diri. Jadi, anjing dan kucing menunjukkan perilaku yang mencerminkan dampak emosional dari kematian teman dekat.
KOMPAS/SUCIPTO–Seekor kucing melintasi sampah plastik yang tersangkut di tanaman di sekitar Pantai Ambalat, Kelurahan Amborawang Laut, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Sabtu (24/8/2019).
”Tanda-tanda kelesuan atau agitasi, penarikan sosial atau ketergantungan berlebihan yang tidak biasa, tidak mau makan, dan perubahan lainnya bisa terjadi. Selain itu, stres dapat memicu penyakit laten atau subklinis (gejala tidak terlihat),” tulis Schwartz.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 16 April 2020