Jika tidak karena minatnya yang menggebu-gebu pada misteri peristiwa kimia fisika alam, Goeswono Soepardi muda pasti tidak nekat memutuskan memasuki Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor tahun 1954. Lebih-lebih ia memilih bidang ilmu pengetahuan alam yang mencakup kimia pertanian.
Jurusan itu hanya diminati mahasiswa gendeng, katanya. Jurusan itu terkenal dihuni para doktor dan profesor Belanda yang angker, yang lebih banyak memutuskan ”tidak lulus” kepada mahasiswa. Mereka harus dibuat puas dengan belajar dan bekerja keras, sebelum rela melepaskan kata lulus pada mahasiswa.
Di tengah-tengah tempaan dan keasyikan keilmuan itulah Prof Dr Goeswono Soepardi muncul sebagai ilmuwan ilmu tanah yang paling disegani hingga kini. Sembilan bulan setelah menamatkan sarjananya, ia mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S-2 dan S-3 di North Carolina State University, Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di kalangan ahli ilmu tanah Goeswono dikenal sebagai ilmuwan yang tak henti-hentinya gelisah menemukan hubungan antara kerumitan ilmu tanah murni dengan kepentingan riil ekonomi dan kebutuhan perut rumah tangga petani. Ia sangat terkesan dengan keterampilan ilmuwan tanah Brasil, menemukan teknologi pengapuran yang secara ajaib mengubah negara itu menjadi penghasil kedelai nomor dua di dunia pada tahun 1970-an.
Sampai hari ini ia masih memimpikan mengubah wajah pertanian lahan kering bereaksi masam yang merupakan potensi lahan tidak produktif paling luas di Jawa dan luar Jawa, dibanding misalnya mengubah tanah gambut menjadi lahan persawahan. Ia masih percaya, seandainya Gerakan Pengapuran Tanah Masam tahun 1983 yang berwawasan ke depan tidak dihentikan, Indonesia saat ini tak perlu menjadi importir kedelai 1,3 juta ton setiap tahun.
Goeswono pula yang menggerakkan para peneliti di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) untuk menciptakan varietas tebu yang memberikan mutu tetes terbaik, agar bisa diumpankan kepada pabrik gula berefisiensi rendah di Jawa, namun hanya memerlukan umur produksi enam sampai tujuh bulan.
Profesor turunan Jawa tapi besar di Bogor suami dari Rochati dan ayah dari Dra Gina R Supardi, Ir Rudi G Supardi, dan Tri D Supardi bukan hanya seorang ilmuwan, tetapi juga olahragawan. Paling tidak ketika tugas belajar di AS, Goeswono muda menjadi atlet bola voli universitas dalam kompetisi tingkat universitas. Setelah pensiun dari Institut Pertanian Bogor, Goeswono memilih berbisnis mangga di Gresik, Jawa Timur, serta memproduksi pupuk di Cibinong.
Ditemui di rumahnya di Surabaya dua pekan lalu, Goeswono Soepardi berbicara bukan cuma ilmu tanah, tetapi lebih dari itu, kaitan keilmuannya dengan kondisi konkret masyarakat, terutama masyarakat petani.
Kenapa beberapa minggu terakhir banyak masyarakat pedesaan begitu mudah marah, padahal selama ini desa memiliki kekuatan untuk mengamankan diri mereka sendiri?
Pemikiran kita selama ini, orang desa itu lugu, tidak memiliki pretensi dan sebagainya. Namun dengan kondisi mereka separti itu, lalu kita beranggapan desa aman dari pengaruh krisis. Di desa tak ada lagi dampak dollar AS-nya, sehingga berbagai persoalan yang muncul sepertinya dikesankan tidak ada hubungan dengan krisis. Padahal anggapan itu tidak benar, karena tidak ada satu unsur pun dari desa yang tidak terpengaruh dollar AS.
Mulai dari pupuk, ternyata seluruhnya berkomponen dollar AS. Pupuk kalium, langsung diimport. Pupuk fosfat bahan bakunya impor dan diolah di Indonesia, namun hasilnya tidak lebih murah dibandingkan impor. Hanya pupuk urea yang paling murah dibandingkan impor. Hanya pupuk urea yang paling sedikit komponen dollar-nya, yakni mungkin dari loannya. Demikian juga pestisida, terkait dengan dollar. Bila dihitung berdasarkan persentase, seluruh kegiatan petani terpengaruh dollar AS, sekitar 40 persen. Bila ditarik lebih panjang sampai ke Sektor perniagaannya dampak dollar terhadap sektor pertanian semakin besar. Mulai dari transportasi, darat maupun laut, sampai ke jalannya. Bahkan usaha tani juga terkait dollar. Kredit Usaha Tani dananya diperoleh bank pelaksana dari pinjaman lunak Bank Dunia.
Dalam kondisi serba tergantung itu, petani dihadapkan pada kenyataan tidak bisa memperoleh penghasilan yang baik. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang mematok harga padi, kedelai, dan jagung dengan alasan untuk mencapai power price. Namun kenyataannya, justru mengganggu petani.
Ketika harga beras di pasar naik menjadi Rp 2.000 per kg, langsung dilawan dengan harga beras Bulog yang hanya Rp 900 – 1.000 per kg-nya. Senjata yang digunakan untuk menekan petani bukan saja beras stok, tetapi dukungan impor. Akibatnya posisi petani semakin tersudut, kenaikan tak diperoleh. Sementara ongkos giling, buruh, dan pengeringan terus meningkat. Lalu pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari kebijakan itu? Tidak lain konsumen dan jalur perniagaannya. Produsennya tinggal menghitung beban kerugian.
Ketika krisis terjadi sektor pertanian ternyata tidak memiliki kekuatan, gejala apa ini?
Bila bicara hal ini, saya mesti kembali ke tahun 1980. Ketika saya sekolah di AS, saya melihat AS berupaya keras agar Brasil maju dengan program pengapuran guna menghilangkan tanah-tanah masam. Program itu dilakukan konsisten dan konsekuen, sehingga Brasil menjadi penghasil kedelai nomor dua di dunia dan menjadi penghasil daging luar biasa di dunia. Teringat keberhasilan itu saya membandingkan dengan Indonesia untuk melakukan program tersebut. Gagasan saya diterima mantan menteri pertanian waktu itu, almarhum Affandi, gerakan, pengapuran besar-besaran dilaksanakan tahun 1983. Dalam waktu satu tahun, kita sudah dapat menutup kebutuhan keddelai. Namun kebernasilan ini memancing sikap kurang suka AS. Jika Indonesia swasembada kedelai, maka bukan saja pangsa pasar raksasa hilang, tetapi juga muncul pesaing baru.
Akhirnya, program pengapuran dihapuskan tahun 1988. Ironisnya, di tengah penghapusan program itu, industri pakan yang membutuhkan kedelai juga tumbuh pesat. Supaya tidak terjadi persaingan antara binatang dan manusia, ditempuh kebijakan impor kedelai untuk kebutuhan binatang. Namun kenyataannya, yang impor digunakan untuk manusia dan yang lokal untuk industri.
Itu keberhasilan perdagangan internasional bahwa kedelai impor lebih bersih dan sebagainya, sementara yang lokal tidak bagus. Dampak yang tidak kita ketahui adalah, rakyat kecil disuruh membeli kedelai impor, mahal, sedangkan industri besar bisa memperoleh kedelai lokal yang harganya jauh lebih murah.
Peningkatan impor kedelai semakin tinggi, karena kita diajari makan protein hewani. Propaganda susu sapi sebagai produk terbaik nomor dua setelah ASI, semakin gencar, diperkuat lagi dengan advertensi begitu luas, sampai-sampai sekolah pun dijarah sebagai media promosi, dengan konsepnya empat sehat lima sempurna. Akibatnya, kita tergantung pada susu. Berarti mata rantai impor semakin panjang, pakan harus diperbaiki mutunya, volumenya harus diperbanyak, dan yang diimpor bukan hanya kedelai, tetapi juga bungkilnya untuk bisa menjadi pakan ternak. Namun, karena konsumsi terus meningkat, susu pun jadi impor. Jadi kekuatan arus perniagaan global memang luar biasa Mereka tidak peduli siapa menjadi sasarannya. Namun yang jelas rakyat kecil sengaja dibuat nyandu pada barang impor. Begitu tujuh bulan terakhir ini rupiah krisis, langsung kita memble.
Bila program pengapuran tahun 1984 diteruskan, apa yang bakal terjadi pada sektor pertanian Indonesia?
Bila program itu diteruskan distribusi atau pemerataan usaha di bidang pertanian akan meluas ke lahan-lahan yang tadinya marjinal. Itu berarti terjadi suatu pertumbuhan pertanian yang menarik. Rentetannya akan terjadi penghematan terhadap pemborosan produk pertanian impor. Selain itu, juga akan terjadi penghematan biaya lalu lintas sembilan bahan pokok ke daerah-daerah terpencil sebab wilayah-wilayah itu sudah mampu menghasilkan sendiri produknya. Akhirnya, pikiran kita untuk mengembangkan yang lain bisa semakin terarah. Sekarang pembangunan di sektor pertanian, tampak seperti tanpa arah dan tambal sulam.
MENGAPA pemerintah memilih menghentikan program pengapuran?
Ini memang bukan persoalan mudah. Ada tali temali saling berkait. Pertama, adanya kekhawatiran negara adikuasa yang memegang hegemoni produksi pangan di dunia. Indonesia adalah pengguna kedelai dan jagung terbesar, rata-rata konsumsi kedelai dan jagung mencapai 2 – 3 juta ton. Kemudian Indonesia juga pengguna terigu dari gandum terbesar. Rata-rata impor gandum kita mencapai 4 – 5 juta ton per tahun. Pemasok seluruh komoditas itu umumnya AS dan kedua Australia, khusus untuk gandum. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana lobi mereka mengupayakan agar kita tidak bisa berkembang di sektor pertanian jagung dan kedelai. Paling tidak, konsumsi impor kedelai atau jagung sampai satu juta ton, bisa dipertahankan.
Berarti kebijakan pertanian kita sudah dicampuri kelompok pemegang hegemoni produksi?
Persoalannya selain lobi, juga persoalan dari dalam. Di antara para peneliti memang saling jegal dan potong-memotong. Persis seperti diskusi pakar kita di televisi tempo hari, yang bicara soal krisis ekonomi, yang sepertinya saling minta menangnya sendiri.
Jadi orang dari pusat penelitian sana punya konsep lain. Lalu teman-teman dari Gadjah Mada punya konsep lain. Kami punya konsep lain, yang sudah diterima pemerintah. Jadi rebutan nama. Akhirnya gagal semuanya. Saat program itu saya tawarkan, saya melihatnya kecuali Riau, semua propinsi di Indonesia punya kapur: Itu sama saja kita telah memiliki modal awal paling kuat di sektor pertanian. Industri yang akan menambang kapur cukup industri bermodalkan cangkul, pergi ke gunung, lalu dipukul-pukul sudah jadi tepung. Kalau nanti kebutuhannya Iebih banyak dibuat gilingan Industri untuk membuat gilingan itu pun bisa dilakukan di Indonesia.
Di sisi lain produksi meningkat, mutu makanan makin baik, dan sisa produk tanaman itu, bisa menjadi salah satu alternatif bahan baku pakan ternak yang semakin baik. Ternak makin produktif, manusia makin sehat, dan petani semakin sejahtera, karena bisa mengusahakan lahannya seminimal mungkin dengan hasil maksimal. Harga jual produk pertanian primernya menjadi baik, sehingga member peluang meraup nilai tambah. Bukankah itu yang sebenarnya dicari program agrobisnis dan agroindustri.
Program itu bukan sekadar pengembangan di sektor pertanian semata, tetapi ada mata rantai tidak kecil, mulai dari efisiensi pengolahan, keajegan bahan baku, penjualan produk dengan baik, sampai pada sasaran meminimalkan polusi dan mengubahnya menjadi kamoditas baru penyubur Iahan. Itulah yang dinamakan nilai tambah dari agrobisnis atau agroindustri.
Bagaimana dengan kebijakan mengembangkan panca usaha tani?
Tidak ada yang salah dengan program panca usaha tani. Tetapi panca usaha tani itu adalah program berikutnya, setelah lahan diperbaiki. Saya gunakan analogi, bila kita bikin pabrik apakah kita akan mulai dengan pabrik yang brengsek atau sekaligus baik? Jawabnya, yang sekaligus baik. Sama saja bila kita mau bikin pertanian, apakah akan mulai dengan tanah yang brengsek atau tanah yang baik? Jadi kita tingkatkan dulu mutu tanahnya, supaya bisa cocok dengan manajemen panca usaha taninya. Sinergi yang kita peroleh adalah produksi tinggi dan biaya murah.
Bagaimana sumber daya penelitian?
Risetnya maju. Tetapi, dari tahun ke tahun kita itu tidak mau belajar membaca alam maunya seperti apa. Seperti menghadapi kemarau, selama ini kita salahkan alam. Dampak kemarau bila tak ditangani segera menimbulkan bencana dahsyat di sector pertanian. Kemarin-kemarin petani kita diminta mengatasi kemarau dengan menyedot air tanah. Bila dilakukan terus-menerus, air tanah yang kita sedot ke atas akan mengakibatkan air laut masuk. Bila dihantam musim kemarau, maka air laut itu tidak akan pergi ke tempatnya. Yang terjadi, sawah kita mengalami salinisasi.
Saya sudah tanyakan kepada yang berkompeten, namun jawabnya singkat. ”Tugas saya harus mensukseskan produksi padi.” Tetapi kenyataannya nanti, di tahun depan daerah pantura seluas 30.000 hingga 40.000 hektar gagal panen karena kadar garam sawah meningkat. Berarti 6,6 juta ton per hektar atau totalnya 264.000 ton gabah kering sawah akan amblas.
Kenapa kita tidak pernah punya kemampuan riset bioteknologi?
Sebenarnya tidak seekstrem itu gambarannya. Saya mangetahui sekali kemampuan kita. Hasil riset di berbagai perguruan tinggi dan pusat-pusat riset, hasilnya sangat prospektif. Hanya belum bisa mencapai tingkat efisiensi yang kita harapkan. Misalkan mikoriza. Bisa kita manfaatkan, namun belum bisa kita jual dengan tingkatan komersial memadai. Dan hasil yang diperoleh belum pasti muncul di setiap keadaan lahan.
Pemerintah juga sudah melakukan itu dengan macam-macam penelitian, dengan program Riset Unggulan Nasional dan sebagainya. Jadi kita masih merintis di sana. Nah sambil hal ini dilakukan, maksud saya, kita melakukan hal yang lebih praktis, segera mendapatkan hasil.
SALAH satu temuan Goeswono terpenting adalah pupuk cair daun (PCD) Fosfo N. Selain menghemat pemakaian pupuk dasar (urea, TSP dan lain-lain), Fosfo N membuat tanaman bisa merangsang tumbuhnya senyawa fitoalexin yang meningkatkan ketahanan tanaman dan mengurangi drastis kebutuhan pestisida. Pemakaian pupuk berlebihan dan kandungan pestisida yang tinggi pada produk pertanian selama ini senantiasa menjadi hambatan ekspor agrobisnis negeri ini.
Fosfo N itu bagaimana?
Pupuk ini diciptakan untuk mengatasi krisis unsur hara yang setiap saat dialami tanaman dari tahap ke tahap pertumbuhan. Sebab kemampuan tanaman mengambil dari tanah untuk memenuhi kebutuhan mendadak, maka unsur haranya akan menurun. Terjadi stres. Untuk mengatasi ini bukan dikasih pupuk lebih banyak karena bisa hanyut terbawa air, tetapi diberikan melalui daun. Jika unsur hara dicukupi dari daun, akar tumbuh pesat, tanaman lebih mampu mengambil unsur hara. Juga, karena pupuk diberikan melalui daun, terjadi reaksi yang membuat tanaman meningkat ketahanannya terhadap serangan hama dan penyakit. Tambahan lagi, dengan. meningkatnya kemampuan akar, pupuk yang semula diberikan 100 persen bisa dikurangi.
Sudah produksi komersial?
Sudah. Tapi kecil saja. Maklum modal pribumi. Saya bangun pabrik di Cibinong. Penemuannya sudah saya patenkan. Hasilnya terbukti bagus, bisa mengurangi pemakaian pestisida dan TSP untuk tanaman sampai 50 persen, kebutuhan N berkurang 25-30 persen.
Setelah memasuki dunia bisnis, apa yang ditemukan?
Setelah sekitar lima tahunan ini saya memasarkan pupuk saya, saya temukan ada tiga jenis persaingan. Pertama, persaingan dari sesama produsen, kedua persaingan harga, ketiga persaingan kepentingan. Persaingan yang pertama dan kedua bisa diatasi. Tapi yang ketiga yang paling berat. Yang ketiga terjadi jika pejabat tertentu memaksakan pemakaian produk tertentu kepada petani. Bahkan meski petaninya tidak menghendaki produk itu, tetap saja harus memakai produk itu.
Kegiatan Anda sekarang?
Saya masih mengajar di Fakultas Teknologi Pangan Universitas Widya Mandala Surabaya. Keinginan saya, bagaimana bisa mengajar sambil bisa belajar. Di situ saya melakukan itu. Pada mahasiswa semester lima, saya memberikan bahan tentang upaya membebaskan hasil tanaman dari bahan ikutan tentang upaya membebaskan hasil tanaman dari bahan ikutan berbahaya, seperti pestisida. Saya sampaikan itu karena pengalaman saya ketika mau jual mangga ke Inggris. Sebelum memutuskan menerima, pembeli dari sana minta saya menjelaskan, bagaimana saya menanam, mengolah, memupuk, manen, mengepak. Itu menimbulkan kesulitan, karena untuk itu saya harus mengeluarkan biaya laboratorium dan macam-macam untuk memastikan tak ada bahan kimia berbahaya. Padahal jumlah yang bisa saya ekspor tak seberapa. Makanya saya segera mengajarkannya kepada mahasiswa. Kita harus memulai sejak awal sekali, sejak sebelum menanam.
Setelah gagal ekspor ke Inggris, kini konsumennya siapa?
Macam-macam. Pak Harto, Sekretariat Kabinet, Liem Sioe Liong, Mabes ABRI, pokoknya macam-macam.
Berapa harganya?
Saya minta harga dua kali harga pasar Rp 5.000 satu biji. Lima biji beratnya dua kilo. Jadi satu kilogram Rp 12.500. Mangga saya memang mahal. Tetapi sekarang saya balik tanya pada Anda, saya punya tanaman mangga 600 batang. Terdiri dari dua gelombang penanaman. Sebanyak 50 batang yang tua. Sisanya 550 batang. Yang 50 saya pakai pupuk setengah ton. Yang 500-an masing-masing dua kilogram pupuk. Jadi sampai sekarang saya sudah memupuk mendekati dua ton, untuk hamparan 2,2 hektar.
Saya sangat menjaga mutu. Justru di saat sulit begini saya ingin membuktikan, jangan kita mengurangi mutu. Bila kita jualan dengan mutu buruk karena masanya sedang sulit begini, nanti kalau masanya membaik, orang sudah lari.
Bagaimana bisa punya akses kepada keluarga Pak Harto?
Saya dibantu Mbak Titik saat saya jualan dolomit (pupuk) di satu pameran yang dihadiri Mbak Titik, dan juga almarhumah Ibu Tien Soeharto. Saya bilang, ”Bu Titik saya punya mangga yang setengah jam rasa manisnya di mulut tidak hilang.” Dia tidak percaya. Dia bilang, ”Pak Goes tolong dong dikirim.” Bu Tien, bertanya,”Apa betul ada mangga yang seperti itu?” Saya jawab, ”Ada Bu, cuma sekarang sedang tidak musim. Tapi bila Ibu berkenan saya akan ingatkan begitu musimnya tiba.”
Ketika waktunya tiba, saya kirim anak saya membawa mangga. Anak saya memeragakan bagaimana mengupas mangga dengan teknik khusus. Mangga tidak dikupas. Pisau ditusukkan sampai hingga menyentuh biji, lalu diputar di tengah mangga yang dipegang dalam keadaan berdiri. Setelah potongan memutar selesai, maka mangga itu ditarik jadi dua. Kemudian mangga itu dimakan dengan sendok. Sementara yang sebelahnya, yang ada pelok-nya, dilepaskan dengan tang.
Belakangan sampai keluar pernyataan dari Pak Harto, ”Saya hanya mau makan mangga yang dihasilkan oleh professor.”
Dengan begitu lalu ada kontak langsung dengan kekuasaan?
Ha… ha…ha… ah nggak juga. Hanya lewat perut. Konsumsi ke keluarga Cendana seminggu 200 kg. Tentu saja bila sedang musim saja. Saya juga Iangsung dapat pembayarannya beberapa hari kemudian.
Sebagai pengajar kabarnya Anda dikenal galak?
Saya hanya menjatuhkan putusan kepada mahasiswa yang benar-benar tidak belajar. Bila mahasiswa belajar normal-normal saja, saya kira tidak merasa saya galak.
Mengapa IPB tidak terus memakai Bapak?
Mungkin saya tidak disenangi he…he. Mungkin saya orang yang punya pandangan Iurus, pandangan sekian tahun ke depan, dan itu mungkin membuat orang tidak senang. Konsep saya bukan untuk hari ini atau esok, tapi untuk nanti. Orang melihatnya sebagai peringatan, kritik. Dan itu tidak menyenangkan orang.
Pulang dari P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) tahun 1993 dengan masa kerja dan sebagainya, saya sudah menyadari saya akan mentok di IPB. Lagi pula saya lihat suasananya sudah beda. Saya melihat bekas murid-murid saya begitu-begitu saja. Dari pada saya menghalangi mereka, lebih baik saya mundur. Paling cocok saya mencari jabatan tanpa eselon, seperti sekarang ini. Bukan .. bukan jadi dirjen, tapi jadi pengusaha ha… ha…
Sumber: Kompas, Minggu, 8 Maret 1998