Laju penularan Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Namun, kecepatan penambahan kasus infeksi virus korona tipe baru itu belum idimbangi dengan pemeriksaan memakai metode reaksi rantai polimerase atau PCR yang masif.
Kemampuan tes Covid-19 dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR di Indonesia meningkat, namun masih belum memenuhi standar minimal dan belum merata. Penggunaan tes cepat berbasis antibodi yang rendah akurasinya untuk diagnosis menjadi sumber masalah baru dan diminta agar dihentikan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kembali mencatat rekor penambahan kasus harian Covid-19 sebanyak 1.624 orang pada Kamis (2/7) sehingga total menjadi 59.394 orang yang terinfeksi. Adapun jumlah korban jiwa bertambah 53 orang sehingga total menjadi 2.987 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan angka ini, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus maupun korban jiwa yang tertinggi di Asia Tenggara. Ketika penambahan kasus di negara tetangga lain seperti Malaysia dan Singapura terus menurun, penularan Covid-19 di Indonesia justru terus meningkat.
Penambahan kasus harian ini ditemukan dengan pemeriksaan menggunakan PCR terhadap 10.814 orang, sehingga angka rata-rata positif (positivity rate) dari orang yang diperiksa mencapai 15 persen. Sementara secara akumulatif, jumlah yang diperiksa di Indonesia mencapai 503.132 orang sehingga angka positifnya 11,8 persen. Angka ini masih jauh lebih tinggi dari rata-rata positif yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen.
Laporan WHO tentang perkembangan Indonesia yang dikeluarkan pada Rabu (1/7/2020) menyebutkan, risiko penularan di Indonesia terus tinggi karena pergerakan masyarakat antardaerah, kabupaten dan provinsi meningkat seiring dengan pelonggaran pembatasan. Secara khusus, WHO juga menyoroti bahwa masih ada keterlambatan antara proses tes dan pelaporannya selama semingguan.
Sesuai standar WHO, persentase sampel positif yang menandai adanya pengawasan komprehensif dan pemeriksaan kasus hanya bisa diukur jika jumlah tes yang dilakukan minimal sebanyak 1 per 1.000 penduduk per minggu. “Satu-satunya provinsi di Jawa yang mencapai tolok ukur deteksi kasus minimum ini adalah Jakarta,” sebut laporan ini.
Masalah tes cepat
Henry Surendra, peneliti serologi dan epidemiolog Laporcovid19.org mengatakan, salah satu masalah yang justru menghambat percepatan tes Covid-19 dengan PCR di Indonesia yakni penggunaan tes cepat (rapid test) berbasis antibodi untuk diagnosis. Di lapangan, hal ini membingungkan masyarakat karena banyak kejadian yang tes cepatnya nonreaktif namun hasil PCR positif dan demikian sebaliknya.
Laporcovid-19 mendapat informasi dari sejumlah dokter di daerah yang ditekan kepala daerah agar mengurangi tes PCR dan hanya memakai tes cepat antibodi untuk menekan sehingga kasus positifnya tidak bertambah. Beberapa daerah itu meliputi antara lain di Nusa Tenggara Barat, serta Lamongan dan Kediri, Jawa Timur.
Padahal, menurut Henry, tes cepat berbasis antibodi ini lebih tepat untuk studi guna mengetahui tingkat kekebalan di suatu komunitas dan sebaran orang yang pernah tertular. Oleh karena itu, dia menyarankan agar pemerintah meninjau ulang penggunaan tes cepat dengan antibodi yang rentan disalahfahami dan disalahgunakan.
“Untuk saat ini, sebaiknya pemerintah fokus memperbanyak tes PCR dan tidak memakai tes cepat antibodi untuk diagnosa. Apalagi, banyak tes cepat yang beredar ini tidak divalidasi,” kata Henry.
Menurut dia, pemerintah seharusnya membuka jumlah tes PCR secara harian di tiap daerah sehingga bisa menjadi ukuran kinerja. Jika data jumlah tes PCR ini tidak dibuka, bisa jadi daerah yang dinyatakan minim kasusnya bahkan disebut sebagai zona hijau, karena tesnya kurang.
Sejauh ini, data yang dilaporkan Kementerian Kesehatan tiap harinya adalah jumlah tes secara nasional. Padahal, jumlah tes di tiap daerah sangat timpang. Misalnya, data Kemenkes hingga tanggal 27 Juni 2020, jumlah tes PCR di Jakarta mencapai 21.874 per sejuta penduduk. Jawa Barat baru 1.453 tes per sejuta penduduk, Jawa Tengah 1.542 tes per sejuta penduduk, dan Jawa Timur 1.470 per sejuta penduduk. Bahkan ada daerah seperti Jambi yang baru melakukan tes 90 per sejuta penduduk.
Tri Maharani, dokter emergensi dari Rumah Sakit Umum Daerah Daha Husada, Kediri, Jawa Timur juga meminta agar tes cepat dihentikan saja, dan langsung memakai PCR. Tri sebelumnya dinyatakan positif berdasarkan tes PCR, padahal hasil tes cepat nonreaktif.
“Jika mengacu hasil tes cepat, saya juga bisa terlambat ditangani, karena dengan cepat muncul pnenumonia. Jadi, sebaiknya, tes cepat untuk diagnosa dihapus saja dan daerah harus permudah tes. Ini ada dua perawat di Kediri dengan gejala Covid-19 juga dipersulit tes PCR,” ungkapnya.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono juga berulang kali meminta agar penggunaan tes cepat untuk diagnosis dihentikan. Dia menduga, masif digunakannya tes cepat ini karena ada yang memanfaatkan situasi krisis untuk mencari keuntungan. “Proyek (tes cepat) ini uangnya banyak, jadi komersialisasi,” katanya.
Epidemiolog dari Fakultas Kedokteran, Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada Bayu Satria mengatakan, tak ada negara lain yang sukses mengendalikan Covid-19 dengan memakai tes cepat antibodi untuk diagnosis. Dalam panduan WHO, standar yang dipakai juga tes molekuler dengan PCR.
“Kalau di Korea Selatan, juga Taiwan, yang disebut tes cepat ini pakai PCR, bukan serologi (antibodi). Di negara lain, tes PCR bisa selesai sehari,” kata Bayu.
Dia juga menyarankan agar Pemerintah Indonesia tidak menjadikan tes cepat antibodi sebagai pilihan syarat untuk penerbangan, apalagi jarak antara tes sebelum terbang boleh enam hari. Di Taiwan yang menjadi syarat untuk terbang jika ada tes PCR paling lama tiga hari sebelum terbang.
Saran untuk menghentikan penggunaan tes cepat antibodi ini sejalan dengan hasil riset yang dipublikasikan di The British Medical Journal edisi 1 Juli 2020. Dalam kajian ilmiah yang ditulis Mayara Lisboa Bastos dai Research Institute of the McGill University Health Centre, Kanada dan tim ini diungkap berbagai kelemahan utama tes antibodi Covid-19. “Kajian menunjukkan kelemahan penting bahwa tes serologis tidak bisa dipakai untuk diagnosa Covid-19,” sebut paper ini.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 3 Juli 2020