Mobilisasi global yang kian tinggi mempermudah masuknya berbagai jenis penyakit menular berbahaya ke Indonesia yang merupakan kepulauan dengan banyak pintu masuk. Itu menuntut peningkatan kemampuan mendeteksi dini penyebaran penyakit menular berbasis teknologi molekuler.
“Teknologi molekuler memberikan hasil deteksi penyakit jauh lebih akurat. Misalnya, jika pakai molekuler, pasien malaria yang teridentifikasi 2,5 persen lebih tinggi dibandingkan metode konvensional, seperti mikroskopis atau RDT (rapid diagnostic test),” ucap Syafruddin, Kepala Unit Malaria Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, di Jambi, Selasa (9/2).
Deputi Direktur Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan, standar baku deteksi malaria masih memakai RDT dan mikroskopis. Sebab, teknologi molekuler butuh dukungan infrastruktur dan sumber daya manusia lebih terlatih sehingga belum bisa dilakukan meluas. “Ke depan, seiring kian mudah dan fleksibelnya penggunaan teknologi molekuler, itu akan jadi ujung tombak deteksi penyakit,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak kasus kematian akibat demam dengan penyebab penyakit sesungguhnya tak diketahui menunjukkan sistem deteksi penyakit di Indonesia perlu dibenahi. “Penyebab demam amat banyak. Bisa karena parasit, seperti malaria, bisa karena bakteri ataupun virus yang variasinya amat banyak. Kasus radang otak banyak jadi misteri, tapi bisa karena virus Japanese encephalitis. Namun, banyak kasus tak diteliti dan dilaporkan. Dengan teknologi molekuler, kita bisa mendeteksinya,” kata Syafruddin.
Teknologi molekuler yang diterapkan Lembaga Eijkman terbukti efektif mendeteksi adanya virus Zika di Jambi. Itu berawal dari tes sampel darah pasien demam setelah merebaknya demam berdarah dengue di Jambi pada 2013-2014. Dari 210 sampel pasien yang diteliti tim Eijkman, 107 sampel positif dengue. Dari 103 sampel negatif, diperiksa secara molekuler dan ditemukan satu pasien terinfeksi virus Zika.
“Tanpa teknologi molekuler, deteksi ada virus Zika di sampel darah pasien di Jambi tak bisa ditemukan,” kata Herawati. Karena itu, perlu surveilans yang sistematis, termasuk memakai teknologi molekuler, untuk memetakan sebaran Zika di Indonesia dan penyakit menular lain.
Orang Rimba
Baru-baru ini, Lembaga Eijkman bekerja sama dengan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menuntaskan studi molekuler pada kesehatan Orang Rimba, terutama terkait sebaran malaria dan hepatitis.
“Hasilnya mengejutkan karena angkanya amat tinggi, bahkan tertinggi untuk semua studi yang kami lakukan di daerah lain. Kami akan paparkan rincian hasilnya besok (Rabu, 10/2),” kata Herawati. Hasil studi itu akan disampaikan ke Dinas Kesehatan Provinsi Jambi dan perwakilan Orang Rimba.
Menurut Manajer Program Warsi Robert Aritonang, studi kesehatan Orang Rimba secara komprehensif belum pernah dilakukan. Hasil studi itu diharapkan memberikan gambaran lebih komprehensif penanganan penyakit menular, khususnya malaria dan hepatitis. Apalagi, Orang Rimba rentan karena belum terakses fasilitas kesehatan. (AIK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Benahi Sistem Deteksi Dini”.