Capaian pengurangan sampah rumah tangga pada tahun 2017 baru mencapai 2,12 persen. Angka ini jauh di bawah pekerjaan rumah yang diberikan Presiden Joko Widodo sebesar 15 persen dalam Peraturan Presiden nomor 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Pengurangan sampah ini hanya menghitung upaya yang dilakukan rumah tangga penghasil sampah. Ini belum termasuk intervensi pemerintah melalui tempat pengolahan sampah terpadu maupun tempat pengolahan akhir yang dikategorikan sebagai “penanganan”.
Upaya mandiri masyarakat itu contohnya dengan memanfaatkan sendiri sampah organiknya untuk ditanam di biopori maupun diolah menjadi pupuk kompos. Pengurangan lainnya melalui gerakan bank sampah yang memanfaatkan jenis-jenis sampah yang masih bernilai melalui berbagai mekanisme yang disetujui anggota/nasabahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kuncinya ada pada perilaku masyarakat dan sudah banyak contoh kelompok masyarakat yang bisa mengurangi sampahnya sejak dari rumah,” kata Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (12/3) di Balikpapan, Kalimantan Timur.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Pemerintah kini memiliki Perpres 97/2017 dengan target sangat ambisius dalam pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga. Novrizal menilai Perpres ini sebagai terobosan dan modalitas untuk menggerakkan seluruh masyarakat dan pemerintah daerah sebagai pelaksana di daerah untuk menurunkan dan menangani sampah.
Target dalam Perpres termasuk ambisius karena menargetkan pengurangan sampah pada tahun 2017 sebesar 9,87 juta ton. Angka ini lebih dari dua kali dari target pengurangan sampah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun sama (2017) sebesar 4.486.693 ton.
Novrizal mengakui realisasi pengurangan sampah di tahun 2017 baru mencapai 1.395.462 ton. Artinya, hanya 31,1 persen dari RPJMN atau 2,12 persen dari timbulan sampah 2017 yaitu sebesar 65,8 juta ton.
Ia optimis pengurangan sampah ini bisa dilakukan masif bila menjadi gerakan dan pekerjaan rumah bersama. Contohnya, di Balikpapan, sekelompok masyarakat di Kelurahan Sepinggan bergabung dalam Bank Sampah Kota Hijau. Dalam sebulan, sedikitnya didapat 1 ton sampah bernilai dari berbagai jenis seperti karton, kardus, kertas, dan plastik dari 138 nasabahnya. Jika tak ada bank sampah, sampah-sampah ini akan menambah timbulan sampah di tempat sampah hingga tempat pengolahan akhir (TPA).
Selain itu, contoh lain di Balikpapan, masyarakat di RT 26 di Gunung Bahagia yang terdiri 50 keluarga bisa memilah sampah organik dan anorganik. Ini berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Balikpapan untuk mengambilnya sesuai jadwal.
Sampah anorganik ini disalurkan melalui Material Recovery Facility (MRF) yang memilahnya secara manual menjadi 8 jenis sampah yang masih bernilai. Sedangkan sampah organik dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Kota Hijau Kota Balikpapan untuk diubah menjadi pupuk melalui proses fermentasi anaerob dan aerob.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Memisahkan Jenis Sampah
Petugas pada tempat pengolahan sampah bernama Material Recovery Facility Gunung Bahagia, Senin (12/3) di Balikpapan, Kalimantan Timur, memilah sampah anorganik menjadi 8 jenis seperti kertas, botol, dan plastik. Ini melayani satu kelurahan dengan kapasitas 30 ton sampah per hari. Pemilahan dibutuhkan agar sampah anorganik bisa maksimal dimanfaatkan kembali.
Sandhi Eko Bramono, staf Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bertugas pada TPST itu mengatakan dari rata-rata 10 ton sampah yang dikirim ke TPST Kota Hijau, sejumlah 3 ton berupa residu (popok, plastik pecah, batu, dll) diteruskan ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) dan sejumlah 2 ton sampah masih bernilai diteruskan ke bank sampah.
Dari 5 ton sampah organik, sejumlah 60 persen volumenya susut setelah menjadi pupuk kompos. Massa yang susut itu berubah menjadi air lindi dan gas methana (CH4) serta karbondioksida.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sandhi (kanan), staf dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bertugas di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Kota Balikpapan Kalimantan Timur, Senin (12/3), menjelaskan proses instalasi yang dibangun kementeriannya kepada Direktur Pengelolaan Sampah Novrizal Tahar (kiri) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Instalasi itu menerima sampah yang 50 persen diantaranya berjenis organik untuk diubah menjadi pupuk melalui proses anaerob dan aerob. Sampah anorganik diteruskan ke tempat pengolahan akhir.
Wakil Walikota Balikpapan Rahmad Mas’ud mengatakan hingga kini pihaknya terus berupaya dan bersosialisasi mengarahkan mindset masyarakat akan sampah. “Bila ini (mindset terbentuk) telah menjadi budaya, hati nurani yang akan bergerak baik disuruh atau tidak suruh untuk mengurangi sampahnya,” kata dia.
Ia mengatakan pihaknya pun memiliki Tempat Pengolahan Akhir Sampah terbaik di Indonesia. Di tempat itu, pun menjadi daerah wisata edukasi untuk mengerti proses pengolahan sampah baik menjadi kompos maupun pengolahan air lindi.–ICHWAN SUSANTO DAN LUKAS ADI PRASETYO
Sumber: Kompas, 13 Maret 2018
——————
Sampah Plastik di Laut Bali Menjadi Masalah Nasional
SATRIO PANGARSO WISANGGENI–Peserta International Coastal Clean-up Day 2017 Greenpeace Indonesia memilah-milah sampah yang terdampar di pantai Pulau Bokor, Kepulauan Seribu, Sabtu, (16/9/2017). Plastik kemasan dan botol plastik menyumbang sekitar 73 persen sampah laut menurut riset Plastic Debris Research 2016 Greenpeace Indonesia.–Satrio Pangarso Wisanggeni (D17)
Jakarta, Jakarta, Kompas -Pencemaran plastik di laut berbahaya bagi lingkungan sekaligus bisa memukul sektor pariwisata di Indonesia. Untuk mengatasi persoalan ini, maka diperlukan kebijakan nasional karena sampah plastik bisa berpindah lintas daerah mengikuti dinamika arus laut.
Urgensi penanganan persoalan ini menguat dengan menyebarnya video turis asal Inggris, Rich Horner yang berenang di antara sampah plastik ketika menyelam di Manta point, perairan Nusa Penida, Bali, baru-baru ini.
“Sampah plastik di laut jelas menjadi promosi yang buruk bagi wisata di Indonesia, selain dampaknya yang mengkhawatirkan bagi kesehatan organisme laut. Semoga dalam waktu dekat Peraturan Presiden tentang penanganan sampah plastik di laut segera ditandatangani agar ada gerakan masif untuk mengatasi hal ini,” kata Kepala Laboratorium Data Laut, Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo Pranowo, di Jakarta, Senin (12/3).
Widodo mengatakan, untuk mengatasi persoalan ini tidak bisa sektoral atau kedaerahan, karena sampah plastik di laut bisa berpindah-pindah, sesuai dinamia arus laut. Arus laut ini sangat dipengaruhi faktor posisi geografis, kelerengan pantai, kondisi angin yang berembus, dan karakteristik pasang surut, di mana tiap daerah bisa berbeda.
Lintasan Arlindo
Arlindo merupakan massa air laut dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia Melalui Lautan Indonesia. Sumber: Widodo Pranowo, KKP, 2018
Hasil penelitian kerja sama Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan KKP dengan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran, Bandung, pada tahun 2016-2017 menemukan, angkutan sampah mikro plastik di Laut Jawa memiliki jarak tempuh sekitar 5-6 kilometer per 7 bulan. “Di perairan lain, perpindahan sampahnya bisa lebih cepat, terutama yang berada di lintasan arlindo,” kata dia.
Menurut Widodo, perairan Nusa Penida juga berada di jalur lintasan arlindo, yaitu arus laut dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Berdasarkan pemodelan hidrodinamika arus, pada akhir Februari hingga awal Maret, arus cenderung kencang di Selat Makassar, melintasi persimpangan Laut Jawa dan Laut Flores, bergerak lurus masuk ke Selat Lombok, lalu keluar ke Samudera Hindia Tenggara melintasi Nusa Penida.
“Kalau dari jalurnya, memang dilintasi Arlindo, tetapi melihat periode waktunya, saya lebih cenderung sumber sampah plastik kali ini dari sekitar Bali sendiri,” kata dia.
Agung Yunanto, peneliti dari Balai Riset Observasi Laut KKP di Bali mengatakan, dari kajian yang dilakukan di sejumlah perairan Bali, memiliki karakteristik hampir sama. “Sampah daratan pada bulan-bulan musim hujan seperti sekarang lebih banyak muncul. Ini terjadi karena terjadi penggelontoran sampah dari daratan ke laut melalui sungai meningkat di musim hujan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Agung menduga sampah plastik di Nusa Penida juga berasal dari daratan Bali. “Namun tidak menutup kemungkinan, sebagian sampah plastik ini juga kiriman dari daerah lain, apalagi Nusa Penida merupakan perairan terbuka,” kata dia.
Dominan Plastik
Menurut Agung, sebagian pantai di Bali, seperti Pantai Kuta, sejak dulu menjadi tempat terdamparnya sampah dari laut. “Jika dulu sampahnya banyak organik, termasuk gelondongan kayu, sejak tahun 2000-an dominan plastik. Ini menunjukkan penggunaan plastik dan pembuangannya ke perairan yang semakin masif,” ungkapnya.
KOMPAS/VINA OKTAVIA–Pesisir Penuh Sampah – Nelayan payang beraktivitas di tengah timbunan sampah plastik yang terbawa air laut di permukiman nelayan di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, Selasa (5/12/2017). Banyaknya sampah di pesisir Teluk Lampung membuat nelayan kesulitan mencari ikan.–Kompas/Vina Oktavia (VIO)
Pada tahun 2014, Agung telah melaksanakan riset untuk mengetahui asal-usul sampah yang sering terdampar di pesisir Pantai Kuta, Bali pada periode tertentu. “Dari identifikasi sumbernya, kebanyakan memang dari Bali sendiri, selain juga ada dari Jawa. Misalnya, kami menemukan KTP berumur puluhan tahun dari penduduk Yogya. Ini menunjukkan bahwa penanganan sampah di Indonesia, atau bahkan di dunia, tidak bisa dilakukan dari satu lokasi. Harus ada gerakan bersama,” ucapnya.
Apalagi, sebelumnya Indonesia telah menjadi sorotan dunia dengan tingginya pembuangan sampah plastik ke laut. Menurut studiJenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia dalam jurnal Science, 2015, Indonesia merupakan negara kedua terbesar penyumbang sampah ke laut setelah China.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 13 Maret 2018