Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017
Perilaku remaja saat ini memengaruhi produktivitas dan kondisi kesehatan bangsa di masa depan. Mereka adalah penentu tercapai atau tidaknya bonus demografi.
Berbagai indikator kependudukan dan kesehatan dalam Survei Demografi dan Kesehatan 2017 banyak menunjukkan perbaikan dibandingkan lima tahun sebelumnya. Namun, perilaku kesehatan remaja perlu dapat perhatian serius karena akan memengaruhi kondisi kesehatan bangsa ke depan.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sigit Priohutomo dalam peluncuran laporan akhir SDKI 2017 di Jakarta, Selasa (9/10/2018) menyebut hasil paling menggembirakan dari survei lima tahunan itu adalah turunnya angka fertilitas (TFR) yang stagnan selama lebih dari 10 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam SDKI 2002-2003, 2007, dan 2012, TFR yang menunjukkan jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur 15-49 tahun mencapai 2,6 anak. Dalam SDKI 2017, TFR turun jadi 2,4 anak. Penurunan TFR terbesar terjadi di perdesaan yang hampir dua kali lipat dibanding di kota. Makin rendah tingkat pendidikan dan ekonomi, kian banyak jumlah anak yang dimiliki.
Salah satu penopang penurunan TFR itu adalah turunnya jumlah remaja putri umur 15-19 tahun (ASFR) yang melahirkan dari 48 orang per 1.000 remaja putri pada 2012 jadi 36 orang per 1.000 remaja putri pada 2017.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA–Remaja Indonesia adalah aset masa depan pembangunan bangsa. Namun banyak diantara mereka terjebak perilaku berisiko yang mengancam kesehatan mereka.
Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia Sudibyo Alimoeso mengatakan turunnya kehamilan remaja itu dipicu banyak hal, pendewasaan usia pernikahan, penundaan anak pertama setelah menikah, penggunaan kontrasepsi baik yang sudah menikah atau belum, hingga makin besarnya kesempatan perempuan bersekolah dan bekerja.
Merokok
Meski jumlah remaja melahirkan (ASFR) 15-19 tahun adalah kabar menggembirakan, namun perilaku kesehatan remaja, baik kesehatan umum dan seksual, perlu mendapat perhatian serius. Jika tidak, negara akan memanen masalah dari perilaku kesehatan remaja yang berisiko.
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan Tin Afifah memaparkan setidaknya ada tiga perilaku kesehatan remaja yang perlu jadi perhatian, yaitu konsumsi rokok, alkohol dan obat terlarang, pemahaman tentang HIV-AIDS, serta perilaku pacaran dan pengalaman seksual.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI–Rokok- Sejumlah merek rokok dipajang di meja dekat kasir di sebuah toko waralaba di Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa (4/9/2018). Paparan iklan dan lingkungan yang masif membuat lebih separuh remaja 15-24 tahun merokok. Perilaku kesehatan yang buruk di masa remaja itu akan meningkat risiko sejumlah penyakit degeneratif saat mereka mulai menua.
Sebanyak 1 dari 2 remaja laki-laki umur 15-24 tahun merokok. Lebih dari separuh remaja lelaki dan perempuan perokok, merokok pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun. “Mereka terpapar rokok dari lingkungannya, perilaku orang dewasa maupun iklan dan informasi yang masif,” katanya.
Sementara itu 1 dari 3 remaja laki-laki mengonsumsi alkohol. Sebagian besar remaja mengenal alkohol setelah umur 18 tahun, namun banyak yang mengenal alkohol sejak berumur kurang dari 14 tahun. Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko sejumlah penyakit, termasuk penyakit degeneratif berbiaya mahal.
Adapun 1 dari 20 remaja laki-laki dan 1 dari 100 remaja perempuan pernah mengonsumsi obat terlarang dengan berbagai, termasuk menggunakan jarum suntik. Penggunaan jarum suntik bersama itu akan meningkatkan risiko tertular HIV-AIDS.
Perilaku seksual remaja juga perlu jadi perhatian. Sebanyak 1,5 persen remaja perempuan dan 7,8 persen remaja lelaki melakukan seks pranikah. Makin rendah pendidikan dan tingkat ekonominya, kian berpotensi melakukan seks pranikah. Praktik itu berkorelasi dengan penularan penyakit infeksi menular seksual (IMS), kehamilan remaja hingga berbagai masalah sosial lain.
Menurut Tin, sebagian besar hubungan seks pranikah itu dilakukan karena saling mencintai. Namun, uniknya 34 persen remaja laki-laki melakukan seks pranikah karena penasaran dan 16 persen remaja perempuan karena dipaksa.
Kondisi itu tentu memprihatinkan mengingat lebih 60 persen remaja laki-laki dan perempun tidak mengetahui gejala penyakit infeksi menular seksual (IMS). Pengetahuan komprehensif remaja tentang HIV-AIDS masih sangat rendah meski terus meningkat.
Lebih 80 persen remaja laki-laki dan perempuan umur 15-24 tahun mengaku pernah pacaran. Mereka rata-rata pertama kali pacaran di usia 15-17 tahun. Meski pacaran bisa jadi sarana mengenal pasangan, banyak remaja justru terjebak perilaku berpacaran yang berisiko.
Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN M Rizal Martua Damanik mengatakan situasi itu membuat tantangan pembangunan kesehatan remaja akan makin besar. “Pemahaman dan praktik hidup sehat dan berakhlak bagi remaja penting untuk mencapai bonus demografi,” katanya.
Jumlah anak
Penurunan tingkat fertilitas jadi 2,4 pada 2017 itu tentu menggembirakan mengingat sejak lama pemerintah berusaha menurunkannya dengan memasang target tinggi yaitu 2,1 pada 2014 (Kompas, 2 Februari 2013). Melemahnya program KB sejak era Reformasi membuat target itu meleset. Pemerintah dalam Proyeksi Penduduk 2015-2045 menargetkan TFR 2,1 pada 2020.
“BKKBN dalam Rencana Strategis BKKBN 2015-2019 menargetkan TFR jadi 2,28 pada 2019,” kata Sigit.
Selain itu, turunnya TFR itu terjadi di tengah cenderung naiknya jumlah anak yang diinginkan laki-laki dari 2,8 anak jadi 2,9 anak selama lima tahun terakhir. Sementara jumlah anak yang diinginkan perempuan stagnan di 2,7 anak.
Turunnya TFR juga ditopang membaiknya pemakaian kontrasepsi semua cara dari 61,9 persen jadi 63,6 persen pada rentang waktu sama. Kenaikan itu ditopang naiknya penggunaan metode KB tradisional, seperti senggama terputus atau pantang berkala. Pemakaian alat kontrasepsi metode modern, seperti suntik, pil, spiral atau IUD (intraurine device), dan implan justru turun dari 58 persen jadi 57 persen.
Sementara jumlah orang yang ingin ber-KB namun tidak terlayani (unmet need) turun dari 11,4 persen pada 2012 jadi 10,6 persen pada 2017.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 10 Oktober 2018