Vaksin malaria untuk pertama kali diberikan kepada anak-anak di Malawi, menjadi senjata baru melawan penyakit mematikan ini. Namun demikian, vaksin yang proses pembuatannya butuh 30 tahun dan menghabiskan 700 juta dollar Amerika Serikat ini efikasinya hanya 40 persen.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Selasa (23/4/2019), mengumumkan penggunaan vaksin malaria kepada anak-anak di bawah dua tahun di Malawi. Proyek percontohan ini merupakan yang pertama kali di dunia. Berikutnya, vaksin, yang disebut mosquirixatau RTS,S akan diberikan kepada anak-anak di Ghana dan Kenya. Hingga akhir tahun ini ditarget vaksin akan diberikan kepada 360.000 anak dan 1 juta anak hingga 2023.
–Vaksin malaria untuk pertamakalinya diberikan kepada anak-anak di Malawi, Selasa (23/4). Dok. WHO
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Jenderal Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam siaran persnya mengatakan, kita membutuhkan solusi baru untuk menghadapi malaria. “Vaksin malaria ini berpotensi menyelamatkan puluhan ribu jiwa anak-anak,” sebutnya.
Data WHO, malaria masih menjadi salah satu pembunuh terkemuka dunia, yang merenggut nyawa satu anak setiap dua menit. Sebagian besar kematian ini terjadi di Afrika, di mana lebih dari 250.000 anak meninggal setiap tahun. Anak-anak di bawah 5 tahun berisiko paling besar mengalami komplikasi yang mengancam jiwa. Di seluruh dunia, malaria membunuh 435.000 orang per tahun, kebanyakan anak-anak.
“Kami senang dan mendukung vaksin ini karena memang belum ada yang lain,” ujar Michael Kayange, Manajer Program Malawi’s National Malaria Control Programme.
Sekalipun disambut di Malawi, vaksin malaria ini memicu kontroversi karena efikasinya yang rendah. Uji klinis terhadap 15.000 anak pada tahun 2015 menemukan, pemberian empat dosis RTS,S selama 18 bulan hanya mampu mengurangi 36 persen kasus malaria.Vaksin ini hanya bisa mencegah 4 dari 10 kasus malaria dan 3 dari 10 kasus malaria berat.
Tingkat efikasi ini jauh lebih rendah daripada keberhasilan vaksin yang diberikan pada anak usia sejak usia dini untuk kebanyakan lainnya. Vaksin campak misalnya, rata-rata 97 persen efektif, dan vaksin cacar air mencegah 85 persen kasus dan hampir 100 persen kasus parah.
Ahli malaria dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Syafruddin, Rabu (24/4) mengatakan, vaksin yang diterapkan di Malawi ini awalnya akan digunakan secara luas. Namun uji klinis di 5 negara Afrika dan 1 negara di Asia menunjukkan hasil mengecewakan.
“Penerapan di Malawi ini lebih untuk menyelamatkan investasi besar yang dikeluarkan untuk menghasilkan vaksin ini. Jadi untuk saat ini baru bisa diterapkan di negara di mana vaksin ini masih dianggap cukup efektif,” kata dia. “Vaksin ini belum tentu cocok untuk di Indonesia.”
Sejauh ini WHO belum merekomendasikan vaksin ini secara global. Mereka masih akan mengevaluasi efektivitasnya pada anak-anak di Malawi, Ghana, dan Kenya. Akan dibandingkan jumlah kematian dan meningitis di tiga negara ini dengan negara-negara tetangga yang tidak mendapatkan vaksin ini.
Ilmuwan pada Program Global Malaria WHO, David Schellenberg, dalam wawancara dengan kantor berita BBC, mengakui bahwa vaksin ini masih memiliki banyak kelemahan. “Tak ada yang bisa menyatakan bahwa vaksin ini adalah senjata ajaib,” kata Schellenber. “Ini mungkin kedengarannya tidak banyak, tetapi kita sedang berbicara tentang pengurangan 40 persen malaria berat.”
Sementara itu Tedros mengatakan, vaksin ini hanya menjadi tambahan dari upaya pencegahan lain yang harus dilakukan, seperti penggunaan kelambu dan insektisida. Bagaimana, vaksin RTS,S ini merupakan satu-satunya yang tersedia di pasar.
Tidak mudah
Kritik terhadap vaksin malaria ini juga datang dari peneliti yang melihat besarnya dana dan waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya. Seperti disampaikan WHO, untuk menghasilkan vaksin malaria ini, dibutuhkan waktu lebih dari tiga dekade.
Vaksin ini awalnya dirintis perusahaan GlaxoSmithKline (GSK) dari London dan belakangan mendapatkan suntikan dana dari Bill & Melinda Gates Foundation. Total dana yang dihabiskan untuk mengembangkan vaksin ini mencapai lebih 700 juta dollar Amerika Serikat.
“Kita perlu mengevaluasi seluruh proses vaksin ini. Kita tidak bisa mengharapkan perusahaan farmasi mau lagi menghabiskan 30 tahun untuk membuat vaksin dan kemudian diujicobakan 3-4 tahun dengan hasil seperti ini,” kata James Tibenderana, Direktur Teknis Malaria Consortium di London, kepada Nature.
Thomas Breurer, perwakilan dari GSK mengakui, sekalipun lega bahwa vaksin ini akhirnya bisa dipakai, namun, “Dari perspektif GSK, hal ini kemungkinan tidak bisa diulangi lagi, kita harus mencari cara lain.”
Syafruddin mengatakan, upaya untuk mencari vaksin malaria memang tidak akan mudah. Parasit yang menyebabkan malaria secara genetik jauh lebih kompleks dibandingkan virus atau bakteri. Parasit ini memiliki ribuan antigen yang harus dipelajari untuk kemudian dicari cara menjinakkannya. Selain itu, plamodium malaria akan berubah bentuk di tubuh manusia, membuatnya sangat sulit dilumpuhkan.
Tak hanya itu, plasmodium malaria juga memiliki banyak spesies, dengan empat di antaranya diketahui yang menginfeksi manusia, yaitu P falciparum, P vivax, P malariae, dan P ovale. Bahkan, di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain, belakangan diketahui ada P knowlesi yang sebelumnya hanya menjangkiti monyet, sekarang sudah ditemukan pada manusia.
Kajian oleh Farah N Coutrier dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan tim (2018) misalnya menemukan, sebanyak 49 persen kasus malaria yang diidentifikasi di Aceh Besar dan Aceh Jaya ternyata disebabkan oleh P knowlesi. Temuan ini menambah kompleks upaya mencari vaksin malaria terbaik yang bisa mengatasi variasi spesies plasmodiumnya.
“Vaksin STS,S hanya menarget P falciparum, padahal terbukti ada empat spesies lain yang menginfeksi manusia. Khusus untuk Indonesia, kelima jenis infeksi malaria ada semua di kita. Tantangannya akan lebih berat,” kata Rintis Noviyanti, peneliti pada Unit Patologi Malaria, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Menurut dia, selain menyasar parasit malarianya, saat ini sebagian peneliti juga tengah mencari cara untuk memodulasi inangnya. “Jadi, yang disasar adalah segi kekebalan terhadap malaria supaya si manusianya tidak sakit kalau terinfeksi. Tetapi, semua ini masih tahap riset awal. Masih jauh, tetapi kita bangga karena bisa terlibat dalam upaya eradikasi malaria,” kata Rintis.
Siklus hidup Plasmodium falciparum dan strategi vaksin. Siklus pada manusia mencakup tiga tahap: tahap pra-eritrositik, yang asimtomatik; tahap darah aseksual, yang menginduksi patologi; dan tahap seksual, yang ditularkan ke nyamuk Anopheles. Pada setiap tahap ini, parasit mengekspresikan berbagai protein yang menjadi target kandidat vaksin. Strategi vaksin yang berbeda untuk setiap tahap diindikasikan.Sumber: Laurent Rénia dkk; intechopen.com (2018).
Selain kompleks secara teknis, secara komersial produksi vaksin malaria dianggap tidak menjanjikan keuntungan. Hal ini karena potensi terbesar penggunanya berasal dari kawasan paling miskin di dunia. Secara global, daerah endemik malaria tertinggi berada di negara-negara miskin di Afrika, selain di sabuk tropis Amerika Latin dan Asia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, kebanyakan pengembangan vaksin malaria didanai WHO, pemerintah, dan filantropis.
Dengan berbagai kompleksitasnya ini, Indonesia sepertinya belum bisa banyak berharap terhadap vaksin RTS,S ini. Perang melawan malaria agaknya masih akan panjang dan butuh perjuangan ekstra dari peneliti serta para filantropi….
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 27 April 2019