Presiden menyediakan percepatan bagi 12 pemerintah daerah untuk membangun instalasi sampah menjadi energi. Ini jadi pamungkas dalam pengelolaan sampah.
Pemerintah meyakinkan pelaksanaan percepatan pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi energi didasarkan pada studi kelayakan. Percepatan yang dijanjikan pun hanya dilakukan pada level birokrasi dan tak akan memotong prinsip kehati-hatian pada lingkungan dan sosial.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres ini berlaku bagi 12 kota, yaitu DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa pihak menuding perpres ini reinkarnasi Perpres Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar, yang telah dibatalkan Mahkamah Agung.
KOMPAS/HARRY SUSILO–Truk-truk pengangkut sampah DKI Jakarta antre berjam-jam untuk membuang sampah di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, seperti terlihat, Senin (25/7/2016).
Perpres Nomor 18/2016 ini dinilai bertentangan dengan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan, serta UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Kompas, 2 Maret 2017).
Asisten Deputi Infrastruktur Pertambangan dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman Yudi Prabangkara, Kamis (26/4/2018), di Jakarta, mengatakan, Perpres 35/2018 tak akan menabrak aturan.
“Secara umum program penghapusan sampah ini harus dilakukan bersama program lain. Karena itu kami menggulirkan kembali program penghapusan sampah,” kata dia.
Ia menekankan, tujuan instalasi itu untuk memusnahkan sampah secara cepat, bukan menghasilkan listrik. Ini didasarkan pada alasan timbulan sampah yang telah menjadi masalah di berbagai kota.
Ditanya apakah teknologi itu bakal menggunakan thermal atau insinerator, Yudi menjawab, “Bila ada teknologi lain juga bisa dipakai.”
Yudi mengatakan, kunci untuk memastikan teknologi itu aman secara teknis, lingkungan, sosial, dan keuangan ada pada studi kelayakan. Dokumen ini menjadi penyaring dan pegangan bagi pemerintah daerah untuk menentukan program dijalankan atau tidak dijalankan.
Yudi juga mengatakan, perpres baru tak akan menyingkirkan program pengolahan sampah lain berupa komposting maupun 3R (reuse, reduce, recycle). “Pengelolaan sampah tidak ada solusi tunggal. Teknologi ini nanti mengerjakan yang tak tertangani oleh komposting dan 3R,” kata dia.
Tolak thermal
Secara terpisah, Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, menyatakan tetap menolak perpres tersebut apabila “sampah menjadi energi atau waste to energy (W2E)” menggunakan teknologi termal. Ia mengakui dalam perpres baru tidak eksplisit menyebut teknologi termal.
Di sisi lain, ia melihat perpres secara teknis tidak akan operasional. Ia mencontohkan terkait subsidi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral yang tetap memerlukan persetujuan Kementerian Keuangan.
Ia menghitung subsidi untuk Kota Solo akan sebesar Rp 165 miliar. Ini dengan asumsi Pemkot Solo tidak mau mengeluarkan tipping fee yang sebesar Rp 82 miliar dari APBD. Sedangkan subsidi listrik sebesar Rp 83 miliar. Ini dihitungnya dengan kurs Rp 13.400 per dollar AS.
Yuyun Ismawati, Panasihat Senior Yayasan Bali Fokus, menyayangkan perpers tidak memprioritaskan pada pemantauan lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis. Padahal, banyak risiko timbulan limbah bahan beracun berbahaya dari campuran sampah dengan batubara, abu, air limbah, dan emisi lain.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 27 April 2018
———————
Pilihan Sampah Jadi Energi Lebih Siap
–Pengangkutan Sampah ke TPST Bantargebang – Truk-truk pengangkut sampah DKI Jakarta mengantre untuk melakukan bongkar muat sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Kota Bekasi, Senin (9/11/2015) siang.
Kesiapan regulasi dan kebijakan terkait pengolahan sampah menjadi energi dinilai lebih siap dibandingkan dengan kegiatan daur ulang sampah. Untuk itu, perlu keberpihakan kepada pelaku daur ulang yang membantu menghemat sumber daya alam dan mengurangi beban timbulan sampah.
”Kalau mau intensifkan material recovery, harus perkuat regulasinya,” kata Dini Trisyanti, Direktur Sustainable Waste Indonesia, Jumat (27/4/2018), di Jakarta. Ia ditanya terkait Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Perpres tak eksplisit menyebut teknologi termal atau insinerator. Namun, isinya identik dengan Perpres No 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar yang telah dibatalkan Mahkamah Agung.
Kesiapan daerah
Dini mengatakan, posisinya adalah mendukung semua teknologi sesuai kondisi dan kesiapan daerah. Indonesia harus berani melangkah karena sampah telah menjadi masalah serius di berbagai media lingkungan di Indonesia.
Apalagi, kota-kota besar, seperti Jakarta yang dibebani 7.000 ton sampah per hari, butuh solusi cepat. Sebab, tempat pembuangan akhir hampir penuh dan sulit mencari lokasi baru. ”Kalau untuk sampah kota ribuan ton masih ngomongin komposting rumah tangga atau TPST (tempat pengolahan sampah terpadu), ya kapan tahun sudah keburu tenggelam,” katanya.
Asisten Deputi Infrastruktur Pertambangan dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman Yudi Prabangkara mencontohkan kota Tokyo di Jepang. Negeri yang dikenal pemilahan sampahnya amat rinci sampai lebih dari lima bagian memiliki 21 insinerator. ”Di Jakarta dengan jumlah penduduk hampir sama dengan Tokyo belum ada satu pun (insinerator),” ujarnya.
Industri Daur Ulang Sampah – Pekerja mendaur ulang sampah menjadi kompos, dan olahan sampah plastik di tempat pembuangan akhir Jatibarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (16/4/2013). Industri pengolahan ini mampu menyerap 50 persen sampah Kota Semarang yang dibuang di TPA Jatibarang sebanyak 750 ton per hari. Sebagian produk daur ulang sampah tersebut untuk memenuhi kebutuhan industri.–Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Di Jakarta dengan jumlah penduduk hampir sama dengan Tokyo belum ada satu pun (insinerator).
Dini mengambil sisi positif, perpres baru ini mengamanatkan agar teknologi pengolahan sampah menghasilkan energi. Tujuan utama perpres itu memberi solusi bagi 12 kota dalam menghilangkan sampah, bukan untuk menghasilkan energi listrik.
Di sisi lain, regulasi untuk program sampah menjadi energi dinilai lebih siap. ”Untuk TPST masih abu-abu, masih banyak pemerintah daerah yang kesulitan,” katanya.
Untuk program sampah jadi energi, sejumlah regulasi dan kebijakan disiapkan. Kebijakan itu meliputi, antara lain, biaya pengolahan sampah atau tipping fee dan harga patokan pembelian energi baru terbarukan feed-in tariff PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Pada program daur ulang, belum ada keberpihakan regulasi. Contohnya, industri cenderung memilih bijih plastik murni daripada membeli bahan daur ulang. Pembelian bahan daur ulang dinilai rumit dan tetap membayar Pajak Pertambahan Nilai. Meski regulasi minim, risetnya menunjukkan daur ulang plastik jenis PET dan PP di atas 50 persen.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 28 April 2018
——————–
1,3 Juta Ton Sampah Plastik Ke Alam
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Direktur Sustainable Waste Indonesia, Dini Trisyanti, Selasa (24/4/2018), di Jakarta, memaparkan hasil risetnya terkait Analisa Arus Sampah Indonesia, Rantai Nilai, dan Daur Ulang pada tahun 2017. Hasil risetnya sampah di Indonesia yang terlepas ke lingkungan mencapai 1,3 juta ton per tahun. Jumlah ini separuh hasil riset Jenna R Jambeck (Universitas Georgia, 2015) yang menempatkan Indonesia sebagai penghasil sampah ke laut terbesar kedua di dunia setelah China.
Riset terkini Sustainable Waste Indonesia menunjukkan Indonesia menghasilkan lebih dari 45,3 juta ton sampah per tahun. Dari jumlah ini, sejumlah 15,6 juta ton tak tertangani atau terlepas begitu saja ke alam, baik darat dan perairan.
Dari 15,6 juta ton, sekitar 1,3 juta ton material yang terlepas ke alam itu berupa plastik. Sampah plastik ini seringkali membebani lingkungan – terutama sungai dan laut – karena susah terurai.
Riset ini dibiayai Danone-Aqua dengan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017. Peneliti mengambil sampel lokasi pada wilayah Jakarta Selatan yang mewakili kota besar dan metropolitan serta Ambon yang mewakili kota sedang dan kecil.
Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti, Selasa (24/4/2018), di Jakarta, menuturkan angka 1,3 juta ton sampah plastik ini separuh dari riset yang dilakukan Jenna R Jambeck (Universitas Georgia, 2015). Riset Jambeck saat itu menempatkan Indonesia sebagai penghasil sampah di laut terbesar kedua di dunia setelah China.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Dini Trisyanti, Direktur Sustainable Waste Indonesia
Dini mengatakan, riset di dua lokasi selama enam bulan ini diinterpolasikan memakai data-data sekunder, seperti data kependudukan Badan Pusat Statistik dan data persampahan Bank Dunia – Kementerian LHK.
“Kami tidak mengklaim riset ini paling akurat karena keterbatasan waktu dan dana, pilihannya itu dulu,” kata dia dalam diskusi Kopi Sore di Jakarta.
Ia mengatakan, riset ini menunjukkan potensi ekonomi sampah plastik bisa lebih dioptimalkan melalui daur ulang. Daur ulang sampah plastik jenis PET (kemasan botol minuman) dan PP (kemasan gelas minuman) telah mencapai di atas 50 persen, HDPE (tutup botol) baru 17 persen, dan plastik lain hanya 7 persen.
PRESENTASI DINI TRISYANTI–Presentasi Dini Trisyanti, Selasa (24/4/2018), di Jakarta.
Dalam riset skala regional Bali, Prof Enri Damanhuri, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, juga melakukan riset serupa yang dibiayai Danone. Hasil risetnya menunjukkan 44,5 persen sampah plastik tak terkelola. Total sekitar 268 ton sampah plastik per hari dihasilkan di Bali.
Dari jumlah itu, sekitar 29,4 persen berakhir di tempat pembuangan akhir dan 26,1 persen didaur ulang. Riset Enri ini menelusuri tempat-tempat penampungan sementara dan tempat pengolahan sampah (TPS) terpadu, bank sampah, hingga pengepul menengah dan akhir, tempat pembuangan akhir, hingga menyusuri sungai di selatan Bali yang memiliki fasilitas penangkap sampah plastik.
“Prinsipnya tidak boleh percaya kepada data pemerintah daerah. Harus ada data sendiri. Data pemerintah sebagai pembanding,” kata dia.
Dari penelusurannya, ia menemukan bank sampah yang menurun kegiatannya. Dari 25 orang anggota saat awal pembentukan bank sampah, kini hanya delapan orang dengan rata-rata transaksi hanya 3 kilogram per hari.
Namun ada pula TPS-3R (reduce, reuse, dan recycle) bank sampah yang berjalan baik yaitu di Seminyak. TPS-3R ini dikelola desa adat yang memiliki 16 pikap. Mereka memilah sampah anorganik dan menghasilkan pupuk kompos dari sampah organik yang disetor ke hotel-hotel.
Sustainability Development Director Danone Indonesia, Karyanto Wibowo, mengatakan, telah menyiapkan peta jalan 2030 agar 100 persen produk plastik kemasan bisa termanfaatkan dalam daur ulang. Tantangan terkini diakuinya pada produk kemasan Aqua gelas yang menyisakan sedotan dan tutup yang masih belum menarik bagi pelaku bisnis daur ulang.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 25 April 2018