Pseudomembran putih keabu-abuan di hulu kerongkongan atau tenggorokan sebagai penanda difteri.
Lama tak terdengar, tiba-tiba penyakit difteri bermunculan di sejumlah daerah. Sepanjang 2017 hingga November tercatat sudah ada 593 kasus difteri terjadi di sejumlah daerah. Sebanyak 5,4 persen kasus yang ada berakhir dengan kematian dengan sebagian besar korban adalah anak-anak. Padahal, penyakit yang menular dan mematikan itu bisa dicegah dengan imunisasi.
Mulai Senin (11/12), Kementerian Kesehatan menggelar imunisasi ulang dengan vaksin DPT (difteri pertusis tetanus) bagi anak-anak berumur hingga 18 tahun di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Imunisasi ulang itu dilakukan sebagai respons atas kejadian luar biasa (KLB) atau wabah yang terjadi atau outbreak response immunization.
HTTP://WWW.IMMUNE.ORG.NZ/SITES/DEFAULT/FILES/DISEASES/DIPTHTERIASQUARE.JPG
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, KLB difteri sudah terjadi di 96 kabupaten/kota di 20 provinsi. Jumlah kasus dan kematian difteri terbanyak di Jawa Timur, provinsi yang selama beberapa tahun menjadi ”juara” atas tingginya kasus difteri.
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Serangan bakteri itu menumbuhkan selaput atau membran (pseudomembran) berwarna putih keabu-abuan yang lokasi utamanya ada di nasofaring (hulu kerongkongan) dan tenggorokan. Membran itu juga bisa muncul di trakea (saluran napas setelah tenggorokan), hidung, amandel (tonsil), bahkan kulit.
Membran itu terbentuk dari protein dan materi buangan yang dipicu toksin yang dihasilkan bakteri. Membran itu menempel di jaringan dan menghalangi pernapasan. Sementara racunnya bisa menyebar ke jantung, otot, ginjal, dan hati yang akan merusak organ-organ itu untuk sementara atau selamanya.
HTTPS://WWW.CDC.GOV/DIPHTHERIA/IMAGES/DIPHTHERIA-PHOTO-PHIL-7323.JPG–Bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menyebabkan penyakit difteri.
Kitara Knippling dari Austin Community College, Texas, Amerika Serikat, dalam Diphtheria menyebut catatan tentang wabah difteri itu sudah dilakukan sejarawan Yunani, Hippocrates, pada abad ke-5 sebelum Masehi dan Aetius pada abad ke-6 Masehi.
Sebelumnya, penyakit ini disebut dengan berbagai nama. Sebutan diphtérite alias difteri baru diberikan oleh dokter Perancis, Pierre Bretonneau, pada 1826. Nama itu diambil dari bahasa Yunani yang artinya kulit atau tersembunyi untuk menggambarkan membran yang muncul di tenggorokan.
HTTPS://WWW.HISTORYOFVACCINES.ORG/CONTENT/PIERRE-BRETONNEAU–Pierre Bretonneau
Sementara bakteri C diphtheriae yang memicu penyakit ini, menurut Rudi Hendro Putranto dkk dalam Corynebacterium diphtheriae Diagnosis Laboratorium Bakteriologi, 2014, pertama kali ditemukan oleh Edwin Klebs pada 1883. Bakteri yang bisa mengeluarkan racun difteri itu hanya terdeteksi di membran yang muncul dan membran itu bisa menutup saluran napas dalam beberapa jam hingga beberapa hari.
Wabah
Panjangnya rentang waktu penyakit ini dikenali membuat banyak negara pernah mengalami pahitnya wabah difteri. Saat ini, difteri masih jadi penyakit endemik di negara-negara berkembang di Eropa Timur, Amerika Latin, Asia Tenggara, hingga Sub-Sahara Afrika. Namun, negara-negara maju pun pernah mengalaminya, bahkan setelah vaksin difteri ditemukan pada 1920-an.
Wabah difteri pernah melanda Spanyol pada 1560 dan 1576, Italia (1618), hingga Inggris dan Amerika Serikat pada abad ke-18. Di AS, pada 1921, ada 206.000 kasus difteri dengan 15.520 kasus berakhir dengan kematian. Di Inggris dan Wales pada 1930 difteri sebagai pembunuh anak-anak terbesar ketiga.
I Nyoman Kandun, Dewan Pengarah Pusat Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia dalam Difteri (Diphtérite), 23 Mei 2016, menyebut selama satu dekade terakhir, banyak negara berkembang menurunkan kasus difteri dengan meningkatkan cakupan imunisasi. Meski demikian, kasus sporadis difteri tetap ada dan umumnya menyerang mereka yang sebelumnya belum divaksinasi atau tidak divaksinasi lengkap.
Kasus Difteri Indonesia
Tahun | Jumlah Kasus
(orang) |
Korban Meninggal
(orang) |
Penderita Tidak Diimunisasi (persen) | Tingkat Fatalitas/CFR
(persen) |
Sebaran
(provinsi) |
Kasus Tertinggi |
2012 | 1.192 | 76 | 53 | 6,38 | 18 | Jawa Timur |
2013 | 778 | 39 | 48 | 5,01 | 19 | Jawa Timur |
2014 | 396 | 16 | 37 | 4,04 | 22 | Jawa Timur |
2015 | 252 | 5 | 37 | 1,98 | 13 | Sumatera Barat |
2016 | 415 | 24 | 49 | 5,78 | 20 | Jawa Timur |
2017 (sampai November) | 593 | 32 | 66 | 5,4 | 20 | Jawa Timur |
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2012-2016, Situasi Imunisasi di Indonesia 2016/MZW
Epidemi difteri yang terjadi setelah sebelumnya terkontrol juga pernah terjadi di Uni Soviet (sekarang Rusia) pada 1990-an. Pemicu berkembangnya kembali difteri itu adalah munculnya faktor-faktor baru yang memengaruhi sirkulasi racun C diphtheriae secara terus-menerus.
Di Indonesia, imunisasi yang masif di era Orde Baru membuat penyakit ini relatif bisa dikendalikan. Namun, sejak 2003 penyakit ini mulai muncul kembali. Hingga kini, kasus difteri tetap ada, khususnya di wilayah yang cakupan imunisasinya rendah, baik akibat penolakan terhadap imunisasi, kurangnya kesadaran masyarakat, maupun wilayah geografis yang sulit terjangkau.
Penularan
Difteri adalah penyakit saluran napas atas yang ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, dan terbentuknya pseudomembran pada amandel, faring (hulu kerongkongan) atau rongga hidung. Racun yang dihasilkan bakteri C diphtheriae bisa memicu miokarditis (peradangan lapisan dinding jantung bagian tengah atau miokardium yang memicu rusaknya otot jantung), atau efek sistemik lain, seperti neuritis (radang saraf yang bisa menyebabkan kerusakan saraf, kelumpuhan, gagal napas, dan penumonia ), hingga penyumbatan jalan napas dan infeksi telinga.
Difteri sangat mudah menyebar dan menular. Akibatnya, mereka yang terserang difteri umumnya dirawat di ruang isolasi sampai mereka tidak mampu lagi menularkan kepada orang lain, biasanya sekitar 48 jam setelah perawatan antibiotik diberikan.
Bakteri C diphtheriae disebarkan dari satu orang ke orang lain melalui bulir-bulir napas yang diembuskan ke udara. Seseorang yang terpapar bakteri itu akan mulai menunjukkan gejala sakit hanya dalam 2-5 hari sejak bakteri itu menempel di tubuh.
Pengobatan difteri umumnya dilakukan dengan menggunakan antibiotik untuk membunuh bakterinya dan pemberian antitoksin untuk menetralkan racun yang dikeluarkan bakteri. Untuk mengatasi KLB difteri kali ini, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Mohamad Subuh, Jumat (8/12), menjamin ketersediaan obat antidifteri, yaitu antidifteri serum (ADS).
Pencegahan
Meski sangat menular, difteri sebenarnya sangat bisa dicegah dengan vaksinasi atau imunisasi. Di Indonesia, vaksin untuk penyakit difteri yaitu DPT masuk dalam imunisasi dasar yang digratiskan pemberiannya di posyandu, sekolah, puskesmas, atau fasilitas kesehatan pemerintah lain. Imunisasi difteri itu mulai dilakukan pemerintah pada bayi sejak 1976.
Sejak 2014, vaksin DPT yang diberikan pemerintah diperkaya menjadi vaksin pentavalen, yaitu DPT-HB-Hib (DPT-hepatitis B-haemophilus influenzae tipe b). Vaksin ini diberikan kepada bayi sejak umur 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan masing-masing sebanyak satu dosis. Selanjutnya, 1 dosis vaksin DPT-HB -Hib diberikan lagi pada usia 18 bulan.
Imunisasi difteri selanjutnya diberikan saat anak berada di kelas I sekolah dasar berupa vaksin difteri tetanus. Berikutnya diberikan vaksin tetanus difteri saat anak-anak duduk di kelas II dan kelas V sekolah dasar. Semua imunisasi itu harus lengkap diberikan agar perlindungan terhadap difteri menjadi optimal.
”Anak usai sekolah dasar perlu mendapat imunisasi difteri lewat program Bulan Imunisasi Anak Sekolah. Jika tidak, imunisasi difteri yang dilakukan tidak akan maksimal,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan (Kompas, 4/12).
Namun, seiring era keterbukaan informasi, kelompok-kelompok yang menolak vaksin pun bebas menyuarakan pendapatnya. Mereka yang menolak alasannya pun beragam, mulai dari agama, budaya, politik ekonomi, hingga masalah pribadi.
Pandangan agama yang menolak vaksin itu umumnya bukan semata soal halal-haram, namun keyakinan bahwa manusia diciptakan lengkap dengan perlindungan terhadap penyakit sehingga tidak perlu vaksin. Sementara penolakan karena alasan ekonomi umumnya menganggap kebutuhan vaksinasi hanyalah akal-akalan industri farmasi Barat untuk menguasai negara lain.
Alasan pribadi untuk menolak vaksin itu umumnya dilatarbelakangi kekecewaan atas imunisasi yang dilakukan terhadap anak-anak mereka. Pada beberapa anak, vaksinasi akan menimbulkan efek samping. Namun, karena tidak ada informasi memadai sebelumnya, vaksinlah yang jadi tertuduh menjadi penyebabnya.
Mereka yang gencar mengampanyekan penolakan vaksin, khususnya di media sosial, umumnya justru kelompok terdidik dan ekonomi menengah ke atas. Profesi penolaknya pun beragam, mulai dokter, ibu rumah tangga, hingga peneliti.
Maraknya media sosial menjadi alat yang mudah untuk mempropagandakan penolakan terhadap vaksin. Sayang, upaya itu sangat kurang diimbangi oleh petugas kesehatan hingga menimbulkan keraguan bagi sejumlag orangtua yang sejatinya ingin memvaksin anak-anaknya.
Kondisi itu adalah tantangan bagi tenaga kesehatan untuk mengomunikasikan persoalan kesehatan, khususnya soal vaksin, di tengah arus informasi dan pandangan masyarakat yang berubah. Masyarakat tak bisa lagi hanya disuruh atau diberi tahu pentingnya imunisasi. Namun, mereka pun harus memahami efek samping dan risikonya sehingga bisa mengantisipasi saat efek samping itu terjadi.
Efek samping yang paling umum dalam pemberian vaksin DPT adalah demam ringan, bengkak pada bekas suntikan, kulit bekas suntikan jadi merah dan sakit atau anak menjadi rewel. Meski efek samping itu tidak selalu muncul dan akan hilang pada hari ketiga setelah imunisasi, kondisi itu tetap mengkahwtairkan orangtua. Terlebih, kondisi itu terjadi pada bayi umur 2-4 bulan.
Karena itu, tenaga kesehatan dan pemerintah perlu memberikan informasi secara lengkap, jelas, dan jujur kepada para orangtua tentang seluk-beluk vaksin, termasuk efek samping dan risikonya. Pemahaman masyarakat yang lengkap itulah yang akan membuat mereka sadar penting dan manfaat vaksinasi.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 12 Desember 2017