Ada kecemasan akan terjadi perbedaan penetapan Idul Fitri 1413 H. Sebagian ahli hisab berpendapat 1 Syawal 1413 H adalah tanggal 25 Maret I993. Sedang yang lain berpendapat “tanggal 24 Maret 1993.
Tulisan ini akan memfokuskan pada kasus perbedaan penentuan awal bulan Islam di Indonesia yang sebagian besar hanya bersumber pada persoalan teknis. Dan lebih khusus menyoroti kasus perbedaan penentuan Idul Fitri dengan cara rukyat dan hisab di Indonesia yang terjadi tahun lalu dan kemungkinan akan berulang kembali tahun ini (Republika, 17/3).
Bukyat dan Hisab
Rukyat adalah cara mengenal hilal melalui pengamatan langsung dengan mata telanjang. Penampakkan hilal memang kompleks, tak bisa diungkapkan dengan kriteria posisi bulan di ufuk barat yang sederhana (misalnya penampakan hilal hanya berdasarkan pada tinggi bulan di atas 2 derajat pada saat matahari terbenam) karena banyak faktor yang harus diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sedangkan ahli hisab memprediksi nampak atau tidaknya hilal melalui perhitungan astronomi untuk menentukan posisi bulan dan matahari pada saat matahari terbenam. Di sini dipergunakan kriteria penampakan hilal seperti tinggi bulan, beda azimut bulan matahari, beda waktu terbenam bulan dan matahari, jarak busur bulan dan matahari, luas bagian bundaran bulan yang bercahaya dan umur bulan dari ijtimak sampai matahari terbenam.
Persyaratan itu diperoleh secara empirik yakni dari pengalaman keberhasilan pengamatan hilal secara sistematis. Namun praktiknya hasil perhitungan antar ahli hisab bisa berbeda. Dan ini terjadi karena penggunaan metoda perhitungan yang tingkat akurasinya berbeda-beda.
Kesamaan lahirnya kasus kondisi bulan dalam penentuan awal bulan Syawal 1412 H (lunasi Islam No 16942) dan 1413 H (lunasi Islam No 16954): Ijtimak (konjungsi = bulan mati, bulan dan matahari terletak pada bujur ekliptika yang sama) akhir Ramadhan terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak akhir Ramadhan 1413 H bertepatan tanggal 23 Maret 1993 pukul 14:16 WIB (ijtimak akhir Ramadhan 1412 H bertepatan 3 April 1992 pukul 12:01 WIB).
Waktu ijtimak dijadikan acuan tanggal rencana pengamatan hilal bagi pemburu hilal. Terlepas akan berhasil atau tidaknya pengamatan hilal, pemburu hilal akan mulai mengamati hilal pada tanggal 23 Maret 1993 setelah matahari terbenam (dengan kemungkinan tidak berhasil).
Hilal terbentuk setelah ijtimak (konjungsi). Pada saat ijtimak atau konjungsi posisi bulan dan matahari di langit berada pada jarak sudut minimum (tiap-tiap konjungsi harga jarak sudut minimumnya berbeda). Cahaya hilal sangat lemah tidak bisa dikenali pada saat matahari masih terang. Karena itu pengamatan hilal dilakukan setelah matahan terbenam. Bila cahaya langit latar depan hilal sudah lebih redup dari cahaya hilal, hilal akan mudah dikenali.
Persyaratan bagi Hilal
Persyaratan bagi berhasilnya pengamatan hilal yang tidak bisa ditawar adalah: 1.) Waktu pengamatan hilal dilakukan setelah terjadinya ijtimak. 2.) Posisi bulan pada saat matahari terbenam harus berada di atas ufuq. Atau dengan kata lain matahari harus terbenam terlebih dulu baru disusul terbenamnya bulan.
Perlu dicatat, meski ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, namun pada saat matahari terbenam bulan tidak selalu berada di atas ufuq. Dari segi astronomi ini sangat mungkin. Jadi tidak otomatis kalau terjadi ijtimak qablal ghurub (sebelum maghrib) hilal selalu akan berada di atas ufuq dan dapat diamati.
Hasil perhitungan berdasar data The Astronomical Almanac 1993 atau Almanac Nautika 1993 menunjukkan bahwa tanggal 23 Maret 1993 untuk lokasi pengamat di Indonesia (ibukota 27 provinsi) bulan akan terbenam (antara 2 menit sampai 12 menit) lebih dulu dibanding waktu matahari terbenam. Pada tanggal tersebut hilal tak mungkin diamati, bulan sudah berada di bawah ufuq pada saat matahari terbenam.
Penentuan 1 Syawal 1413 H yang bertepatan dengan tanggal 24 Maret 1993 akan mengingkan realita hilal atau bertentangan dengan prinsip penetapan awal bulan dengan cara rukyat serta membuat jarak yang lebih besar antara hisab dan rukyat yang seharusnya merupakan satu kesatuan. Dan keesokan harinya, 24 Maret 1993, di seluruh wilayah Indonesia (ibukota 27 provinsi) bulan akan terbenam antara 29-43 menit lebih lambat dari waktu matahari terbenam.
Dengan kondisi itu berarti hilal lebih memungkinkan dirukyat pada tanggal 24 Maret 1993 dibanding tanggal 23 Maret 1993, dan oleh karena itu 1 Syawal 1413 bertepatan dengan 25 Maret 1993. Dan bahkan dari gambar garis batas penanggalan Islam (T. Djamaluddin, Republika, 23/2-93) dapat disimpulkan bahwa umat Islam yang berdiam di ASEAN dapat bersama-sama merayakan Idul Fitri 1413 H pada tanggal 25 Maret 1993.
Akar Perbedaan antara Ahli Hisab
Model hisab (perhitungan) yang kurang teliti akan jauh mengingkari realita. Maka, dapat terjadi bulan sudah berada di bawah ufuq sedang perhitungan memprediksi bulan masih di atas ufuq. Ini bisa terjadi karena usia sebagian tabel yang dipergunakan (di pesantren NU) untuk perhitungan penentuan awal bulan sudah beratus tahun sehingga datanya tak lagi sesuai.
Selain ketelitian hasil penentuan posisi bulan dan matahari, sumber perbedaan lain adalah kriteria posisi bulan dan matahari. Kriteria penampakan hilal yang baik adalah kriteria penampakan hilal sedemikian rupa sehingga hasil prediksi terlihat tidaknya hilal sesuai dengan realita pengamatan hilal. Kecocokan hasil hisab dan rukyat selain bersifat independen (bukan hasil pencocok-cocokan) juga harus konsisten dapat diamati berbagai pengamat atau pemburu hilal di daerah yang diprediksi besar kemungkinan berhasil di Indonesia maupun di manca negara.
Penyatuan Tanggalan Islam
Bila umat Islam Indonesia bisa serius menyatukan dan menertibkan penggunaan sistem penanggalan Islam, masalah-masalah itu tak akan muncul. Inilah sebetulnya salah satu tantangan umat Islam.
Untuk menyepakati suatu sistem penanggalan Islam seragam, dibutuhkan semangat saling pengertian dan keberanian untuk berpindah dari sistem yang pernah dipergunakan bertahun-tahun ke sistem baru. Untuk itu kerjasama antara ulama, ahli hisab, ilmuwan dan pemerintah akan mempermudah merumuskan sistem penanggalan Islam. Upaya penyatuan ini memang sedang berlangsung baik di Indonesia (kegiatan Badan Rukyat dan Hisab), kawasan ASEAN maupun di dunia internasional melalui pertemuan dan dialog antara pejabat pemerintah, ulama, ahli hisab dan ilmuwan muslim.
Sistem penanggalan Islam Intemasional yang unik dan dapat digelar dalam tempo panjang itu tidak terlepas dari menggunakan cara hisab. Selain itu sistem penanggalan Islam Internasional mempunyai karakter unik (tidak beragam), konsisten, dapat dipergunakan sebagai pegangan untuk kegiatan sehari-hari dan sekaligus memuat jadwal ibadah umat Islam tanpa harus “berbeda” dengan hasil penetapan rukyat.
Kriteria Penampakan Hilal
Depag RI menggunakan acuan hilal dengan ketinggian 2 derajat pada saat matahan terbenam sebagai sarat penampakan hilal. Dari kajian pengamatan hilal dalam dunia astronomi, belum pernah ada yang berhasil melihat hilal dengan ketinggian 2 derajat. Maka, sulit dimengerti bila ternyata ada yang melaporkan berhasil melihat hilal lebih rendah dari 2 derajat, apalagi ketika bulan berada di bawah ufuq.
Karena itulah, penyatuan penetapan awal bulan perlu dilakukan dari dua sisi yaitu penggunaan kriteria penampakan hilal sebagai penetapan awal bulan dan profesionalisme pengamatan hilal. Laporan keberhasilan merukyat hilal akan lebih baik dan meyakinkan kalau keberhasilan pengamatan hilal itu bisa dikonfirmasi dengan instrumen lain yang dilakukan terpisah.
Di Indonesia banyak ahli hisab mempergunakan berbagai metoda penentuan posisi bulan dan matahari. Dari penentuan waktu ijtimak dapat segera diketahui variasi keakuratan penentuan posisi bulan dan matahari dan berbagai metoda tersebut. Evaluasi atas beberapa metoda hisab diperlukan untuk diketahui keakuratannya dan dikembangkan ke arah perhitungan yang lebih akurat bila memungkinkan.
Salah satu kesempatan standarisasi penentuan waktu saat terjadi gerhana bulan total 4 Juni 1993 mendatang. Momen ini dapat dimanfaatkan untuk menentukan keakuratan berbagai metoda hisab yang ada.
Persoalan lainnya adalah bila hasil hisab posisi bulan dengan metoda yang kurang akurat dipergunakan sebagai dasar untuk menetapkan awal bulan, maka akan Iahir sengketa tahunan penentuan awal bulan yang tak habis-habisnya. Kegiatan penelitian yang serius mengenai penampakan hilal dan yang bukan bersumber pada hakekat persoalan yang sebenarnya, yakni persyaratan yang “lebih pasti” bagi keberhasilan pengamatan hilal.
Hingga sekarang memang belum ada persyaratan yang memuaskan, tapi dari sudut keilmuwan astronomi (yang kebanyakan diturun dengan cara induksi dari data pengamalan hilal) persyaratan untuk berhasilnya pengamatan hilal yang ada sekarang dapat dikatakan lebih baik dari persyaratan yang telah ditemukan ilmuwan sebelumnya.
Tergantung Jumlah Hari
Sistem penanggalan Islam yang memuat jadwal ibadah mempergunakan siklus penampakan terawal bulan setelah ijtimak (=konjungsi=bulan baru), hilal sebagai unit dasar penetapan jumlah hari dalam satu bulan penanggalan Islam.
Waktu rata-rata yang diperlukan siklus tersebut kira-kira sama dengan periode sinodis bulan mempunyai rentang antara 28 sampai 30 hari dan rata-ratanya adalah 29,53 hari, maka satu bulan Islam tanpa kecuali dapat terdiri dari 29 atau 30 hari.
Dalam sistem penanggalan Islam yang mempergunakan penampakan hilal sebagai acuan penetapan awal bulan, jumlah hari dalam tiap bulan Islam tidak selalu tetap, tapi dapat bervariasi 29 atau 30 hari. Lama ibadah puasa Ramadhan juga bisa 30 hari atau 29 hari. Satu tahun terdiri dari 12 bulan (bulan ke 1=Muharram, 2 = Shafar, 3 = Jumadil awal, 4 = Jumadil akhir, 5= Rabi’ul awal, 6= Rabi’ul akhir, 7=Rajab,8=Sya’ban 9= Ramadhan, 10= Syawal, 11 = Dzulqaidah dan 12= Dzulhijjah).
Periode dari “penampakan hilal” ke “penampakan hilal” berikutnya dinamakan satu lunasi Islam, atau satu bulan Islam adalah satu lunasi Islam. Lunasi Islam nomor satu bersesuaian dengan bulan Muharram 1 H. Lunasi Islam nomor 16953 bersesuaian dengan bulan Ramadhan tahun 1413 H (bila 16953 dibagi dengan 12 dan ditambah satu diperoleh 1413 dan sisanya 9 atau bersesuaian dengan bulan Ramadhan) dan lunasi Islam nomor 16954 bersesuaian dengan bulan Syawal 1413 H.
Walaupun pengetahuan astronomi sudah berkembang jiwa rukyat itu tidak dihilangkan, tapi masih terus dibawa dalam hisab penentuan awal bulan. Hisab awal bulan dapat dilihat sebagai upaya penyatuan antara hadist Nabi dan ihtiar akal manusia dalam penentuan awal bulan. Keduanya mempunyai titik temu.
Moedji Raharto, staf akademik di UPT Observatorium Boescha dan di jurusan Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung
Sumber: REPUBLIKA, SELASA 23 MARET 1993