Tragedi yang dialami Orang Rimba di Jambi adalah potret nyata kegagalan pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, tetapi abai keadilan sosial dan ekologi. Saat belantara yang menjadi rumah Orang Rimba tergerus karena dikonversi industri perkebunan, hak dasar mereka untuk hidup sehat tidak bisa dipenuhi negara.
Setelah kematian beruntun 14 Orang Rimba akhir 2014 hingga awal 2015, kini mereka ada di tubir kepunahan akibat serangan penyakit menular hepatitis B dan malaria yang prevalensinya mengkhawatirkan.
Penelitian dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menemukan, sebaran hepatitis B pada Orang Rimba di Bukit Duabelas 33,9 persen dan malaria 24,6 persen. Angka prevalensi itu amat tinggi bagi komunitas yang terisolasi sehingga Deputi Direktur Eijkman Herawati Sudoyo menyebutnya sebagai hiperendemis malaria dan hepatitis B.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Riset infeksi penyakit menular pada Orang Rimba itu dilatari sejak kedatangan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi ke Lembaga Eijkman pada 2014. Mereka meminta bantuan agar Eijkman memeriksa kondisi kesehatan Orang Rimba, khususnya penyebaran hepatitis. Sebelumnya, menurut catatan Warsi pada 2009-2014, ada empat Orang Rimba dari wilayah Terab yang meninggal karena hepatitis. “Hal itu baru yang terpantau karena banyak yang meninggal, tetapi tak sempat dibawa ke rumah sakit,” kata Kristiawan, anggota Warsi.
Pada pertengahan Desember 2015, Lembaga Eijkman menurunkan tim peneliti dari Unit Malaria dan Unit Hepatitis untuk mengambil sampel darah Orang Rimba. Sepekan survei, tim mengumpulkan 583 sampel dari sekitar 1.300 warga Orang Rimba di Bukit Duabelas.
Sampel itu lalu dianalisis di laboratorium Eijkman di Jakarta. Untuk malaria, sampel itu dianalisis dengan metode mikroskopis dan molekuler. Adapun hepatitis baru memakai serologi.
Sebelum riset itu, profil kesehatan Orang Rimba tak pernah diketahui, sebagaimana diakui Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi Andi Pada. Mayoritas Orang Rimba juga belum terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional karena tidak punya kartu penduduk. “Riset kesehatan Orang Rimba ini pertama dilakukan,” ujarnya.
Andi menambahkan, di era otonomi daerah ini, tanggung jawab layanan kesehatan bagi warga seharusnya di dinas kesehatan setiap kabupaten. “Saya sudah keras mengingatkan para kepala dinas kabupaten. Saya akan terus mengingatkan mereka soal ini. Harus ada terobosan dan perubahan,” ujarnya.
Ketidakadilan sosial
Kepala Unit Malaria Eijkman Syafruddin mengatakan, sebaran malaria 24,6 persen itu termasuk tertinggi di Indonesia, bahkan di dunia. Tingkat malaria ini seperti di Papua 20 tahun lalu. “Kini, obat untuk malaria sudah ada asal diberikan dengan tepat. Makanya, kalau masih ada kematian akibat malaria, tentu patut disesalkan,” ucapnya.
Menurut peneliti dari Unit Hepatitis Eijkman, Meta Dewi Tedja, angka prevalensi hepatitis di suatu populasi yang mencapai 8 persen dikategorikan WHO sebagai endemis tinggi. “Jadi, angka hepatitis 33,9 persen ini amat tinggi,” ujarnya.
Ironisnya, tingkat prevalensi dua penyakit menular itu di Jambi jauh lebih rendah. Hal itu menunjukkan kesenjangan mutu kesehatan antara Orang Rimba dan masyarakat sekitar. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, proporsi hepatitis B di Indonesia 21,8 persen, sedangkan di Jambi hanya 9,3 persen.
Untuk malaria, merujuk pada Annual Parasite Incidence (API), kasus malaria di Indonesia pada 2013 sekitar 1,38 kasus per 1.000 orang atau 0,138 per 100 orang. Di Jambi dilaporkan hanya 0,8 kasus per 1.000 orang atau 0,08 per 100 orang.
Angka-angka ini menunjukkan, prevalensi hepatitis B pada Orang Rimba empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Jambi lainnya. Untuk malaria, prevalensinya 307,5 kali lebih tinggi pada Orang Rimba dibandingkan dengan masyarakat Jambi lain.
“Aduh, mati kami semua. Ini karena selama ini petugas puskesmas tak mau melayani kami dengan baik. Tak ada petugas puskesmas datang, kami yang harus datang ke puskesmas di kota, tetapi tak semua punya uang untuk pergi,” kata Menti Gentar, pemimpin Orang Rimba di wilayah Tanah Garo, Kabupaten Tebo, saat mendengar pemaparan para peneliti Lembaga Eijkman di kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jambi.
Bahkan, saat tiba di puskesmas, yang jaraknya bisa berjam-jam dengan sepeda motor atau seharian dengan berjalan kaki, layanan yang didapat Orang Rimba, dinilai Gentar, tak memadai.
Gentar mengalami sendiri kisah pahit buruknya pelayanan puskesmas setempat. “Contohnya anakku sendiri ketika sakit, sudah dua kali dibawa ke puskesmas, tetapi dibilang kondisinya baik. Baliknya (dari puskesmas) meninggal,” katanya.
Bahkan, diskriminasi dialami Nugrah, Orang Rimba yang bermukim di desa di pinggir hutan. “Sering kali ada penyemprotan nyamuk di rumah-rumah transmigran, mungkin enam bulan sekali, tetapi rumah-rumah kami selalu dilewati,” kata Nugrah, Orang Rimba dari Makekal Ilir.
Buruknya layanan kesehatan ini, menurut Manajer Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Robert Aritonang, berakar dari diskriminasi oleh mayoritas warga terhadap Orang Rimba yang telah menyejarah. Hal itu juga mencerminkan ketidakhadiran negara dalam memenuhi hak-hak dasar Orang Rimba. “Ini puncak gunung es setelah terjadi kematian beruntun dan kasus busung lapar dialami Orang Rimba,” ujarnya.
Padahal, menurut anggota staf Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mimin Dwihartono, sejak kematian beruntun Orang Rimba tahun lalu, lembaganya, melalui Surat Nomor 1552/K/PMT/ IV/2015 tanggal 15 April 2015, memperingatkan pemerintah pusat dan daerah di Jambi agar memastikan pemenuhan hak atas kesehatan, pangan, dan air bersih bagi masyarakat adat ini. “Komnas HAM menemukan, kematian Orang Rimba secara beruntun pada 2014-2015 adalah demam dan tuberkulosis, kekurangan makanan layak, serta minimnya akses atas air bersih. Ruang hidup mereka terbatas karena telah berubah menjadi wilayah konsesi banyak perusahaan,” katanya.
Hutan yang selama ribuan tahun menjadi rumah Orang Rimba kehilangan daya dukungnya akibat kerusakan, kebakaran, dan ekspansi perusahaan perkebunan yang amat masif. “Karena mereka amat kekurangan pangan, akhirnya rentan terkena penyakit. Rata-rata usia hidup mereka sangat pendek, sekitar 50 tahunan. Saya kehilangan teman-teman Orang Rimba yang seumuran saya saat saya pertama kali masuk ke komunitas mereka,” kata Robert.
Dengan kehancuran ekologi, masa depan Orang Rimba ada di tubir waktu. Tanpa kehadiran negara melayani hak-hak dasar mereka, termasuk layanan kesehatan, kepunahan etnis Orang Rimba hanya soal waktu.(IRMA TAMBUNAN)–AHMAD ARIF
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Penuhi Hak Orang Rimba”.
——————-
Orang Rimba Butuh Cepat Ditangani
Pengabaian berbagai sektor kehidupan Orang Rimba menjadi penyebab kronisnya sejumlah penyakit menular berbahaya di komunitas adat ini. Penanganan terpadu dan tindakan cepat negara diperlukan sebelum masalah kian meluas.
“Kalau tidak cepat ditangani dan sampai terjadi kepunahan, itu tanggung jawab negara karena selama ini abai memenuhi hak-hak Orang Rimba,” ujar Taufik Yasa, Kepala Ombudsman Provinsi Jambi, Minggu (14/2).
Pernyataan itu merespons temuan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman tentang kesehatan Orang Rimba. Riset akhir 2015, pada 583 Orang Rimba di Bukit Duabelas, ditemukan prevalensi hepatitis B 33,9 persen dan malaria 24,6 persen. Itu jauh di atas prevalensi malaria dan hepatitis B seluruh wilayah lain di Indonesia. Deputi Direktur Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo menyebut kondisi itu hiperendemis (Kompas, 10/2).
Menurut Taufik, penyakit yang kronis mewabah di komunitas Orang Rimba tidak hanya hepatitis B dan malaria. “Kami sebelumnya mendapat laporan merebaknya HIV/AIDS dan gizi buruk pada Orang Rimba. Namun, selama ini belum mendapat penanganan negara,” ujarnya.
Taufik menilai perlu dilakukan penanganan cepat. Tradisi hidup Orang Rimba yang berpindah-pindah sebaiknya tidak dijadikan alasan pemerintah mengabaikan layanan kesehatan. “Harus diperhatikan haknya,” katanya.
Jumlah total populasi Orang Rimba sebanyak 3.600 jiwa. Mereka tersebar di empat kabupaten, yakni Sarolangun, Tebo, Merangin, dan Batanghari. Semuanya di Provinsi Jambi.
Dari sisi kesehatan, kata Taufik, dinas kesehatan di daerah jangan saling lempar tanggung jawab. Pemda perlu segera membentuk tim khusus yang bertugas memberikan layanan kesehatan keliling secara rutin di sekitar Bukit Duabelas yang menjadi ruang hidup Orang Rimba.
Direktur Yayasan Sahabat, Yuli, yang mengadvokasi orang dengan HIV/AIDS, menilai komunitas Orang Rimba digolongkan sebagai kelompok rentan terinfeksi HIV. “Karena sudah ada catatan hepatitis B. Itu bisa jadi penanda bahwa mereka juga rentan tertular HIV,” ujarnya.
Pihaknya mendorong agar pemerintah menganggarkan penelitian lebih lanjut mengenai kerentanan HIV di sana. Harus segera diketahui agar warga yang terinfeksi dapat segera mendapat pengobatan. “Kalau tidak cepat ditangani akan lebih banyak warga tertular,” katanya.
Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Jambi, Poprianto, mengungkapkan, kelompok Orang Rimba banyak dimanfaatkan para pembalak liar di wilayah hutan Bukit Duabelas untuk melanggengkan praktik-praktik pencurian kayu. “Orang Rimba dijadikan tameng untuk aktivitas ilegal tersebut,” tuturnya. Bahkan, disebut-sebut ada faktor narkoba di sana.
Menurut Herawati, meski ada kondisi hiperendemis, penanganan penyakit di komunitas Orang Rimba dinilai lebih mudah. Sebab, keberadaan mereka cenderung terisolasi.
Herawati juga merekomendasikan perlunya pemetaan sebaran patogen lain pada Orang Rimba, selain hepatitis B dan malaria. “Misalnya, pneumococcus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan, terutama pada anak-anak. Dari survei yang kami lakukan, gejala itu banyak ditemui,” ujarnya. (ITA/AIK)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Orang Rimba Butuh Cepat Ditangani”.