Di tengah semakin meningkatnya jumlah kasus di seluruh dunia, rasanya tidak berlebihan menganggap percepatan pengembangan obat seharusnya menjadi prioritas global.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Peneliti melakukan uji senyawa daun ketepeng badak (Cassia alata) dan daun benalu (Dendrophtoe Sp) yang menjadi kandidat obat herbal untuk Covid-19 di Laboratorium Cara Pembuatan Obat Tradisonal Baik (CPOTD) Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), Puspitek, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (6/5/2020). Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)6-5-2020.
Hingga akhir April 2020, virus SARS-CoV-2 telah menginfeksi lebih dari tiga juta orang di 210 negara dan teritori di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan angka kematian lebih dari 239.000 orang dalam waktu empat bulan, wabah Covid-19 adalah salah satu krisis kesehatan terbesar dalam lima puluh tahun terakhir. Intervensi publik berupa pembatasan interaksi sosial, penutupan sekolah-sekolah, dan penelusuran riwayat kontak hanya efektif untuk menekan laju pertumbuhan kasus untuk sementara. Pemodelan epidemiologis dan data kasus dari China menunjukkan bahwa kluster infeksi dapat muncul kembali setelah pembatasan sosial dihapuskan.
Dalam jangka panjang, intervensi publik memang dimaksudkan sebatas untuk memberikan kita ruang gerak dan cukup waktu untuk menangani pasien yang sakit, untuk melindungi populasi rentan, dan yang terpenting, untuk mengembangkan vaksin dan obat. Sayangnya, hingga saat ini belum ada obat yang terbukti efektif melawan Covid-19.
Lantas, berapa lama lagi sampai vaksin atau obat dapat ditemukan? Bisakah kita mempercepat proses pengembangannya? Untuk memahami bagaimana proses pengembangan obat dapat dipercepat, kita perlu melihat bagaimana obat dan senyawa terapeutik biasanya dikembangkan. Normalnya, riset dan pengujian calon obat dapat memakan waktu hingga belasan tahun, mulai dari eksplorasi target terapi sampai melalui tiga tahapan uji klinis, dan baru setelah itu obat dapat diakses oleh publik.
Uji klinis tahap pertama dilakukan untuk mengetahui profil keamanan obat dan melibatkan sekelompok kecil (10-20 orang) sukarelawan sehat. Setelah profil keamanan obat diketahui, uji klinis tahap kedua dan ketiga dilakukan untuk mengukur efektivitas calon obat untuk menata laksana kondisi medis tertentu.
Proses ini biasanya melibatkan ribuan pasien dan hasilnya dapat menunjukkan secara jelas apakah calon obat tersebut dapat bekerja efektif sesuai harapan.
*Untuk memahami bagaimana proses pengembangan obat dapat dipercepat, kita perlu melihat bagaimana obat dan senyawa terapeutik biasanya dikembangkan.
“Drug repurposing”
Dalam konteks Covid-19, menunggu belasan tahun jelas bukan sebuah pilihan. Karena itu, untuk mempercepat proses pengembangan obat, para dokter dan ilmuwan menggunakan strategi yang dikenal sebagai drug repurposing (alih guna obat). Pengalihgunaan obat adalah proses pemanfaatan obat yang sudah memiliki izin edar dengan indikasi tertentu untuk menata laksana penyakit yang baru.
Aspirin, misalnya, adalah obat yang awalnya dikembangkan sebagai pereda nyeri. Belakangan, aspirin diketahui memiliki efek lain berupa penghambat pembekuan darah. Setelah dilakukan serangkaian uji klinis tambahan, sekarang aspirin dapat digunakan untuk mengurangi pembekuan darah pada kasus-kasus penyakit kardiovaskular yang bersifat akut.
Strategi pengalihgunaan obat seperti ini dapat memotong waktu pengembangan obat karena dua alasan: pertama, profil keamanan dari obat-obatan lama biasanya sudah diketahui sehingga uji praklinis dan uji klinis tahap satu tidak lagi diperlukan. Kedua, stok obat-obatan tersebut sudah tersedia luas di banyak rumah sakit, mempermudah pengadaan logistik dan koordinasi untuk uji klinis tahap ketiga.
Alasan ketersediaan obat juga menjadi faktor penting yang membuat pendekatan alih guna obat bisa jadi lebih mudah diadopsi di Indonesia daripada menunggu pengembangan vaksin. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi setidaknya perlu waktu 12-18 bulan untuk mengembangkan vaksin Covid-19, dan bahkan mungkin lebih lama lagi untuk memproduksi vaksin dalam jumlah yang cukup sampai dapat diakses oleh pasien di Indonesia.
Dalam konteks Covid-19, obat-obatan golongan antiviral (remdesivir, favipiravir, ribavirin), immunomodulator (kortikosteroid, immunoglobulin), dan klorokuin sudah banyak dibicarakan di kalangan dokter dan ilmuwan sebagai calon obat alih guna untuk Covid-19. Obat-obatan tersebut kebetulan membidik proses biologis yang juga relevan pada infeksi SARS-CoV-2 sehingga pemilihan obat-obatan tersebut sebagai calon awal memang masuk akal.
Remdesivir, misalnya, adalah analog nukleotida yang awalnya dikembangkan untuk menghambat replikasi materi genetik virus ebola. Karena proses replikasi materi genetik SARS-CoV-2 mirip virus ebola, remdesivir bisa jadi juga efektif untuk mengobati Covid-19.
Meski terdengar menjanjikan, sampai saat ini belum ada data definitif yang dapat membuktikan efektivitas calon obat-obatan tersebut untuk mengobati pasien Covid-19. Di tengah banyaknya pihak yang berlomba-lomba berinovasi untuk menemukan terapi yang efektif, kita tidak boleh melupakan pentingnya melakukan uji klinis sebelum obat-obatan ini dapat dijadikan pedoman standar pengobatan Covid-19. Sebab, mengabaikan data dan melemahkan komitmen terhadap kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) justru akan memperburuk keadaan di tengah krisis yang sedang berlangsung.
Solidaritas global untuk uji klinis
Di tengah semakin mendesaknya kebutuhan akan obat Covid-19, kita perlu mengambil pendekatan pragmatis untuk mendapatkan data klinis yang cukup dalam waktu singkat. Untuk menjembatani kebutuhan tersebut, WHO telah meluncurkan platform uji klinis global yang diharapkan dapat memotong waktu pengujian hingga 80 persen. Berbeda dengan uji klinis pada umumnya, uji klinis internasional yang —bukan secara kebetulan— diberi nama “SOLIDARITY” ini mengandalkan partisipasi rumah sakit dan klinisi dari seluruh dunia untuk mengumpulkan dan menganalisis data pasien secara simultan.
Uji klinis usulan WHO ini bertujuan untuk mengukur efektivitas empat calon obat alih guna yang paling menjanjikan: remdesivir, klorokuin, kombinasi lopinavir/ritonavir, dan kombinasi lopinavir/ritonavir/interferon beta-1a. Kombinasi dua strategi ini, yaitu penggunaan calon obat alih guna dan kerja sama global dalam uji klinis, diharapkan dapat mempercepat pengumpulan dan analisis data sehingga kepastian akan manfaat obat-obatan tersebut bisa segera diketahui.
Lebih jauh lagi, investigasi efek obat dalam uji klinis SOLIDARITY dirancang sesederhana mungkin untuk meminimalkan beban kerja bagi tenaga kesehatan dan rumah sakit yang saat ini sudah mulai kewalahan dalam menangani lonjakan kasus Covid-19.
Untuk mengurangi beban logistik, rumah sakit bisa berkontribusi dengan menggunakan obat-obatan yang sudah tersedia. Tenaga medis pun hanya perlu mencatat luaran medis dasar tanpa perlu melaporkan hasil pemeriksaan yang relatif memakan sumber daya, seperti hasil radiologi atau analisis gas darah. Meski sederhana, strategi uji klinis ini tetap dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan paling penting, seperti apakah obat yang diuji dapat mengurangi angka kematian, dan bisakah obat tersebut mengurangi kebutuhan ventilator atau rawat inap?
Dalam konteks penanganan medis Covid-19, partisipasi Indonesia dalam uji klinis yang digagas WHO ini penting karena dua alasan. Pertama, kita memerlukan representasi data yang cukup dari populasi masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagian besar data medis terkait Covid-19 hari ini diperoleh dari uji klinis yang dilakukan untuk populasi etnis Asia Timur (terutama China dan Korea Selatan) dan Kaukasia (Eropa dan Amerika Utara), yang belum tentu dapat diekstrapolasikan sepenuhnya untuk populasi Indonesia.
Hal ini semakin penting mengingat adanya indikasi bahwa perjalanan penyakit dan tingkat keparahan komplikasi Covid-19 dapat dipengaruhi oleh latar belakang etnis seseorang. Tanpa representasi data yang mencukupi, kita tidak dapat mengetahui secara mendalam sejauh mana tingkat keamanan dan efektivitas obat-obatan yang diuji untuk populasi masyarakat Indonesia.
Kedua, kita memiliki tanggung jawab moral yang sama dengan negara-negara lain untuk mempercepat pengembangan obat yang efektif untuk menata laksana Covid-19. Seperti namanya, uji klinis SOLIDARITY tidak bisa berjalan efektif tanpa adanya solidaritas global yang mendorong rumah sakit, tenaga medis, dan pasien untuk mengambil peran aktif dalam pengembangan terapi, termasuk dari Indonesia. Semakin banyak pihak yang turut berkontribusi dalam uji klinis ini, semakin cepat pula kita bisa menemukan obat yang bermanfaat untuk Covid-19.
Fokus pada sains dan data
Dalam menjalankan pekerjaannya, dokter dan tenaga medis lain selalu mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan berpegang pada prinsip kedokteran berbasis bukti. Faktanya, minimnya data menjadikan hal ini sulit untuk dilakukan dalam konteks diagnosis dan terapi Covid-19.
Tentu dokter masih dapat meresepkan calon obat-obatan di atas secara “off-label” kepada pasien, tetapi mengklaim efek obat secara prematur bisa jadi justru berbahaya. Beberapa rumah sakit, misalnya, telah menghentikan penggunaan klorokuin pada kasus Covid-19 karena adanya laporan akan efek samping berat pada pasien.
Di tengah semakin meningkatnya jumlah kasus di seluruh dunia, rasanya tidak berlebihan menganggap percepatan pengembangan obat seharusnya menjadi prioritas global. Tanpa data dan uji klinis yang memadai, tenaga kesehatan terpaksa menduga-duga efektivitas dan efek samping calon obat-obatan yang ada.
Percepatan pengembangan terapi dengan strategi alih guna obat dan kerja sama uji klinis global sudah seharusnya didukung oleh semua pihak sehingga tata laksana terapi untuk Covid-19 dapat segera dirumuskan.
(Muhammad Hanifi Mahasiswa Doktoral, Institut Kedokteran Molekuler Weatherall, Universitas Oxford; Anggota Inovator 4.0 Indonesia)
Sumber: Kompas, 8 Mei 2020